Kapitalisasi Air: Saat Sumber Kehidupan Dikuasai Oligarki
OPINI
Solusi sejati untuk mengakhiri kapitalisasi air bukan sekadar memperbaiki regulasi, tetapi mengganti sistem yang rusak. Selama kapitalisme menjadi dasar ekonomi, penguasaan sumber daya oleh korporasi akan terus terjadi.
Oleh Ummu Qianny
Aktivis Muslimah
Muslimahkaffahmedia.eu.org-Air adalah sumber kehidupan. Dari air, Allah menumbuhkan tumbuhan, menghidupkan hewan, dan menopang kehidupan manusia. Namun, dalam sistem naungan kapitalisme, sumber kehidupan ini justru berubah menjadi komoditas yang diperjualbelikan. Fenomena kapitalisasi air bukan hanya menunjukkan kerakusan sistem ekonomi yang saat ini diadopsi oleh negeri ini tetapi juga menjadi bukti nyata kegagalan negara dalam mengelola amanah sumber daya alam (SDA) untuk kemaslahatan rakyat.
Di banyak daerah, mata air alami kini dikuasai oleh perusahaan air minum dalam kemasan. Bukan dari air permukaan yang mengalir dari pegunungan secara langsung melainkan dari hasil mengebor sumur dengan kedalaman hingga 140 meter di bawah permukaan tanah, menghisap air tanah hingga ke lapisan akuifer yang seharusnya dijaga keberlanjutannya. Aktivitas ini memunculkan dampak ekologis yang nyata; penurunan muka air tanah, hilangnya mata air di sekitar wilayah pabrik, amblesan tanah, hingga krisis air bersih bagi masyarakat setempat.
Sebelum perusahaan air minum ini beroperasi, di berbagai kota dalam beberapa tahun bahkan sudah terjadi penolakan oleh masyarakat. Status tiap kasus berbeda-beda; ada yang berujung pembangunan tertunda atau berubah, protes terus-menerus meskipun pabrik beroperasi, dan ada pula yang masuk proses hukum terkait perizinan. Faktanya hingga sekarang, pabrik-pabrik air mineral ini masih terus berproduksi.
Ironisnya, ketika perusahaan air minum mengatakan ada program air bersih bagi warga sekitar, justru mereka tidak mendapatkan apa yang di janjikan. (Fajar.co.id, 27/10/2025)
Warga sekitar pabrik bukannya diberi air bersih oleh pabrik justru harus membeli Rp 6000 per galon. Selain itu, keberadaan pabrik, bukan hanya merugikan karena kehilangan air bersih, bahkan tenaga kerja nya pun bukan dari warga sekitar (Hoops.id, 23/10/2025)
Inilah yang terjadi ketika sumber air yang seharusnya menjadi hak publik dikuasai segelintir korporasi, terjadi ketimpangan yang serius, warga kekeringan, di tengah air yang melimpah ruah. Fenomena ini tidak lepas dari lemahnya pengawasan lembaga seperti Dewan Sumber Daya Air Nasional (DSDAN) dan Direktorat Jenderal Sumber Daya Air di bawah Kementerian PUPR. Lembaga yang seharusnya mengawal air untuk rakyat justru diam membisu di bawah tekanan modal. Seolah kehilangan keberanian untuk berpihak kepada kebenaran. Regulasi pun dominan berpihak pada korporasi. Inilah wajah asli kapitalisme. Negara hadir bukan sebagai pelindung rakyat, tetapi pelayan korporasi.
Akar Masalah: Kapitalisme Menjadikan Alam Sebagai Komoditas
Kapitalisme memandang sumber daya alam, termasuk air, sebagai objek ekonomi yang bisa dimiliki dan diperjualbelikan. Prinsipnya sederhana; siapa yang memiliki modal, dialah yang berhak menguasai. Tidak peduli apakah dampaknya merugikan masyarakat atau merusak ekosistem. Di bawah logika kapitalisme, keuntungan jadi sembahan baru. Maka tak heran jika sumber air dikeruk tanpa ampun, seolah bumi ini hanya milik para pemodal.
