Fatherless Kian Populer, Buah Kehidupan Kapitalis-Sekuler


OPINI

Sistem Islam diterapkan secara menyeluruh, kehidupan tidak lagi berporos pada materi semata. Ayah dapat bekerja tanpa kehilangan waktu untuk mendidik dan menyayangi anak-anaknya. Keluarga menjadi tempat bernaung, bukan korban sistem yang menindas. 

Oleh Anita Humayroh 

(Pegiat Literasi dan Pemerhati Sosial)


Muslimahkaffahmedia.eu.org-Fenomena fatherlessanak yang tumbuh tanpa peran aktif seorang ayah—kian menampakkan wajahnya di tengah masyarakat modern. Ironisnya, hal ini bukan semata akibat perceraian atau perpecahan rumah tangga, melainkan lahir dari sistem kehidupan yang menempatkan manusia sebagai roda ekonomi. Kapitalisme dan sekularisme telah menjauhkan manusia dari nilai-nilai kemanusiaan dan spiritualitas, hingga peran keluarga terkikis oleh tekanan hidup yang kian menyesakkan.


Dalam sistem kapitalis, kesuksesan seseorang diukur dari seberapa produktif ia bekerja dan seberapa besar hasil materi yang dihasilkan. Para ayah harus berjibaku di bawah tekanan ekonomi yang tidak pernah memberi ruang untuk bernapas. Mereka berangkat pagi, pulang larut malam, demi memenuhi kebutuhan hidup yang semakin berat. Akibatnya, waktu untuk keluarga terampas. Hubungan emosional dengan istri dan anak perlahan memudar, dan figur ayah yang seharusnya menjadi pelindung justru berubah menjadi sosok yang asing di dalam rumahnya sendiri.


Kapitalisme telah memeras tenaga rakyat kecil tanpa memberi jaminan kesejahteraan yang layak. Negara seolah menutup mata terhadap ketimpangan yang makin lebar, sementara masyarakat dibiarkan berjuang sendirian menghadapi kerasnya kehidupan. Dalam kondisi seperti ini, keluarga menjadi korban paling nyata. Rumah kehilangan kehangatan, anak kehilangan bimbingan, dan para ayah kehilangan kesempatan untuk benar-benar hadir.


Sekularisme memperburuk keadaan dengan menyingkirkan nilai agama dari ruang publik. Keluarga tidak lagi dianggap sebagai bagian dari sistem sosial yang perlu dijaga, melainkan sekadar urusan pribadi. Orientasi hidup bergeser dari mencari rida Tuhan menjadi mengejar kenyamanan duniawi. Tak heran, banyak anak tumbuh tanpa perhatian dan arahan moral dari ayahnya. Mereka mencari pengganti figur ayah di dunia maya, pada tokoh-tokoh yang tidak selalu memberi teladan baik.


Sebanyak 20,1 persen anak Indonesia berpotensi tumbuh "Fatherless". Mereka hidup di keluarga tanpa ayah atau hidup dengan ayah lebih banyak bekerja di luar rumah (kompas.com). Bahkan olahan data dari tim Jurnalisme Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) pada Maret 2024, menyatakan ada 15,9 juta anak berusia kurang dari 18 tahun berpotensi mengalami Fatherless. Dimana 4,4 juta diantaranya tidak tinggal bersama ayah dan sisanya, 11,5 juta anak dikarenakan ayahnya sibuk bekerja atau separuh harinya lebih banyak di luar rumah. Miris.


Padahal, peran ayah dalam keluarga sangat fundamental. Ia bukan hanya pencari nafkah, tetapi juga pembentuk karakter, pemberi arah, dan penjaga nilai. Seorang ayah yang hadir secara fisik dan batin dapat menjadi jangkar moral bagi anak-anaknya. Ketika peran ini absen, keluarga kehilangan keseimbangan, dan anak-anak kehilangan teladan yang menuntun langkah mereka menuju kedewasaan.


Kenyataannya, dalam sistem kapitalis-sekuler, semua pihak menjadi korban.

Ayah terjebak dalam tekanan ekonomi yang melenyapkan waktu dan kasih sayang.

Ibu kelelahan memikul tanggung jawab ganda, yaitu bekerja sekaligus mengasuh.

Dan anak-anak tumbuh dalam keheningan emosional, membawa luka batin yang tak kasat mata.


Inilah paradoks peradaban modern di tengah kemajuan yang dibanggakan, manusia justru semakin kehilangan makna hidupnya. Kapitalisme menjanjikan kesejahteraan, tetapi menghadiahkan keletihan. Sekularisme menjanjikan kebebasan, tetapi menumbuhkan kehampaan. Fenomena fatherless menjadi bukti bahwa sistem ini gagal menciptakan tatanan sosial yang manusiawi dan beradab.


Namun, ada jalan lain yang mampu memperbaiki kerusakan ini, yaitu sistem Islam yang diterapkan secara kafah. Dalam sistem Islam, keluarga ditempatkan sebagai pilar utama masyarakat, bukan sekadar urusan pribadi. Negara memiliki kewajiban menjamin kebutuhan dasar rakyatnya, sehingga para ayah tidak harus bekerja melampaui batas hanya untuk bertahan hidup. Ekonomi Islam menolak eksploitasi dan memastikan distribusi kekayaan yang adil, sehingga tidak ada yang tertindas demi keuntungan segelintir orang.


Selain itu, Islam menanamkan nilai spiritual dalam setiap aspek kehidupan. Seorang ayah dipandang bukan hanya sebagai penyedia nafkah, tetapi sebagai pemimpin dan pendidik yang bertanggung jawab di hadapan Allah. Ibu dimuliakan sebagai pengasuh dan penjaga peradaban. Anak-anak tumbuh dalam lingkungan yang menumbuhkan iman, kasih sayang, dan tanggung jawab moral.


Jika sistem Islam diterapkan secara menyeluruh, kehidupan tidak lagi berporos pada materi semata. Ayah dapat bekerja tanpa kehilangan waktu untuk mendidik dan menyayangi anak-anaknya. Keluarga menjadi tempat bernaung, bukan korban sistem yang menindas. Dengan nilai-nilai Islam yang menyeluruh, manusia kembali pada fitrahnya — hidup dengan keseimbangan antara dunia dan akhirat.


Maka, sudah saatnya kita berhenti menyalahkan individu, dan mulai meninjau ulang sistem yang menjerat mereka. Sebab selama kapitalisme-sekularisme tetap menjadi dasar kehidupan, generasi fatherless akan terus lahir, membawa luka sosial yang diwariskan tanpa henti. Islam menawarkan solusi bukan hanya pada tataran moral, tetapi juga sistemik — membangun manusia dan keluarga di atas keadilan, tanggung jawab, dan kasih sayang yang berlandaskan pada iman.


Wallahu alam bishowab.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Oligarki Rudapaksa Ibu Pertiwi, Kok Bisa?

Retak yang Masih Mengikat

Akhir Jeda Sebuah Keteguhan