"Fatherless" Kian Populer, Buah Kehidupan Kapitalistik-Sekuler


"fatherless" bukan lagi pilihan, tetapi konsekuensi tak terelakkan dari sistem yang menindas.


OPINI

Oleh Nia Rahmat 

Pendidik Generasi dan Pegiat Literasi


Muslimahkaffahmedia.eu.org, OPINI_Fenomena "fatherless" atau ketiadaan peran ayah dalam kehidupan anak kini kian mengkhawatirkan. Jutaan anak di Indonesia tumbuh tanpa figur ayah yang hadir secara utuh, bukan hanya secara biologis, tapi juga psikis dan emosional. Mereka mungkin masih memiliki ayah secara fisik, namun sang ayah seolah hanya menjadi “mesin pencetak uang” yang jarang hadir mendampingi pertumbuhan jiwa dan karakter anak-anaknya.


Fakta membuktikan satu perlima anak Indonesia (20,1 persen atau sama dengan 15, 9 juta anak) tumbuh tanpa pengasuhan ayah. (tagar.co, 8 Oktober 2025). Selain itu, 20, 9 persen remaja Indonesia mengalami "fatherless". (Kompas.com, 14 Juli 2025).


Fenomena ini tentu tidak lahir dari ruang hampa. Ia merupakan buah pahit dari sistem kehidupan kapitalistik-sekuler yang menempatkan nilai materi di atas nilai keluarga dan spiritualitas. Dalam sistem ini, ukuran kesuksesan bukan lagi ketakwaan atau keharmonisan rumah tangga, melainkan seberapa besar pendapatan yang mampu diraih. Maka, banyak ayah yang terjebak dalam pusaran kesibukan mencari nafkah, hingga kehilangan esensi keberadaannya sebagai pendidik dan pelindung bagi anak-anaknya.


Ayah yang Tersita oleh Sistem


Jika ditelusuri lebih dalam, "fatherless" modern bukan sekadar akibat kelalaian individu, tapi akibat dari sistem yang cacat secara fundamental. Kapitalisme mendorong kehidupan serba kompetitif dan menuntut para ayah untuk terus bekerja tanpa henti, demi memenuhi kebutuhan hidup yang kian mahal. Waktu yang seharusnya digunakan untuk membersamai anak, berubah menjadi jam-jam lembur demi mengejar target, karier, atau bahkan sekadar bertahan hidup.


Padahal, dalam Islam, fungsi seorang ayah bukan hanya pencari nafkah, tetapi juga pemimpin (qawwam), pelindung dan penuntun keluarganya menuju kebaikan. Allah Swt. berfirman yang artinya :

"Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.”

(QS. An-Nisa [4]: 34)


Dalam ayat ini, peran ayah ditegaskan sebagai qawwam, yakni pemimpin, pelindung, dan pembimbing keluarganya. Namun dalam sistem kapitalistik, fungsi qawwam ini kian terkikis. Peran ayah direduksi hanya sebatas penyedia kebutuhan material. Akibatnya, anak-anak kehilangan figur panutan yang menanamkan nilai-nilai moral, iman, dan tanggung jawab. Dari sinilah lahir generasi rapuh yang miskin kasih sayang, mudah terpengaruh, dan kehilangan arah hidup.


Kegagalan Sistem Sekuler dalam Menopang Keluarga


Sistem sekuler telah menyingkirkan peran agama dari kehidupan publik. Akibatnya, orientasi hidup masyarakat bergeser. Keluarga bukan lagi institusi suci untuk membentuk generasi saleh, melainkan sekadar wadah sosial yang tunduk pada logika ekonomi. Maka tak heran, ketika biaya hidup menekan, keharmonisan rumah tangga ikut tergerus.


Lebih parah lagi, sistem kapitalis tidak memberikan jaminan kehidupan yang layak bagi para ayah. Banyak yang harus bekerja jauh dari keluarga, menjadi buruh migran, atau berangkat pagi pulang malam hanya demi sesuap nasi. Dalam kondisi seperti ini, "fatherless" bukan lagi pilihan, tetapi konsekuensi tak terelakkan dari sistem yang menindas.


Padahal, Rasulullah saw. telah menegaskan tanggung jawab seorang ayah terhadap keluarganya yang menunjukkan bahwa kepemimpinan ayah bukan perkara ringan. Ia adalah amanah yang harus dijalankan dengan penuh kesadaran, bukan sekadar tugas mencari nafkah.


Islam Menawarkan Solusi Fundamentalis, Bukan Tambalan


Islam memiliki pandangan yang sangat komprehensif terhadap keluarga. Dalam konstruksi Islam, ayah dan ibu sama-sama memegang peran vital, ayah sebagai qawwam, pelindung, dan teladan, sementara ibu sebagai pendidik dan pengasuh utama di rumah. Keduanya berkolaborasi untuk membentuk keluarga yang kuat dan berkarakter.


Kisah Luqman yang mendidik anaknya dengan penuh hikmah menjadi teladan abadi bagaimana seorang ayah berperan sebagai guru kehidupan. Allah Swt. mengabadikan nasihat Luqman dalam Al-Qur’an, yang artinya :

"Wahai anakku! Janganlah engkau mempersekutukan Allah, sesungguhnya syirik itu benar-benar kezaliman yang besar."

(QS. Luqman [31]: 13)


Nasihat-nasihat ini menggambarkan peran ayah dalam membentuk iman, akhlak, dan keteguhan jiwa anak. Inilah teladan pendidikan yang diabaikan oleh sistem kapitalistik-sekuler.


Dalam sistem Islam, negara juga tidak tinggal diam. Negara berkewajiban memastikan para ayah dapat menunaikan peran mereka dengan optimal, di antaranya dengan cara:


1. Menjamin lapangan kerja yang halal dan upah yang layak.


2. Memberikan jaminan sosial sehingga beban ekonomi keluarga tidak semata dipikul individu.


3. Menegakkan sistem perwalian yang memastikan setiap anak memiliki figur ayah yang melindungi dan membimbingnya, bahkan jika ayah kandungnya telah tiada.


Penutup


Fenomena "fatherless" bukan sekadar masalah psikologis keluarga, tapi gejala sakitnya sistem yang melahirkan manusia-manusia terasing dari fitrahnya. Kapitalisme-sekuler telah gagal menjaga keharmonisan rumah tangga dan menumbuhkan generasi yang sehat secara moral.


Sudah saatnya masyarakat menyadari bahwa solusi sejati tidak bisa lahir dari sistem yang justru menjadi sumber masalah. Hanya dengan kembali kepada sistem hidup Islam, yaitu Negara Khilafah Islam yang menempatkan ayah sebagai qawwam, ibu sebagai madrasah pertama, dan negara sebagai pelindung keluarga secara umum, kita dapat menghentikan laju krisis "fatherless" dan melahirkan generasi yang kuat, beriman, dan beramal shalih.

Wallahualam bissawwab.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Oligarki Rudapaksa Ibu Pertiwi, Kok Bisa?

Retak yang Masih Mengikat

Akhir Jeda Sebuah Keteguhan