BLT dan Magang Nasional: Stimulus atau Solusi Ekonomi?

 



Program-program tersebut memang tampak membantu secara kasat mata, tetapi sejatinya hanya bersifat stimulus sementara

OPINI

Oleh Verawati, S.Pd

Aktivis Dakwah 



Muslimahkaffahmedia.eu.org, OPINI_Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Februari 2025 mencatat jumlah pengangguran di Indonesia mencapai 7,28 juta jiwa. Angka ini diprediksi terus meningkat karena dalam beberapa bulan terakhir, sejumlah perusahaan besar mengalami kebangkrutan dan terpaksa melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) massal. Di antaranya adalah PT Sritex, dua pabrik Yamaha, PT Sanken Indonesia, dan PT Danbi Internasional. Diperkirakan sekitar 10 ribu pekerja kehilangan pekerjaan. (rmol.id, 03-03-2025)


Kondisi ini tentu memunculkan keprihatinan dan tekanan bagi pemerintah untuk segera mengambil langkah cepat dan terukur. Berbagai kalangan pun menyampaikan masukan dan usulan solusi. Salah satunya datang dari pakar ekonomi Universitas Muhammadiyah Surabaya, Arin Setiawati. Ia menekankan pentingnya penyelamatan sektor pasar kerja melalui berbagai insentif fiskal, seperti pengurangan pajak, subsidi gaji, hingga pinjaman lunak bagi perusahaan yang berkomitmen mempertahankan tenaga kerjanya. (um.surabaya.ac.id, 12-05-2025)


Menanggapi situasi ini, pemerintah kemudian menggulirkan beberapa kebijakan, di antaranya program Bantuan Langsung Tunai (BLT), program Magang Nasional, serta beberapa stimulus ekonomi lainnya. Namun muncul pertanyaan mendasar: apakah langkah-langkah tersebut benar-benar menjadi solusi yang menyentuh akar masalah ekonomi bangsa, ataukah hanya bersifat sementara—sekadar “obat pereda” dari rasa sakit akibat lemahnya sistem ekonomi yang ada?


Untuk menjawabnya, kita perlu menelusuri kembali hakikat persoalan ekonomi itu sendiri.


Menurut berbagai survei global, sekitar 1% penduduk dunia menguasai sebagian besar kekayaan dunia, sementara 99% sisanya hidup dalam keterbatasan. Ketimpangan ini bukan sekadar angka, tetapi mencerminkan struktur ekonomi yang timpang dan tidak adil. Padahal, Allah Swt. telah menciptakan bumi beserta seluruh sumber daya alamnya untuk mencukupi kebutuhan manusia. Setiap manusia memiliki kebutuhan dasar berupa pangan, sandang, dan papan. Dalam Islam, kebutuhan dasar ini wajib dipenuhi oleh individu dan negara.


Namun dalam sistem ekonomi kapitalisme yang berlaku saat ini, kekayaan alam justru dikuasai oleh segelintir orang atau kelompok pemilik modal besar. Sumber daya alam yang seharusnya dikelola untuk kemaslahatan rakyat, malah menjadi alat akumulasi keuntungan pribadi. Akibatnya, terjadi ketimpangan distribusi kekayaan yang semakin parah. Sebagian kecil masyarakat menikmati kemewahan, sementara sebagian besar lainnya berjuang sekadar untuk bertahan hidup.


Inilah akar persoalan yang jarang disentuh oleh kebijakan ekonomi modern, termasuk program BLT atau Magang Nasional. Program-program tersebut memang tampak membantu secara kasat mata, tetapi sejatinya hanya bersifat stimulus sementara. BLT misalnya, hanya memberikan dana tunai dalam jumlah terbatas untuk waktu singkat. Uang itu bisa saja habis dalam hitungan hari, sementara kebutuhan hidup terus berjalan dan harga-harga kebutuhan pokok tetap tinggi. Begitu pula program magang nasional—tanpa adanya jaminan lapangan kerja tetap atau perubahan sistemik, ia hanya menunda munculnya kembali pengangguran.


Dengan kata lain, selama akar masalahnya yaitu ketimpangan distribusi kekayaan tidak diselesaikan, maka berbagai program bantuan hanya menjadi kosmetik belaka bagi wajah ekonomi kapitalistik yang rapuh.


Islam menawarkan solusi yang berbeda secara mendasar. Dalam sistem ekonomi Islam, kekayaan tidak boleh berputar di antara orang-orang kaya saja. Islam menetapkan dengan tegas pembagian kepemilikan harta menjadi tiga kategori: milik individu, milik negara, dan milik umum.


Harta milik umum seperti air, hutan, tambang, minyak, dan gas bumi harus dikelola oleh negara, bukan oleh korporasi atau swasta. Hasil pengelolaannya wajib dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk layanan publik dan kebutuhan dasar yang terjangkau. Misalnya, gas dan listrik dikelola oleh negara dan disalurkan kepada masyarakat dengan harga murah, karena hanya dibebankan pada biaya produksi saja, bukan untuk mencari keuntungan. Dengan cara ini, seluruh rakyat dapat menikmati hasil kekayaan alam negaranya sendiri.


Selain itu, sistem keuangan dalam negara Islam juga tidak bergantung pada utang atau pajak berlebihan. Pendapatan negara diperoleh dari sumber-sumber yang sah seperti zakat, kharaj, jizyah, fai’, dan hasil pengelolaan sumber daya milik umum. Dengan demikian, negara memiliki kemandirian ekonomi tanpa harus menekan rakyat kecil dengan pajak atau membebani mereka melalui kebijakan liberalisasi ekonomi.


Ketika kekayaan dikelola secara adil dan dikembalikan kepada rakyat, maka kesejahteraan dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat. Tidak akan ada ketimpangan ekstrem seperti yang terjadi dalam sistem kapitalisme hari ini.


Jadi, solusi hakiki bagi permasalahan ekonomi bukanlah sekadar pemberian bantuan tunai atau program magang jangka pendek, melainkan perubahan mendasar pada sistem pengelolaan ekonomi itu sendiri. Sistem Islam dengan prinsip keadilan, distribusi yang merata, serta tanggung jawab negara terhadap kesejahteraan rakyatnya, menawarkan jalan keluar yang nyata dan berkelanjutan.


Selama kebijakan ekonomi masih berakar pada paradigma kapitalistik, rakyat akan terus terjebak dalam siklus kemiskinan dan ketergantungan. Maka, sudah saatnya kita berpikir lebih dalam: apakah kita ingin terus bergantung pada stimulus sementara, atau berani mengambil langkah menuju solusi yang hakiki dan menyejahterakan seluruh umat?


Wallahualam bissawab.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Oligarki Rudapaksa Ibu Pertiwi, Kok Bisa?

Retak yang Masih Mengikat

Akhir Jeda Sebuah Keteguhan