Ketika negara tunduk pada sistem kapitalis, maka regulasi hanya menjadi alat legitimasi bagi korporasi untuk terus mengeruk keuntungan. Rakyat kehilangan akses terhadap hak paling mendasar; air bersih. Sementara alam semakin rusak karena eksploitasi tanpa batas.
Pandangan Islam: Air Adalah Milik Umum
Berbeda dengan kapitalisme, Islam memiliki konsep tegas tentang kepemilikan sumber daya alam. Rasulullah Saw. bersabda:
"Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara, yaitu padang rumput, air dan api" (HR.Abu Dawud dan Ahmad)
Hadis ini menegaskan bahwa air adalah milik publik (milkiyyah ‘ammah). Tidak boleh dimiliki, dikuasai, atau dimonopoli oleh individu maupun korporasi. Negara berkewajiban mengelola dan mendistribusikan sumber air agar seluruh rakyat bisa menikmatinya dengan adil. Allah Swt. berfirman:
"Dan kami jadikan dari air segala sesuatu yang hidup" (TQS. Al-Anbiya: 30)
Ayat ini menunjukkan bahwa air bukan sekadar benda ekonomi, melainkan sumber kehidupan yang harus dijaga keberlangsungannya. Maka, siapa pun yang memperjualbelikan air hingga menghilangkan akses masyarakat terhadapnya, hakikatnya telah menyalahi amanah Allah.
Dalam Islam, negara bertindak sebagai pengelola bukan penjual. Sumber daya seperti air, minyak, dan gas termasuk dalam kategori kepemilikan umum yang hasilnya harus dikembalikan untuk kemaslahatan rakyat. Rasulullah Saw. bersabda :
" Imam (khalifah) adalah pengurus rakyat, dan ia bertanggung jawab atas rakyat yang diurusnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Artinya, negara tidak boleh membiarkan perusahaan swasta menguasai sumber air dan memperdagangkannya demi keuntungan. Sebaliknya, negara harus memastikan setiap warga mendapatkan akses air bersih secara adil dan mudah.
Dalam sistem Islam, pengelolaan SDA dilakukan oleh negara melalui lembaga yang bertanggung jawab langsung di bawah kepemimpinan khalifah. Negara memastikan agar sumber air tetap terjaga keberlanjutannya dan tidak menimbulkan kerusakan ekologis. Allah Swt. memperingatkan:
"Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia.”
(TQS. Ar-Rum: 41)
Ayat ini menjadi peringatan bahwa kerusakan alam adalah konsekuensi dari tangan-tangan manusia yang serakah, termasuk korporasi yang mengeksploitasi air tanpa batas. Dalam Islam, negara akan menerapkan hukum tegas terhadap siapa pun yang menyebabkan dhoror (bahaya) bagi manusia dan lingkungan.
Selain itu, negara Islam juga menanamkan prinsip bisnis yang amanah. Dengan sistem ekonomi Islam, bisnis tidak akan dijadikan alat eksploitasi, melainkan sarana untuk menegakkan keadilan dan kesejahteraan masyarakat.
Solusi sejati untuk mengakhiri kapitalisasi air bukan sekadar memperbaiki regulasi, tetapi mengganti sistem yang rusak. Selama kapitalisme menjadi dasar ekonomi, penguasaan sumber daya oleh korporasi akan terus terjadi.
Islam menawarkan sistem alternatif yang telah terbukti menjaga keseimbangan antara manusia dan alam; Khilafah Islamiyah. Dalam sistem ini, pengelolaan SDA diatur berdasarkan syariat. Air tidak boleh dimonopoli, hasil pengelolaannya dikembalikan untuk kesejahteraan rakyat, dan negara bertanggung jawab langsung dalam menjamin ketersediaannya.
Kapitalisasi air adalah potret nyata dari wajah gelap kapitalisme. Ketika air yang menjadi sumber kehidupan dijadikan alat mencari keuntungan, maka kerusakan ekologis dan penderitaan rakyat hanyalah soal waktu.
Sudah saatnya umat menyadari bahwa sistem kapitalis-liberal tidak mampu menjaga amanah Allah. Hanya ketika umat kembali pada sistem Islam kaffah, keberkahan akan turun, alam kembali lestari, dan tirani korporasi akan berakhir.
Wallahualam bissawab

Komentar
Posting Komentar