Kemilau Senja di Pantai Gaza


CERPEN

                             

Oleh Yuli Altara

Pemerhati Masalah Sosial dan Member AMK


Muslimahkaffahmedia.eu.org-Asap tampak mengepul dari tungku batu bata di belakang sebuah kemah kecil yang terbuat dari sambungan kain-kain kumal. Aroma roti gandum hangat sampai ke cuping hidung Maryam, seorang gadis kecil berusia lima tahun yang sedang bermain boneka di dalam kemah. Bergegas dia ke luar, menemui ibunya yang sedang memanggang roti.  


"Aduhai, wangi sekali aromanya, Ummi," serunya dengan wajah riang.


Ibunya tersenyum seraya memberikan sebuah piring kecil berisi roti bulat pipih. Maryam duduk di atas sebuah batu sambil menikmati roti yang terasa sangat nikmat di lidahnya. Padahal, roti itu hanya terbuat dari campuran terigu dan sedikit garam, tanpa gula, mentega, apalagi susu. Tapi, karena sudah lumayan lama ibunya tak membuat roti, maka bagi Maryam terasa sangat lezat.


Semenjak pendudukan pasukan penjajah di wilayah Gaza, kehidupan memang terasa makin sulit setiap detiknya. Bahkan, bisa menikmati roti tawar hangat adalah sebuah kemewahan yang langka. Pemandangan yang setiap hari dijumpai anak-anak Gaza bukanlah asap perapian rumah mereka yang menebar aroma wangi roti hangat, tapi asap mesiu dari moncong-moncong senjata pasukan penjajah, yang membawa aroma luka dan kematian.


"Ummi, kenapa hari ini Ummi membuat roti? Bukankah biasanya kita harus berjalan dan mengantri di dapur umum untuk mendapatkan semangkuk bubur gandum? Bahkan, sejak dua hari yang lalu kita hanya minum air putih dan makan beberapa biji kismis yang sudah bau apek," tanya Maryam sambil menatap wajah ibunya dengan raut keheranan.


Wanita paruh baya bertubuh kurus itu membelai rambut putrinya yang kusut masai berdebu karena sudah beberapa hari tak tersentuh air.  


"Kata ayahmu, pasukan penjajah sudah pergi. Dan karena keadaan di sini sudah lebih tenang, maka dapur umum membagikan sedikit bahan makanan untuk penduduk. Jadi, kita sekarang bisa menikmati roti hangat," jawab Ummu Ali sambil tersenyum tipis. 


Dia berusaha menampakkan raut senang dan lega di wajahnya untuk menyenangkan anaknya, meski di lubuk hatinya tersimpan kecemasan. Wanita yang sudah beberapa dekade menjadi saksi tragedi pendudukan di negeri mereka, tahu benar bagaimana watak pasukan penjajah. Mereka bisa kembali kapan saja, menebar teror kepada warga yang tak bersalah.


                                 ***


"Wahai Maryam, ayo kita bermain boneka," seru Aisyah ketika melihat kedatangan Maryam.


Gadis kecil berpipi kemerahan itu mengeluarkan dua buah boneka panda dekil dari dalam sebuah kardus bekas air mineral. Tak lama kemudian, keduanya sudah larut dalam lakon sandiwara boneka yang mereka peragakan. Tak jauh dari tempat duduk Maryam dan Aisyah, juga nampak Ali, kakaknya Maryam, bermain petak umpet bersama teman-temannya. Kebahagiaan nampak jelas terpancar di wajah polos anak-anak Gaza, karena sudah sekian lama mereka tidak dapat bermain bersama. Situasi yang ada tidak memungkinkan mereka untuk bertemu. Alih-alih bermain bersama, mereka justru sibuk melindungi diri bersama keluarga masing-masing dari kebengisan pasukan penjajah.


Kini, mereka bisa bernapas lega dan bermain bersama, setidaknya untuk sesaat dan hanya di sekitar kemah mereka. Karena meskipun pasukan penjajah berangsur-angsur meninggalkan wilayah Gaza, tapi sebagian masih ada yang bertugas memantau aktivitas warga. Entah kapan mereka akan benar-benar pergi dari tanah yang diberkahi.


                            *****


Di bawah langit Gaza yang bertabur bintang, di dalam kemahnya, Ummu Ali berbaring dengan gelisah. Suaminya, Husein, belum juga kembali setelah tadi sore menjelang Maghrib pamit untuk salat berjama'ah di masjid kecil dekat pertigaan jalan. Diliriknya jam weker yang bertengger di atas meja kayu kecil, sudah menunjukkan pukul sebelas malam.  


"Ya Allah, lindungilah suamiku dan seluruh kaum muslimin ... ," gumamnya sambil menadahkan kedua telapak tangannya. 


Tak berapa lama, terdengar langkah kaki di luar kemah. Ummu Ali bergegas bangun dari pembaringan. Saat pintu kemah tersibak, nampak kedatangan Abu Ali. 


 "Assalamu'alaikum ... ," dia mengucap salam dengan perlahan.


"Wa'alaikumussalam warahmatullah ... ," jawab Ummu Ali dengan wajah lega. 


 Diciumnya tangan suaminya dengan takzim, dan dibalas Abu Ali dengan rengkuhan lembut di bahu. Kemudian, Ummu Ali menuangkan segelas air putih dan memberikannya kepada suaminya.

 

"Kau dari tadi belum tidur, wahai Zainab?" tanya Abu Ali kepada isterinya.


"Bagaimana aku bisa tidur, sementara engkau belum juga pulang? Sedang waktu salat Isya sudah lama berlalu," jawab Ummu Ali sambil memandang suaminya.


"Maafkan aku, tadi selepas salat Isya, aku bertemu di masjid dengan Abu Ammar dan Abu Umair, juga dengan musyrif kami, Syaikh Abdullah. Setelah sekian lama tidak bisa halaqah, Alhamdulillah, tadi kami bisa halaqah di masjid. Maafkan aku, telah membuat engkau cemas. Seharusnya aku pulang dulu untuk memberitahu, tapi karena sangat bersemangat untuk halaqah, maka kami bergegas memulainya," panjang lebar Abu Ali menjelaskan pada isterinya. Raut wajahnya menggambarkan rasa bersalah. Setelah mendengar penjelasan dan melihat ekspresi wajah suaminya, Ummu Ali pun tersenyum.


"Tidak mengapa suamiku, aku paham bahwa halaqah adalah aktivitas yang utama dan sangat engkau rindukan," tuturnya dengan lembut.


Tak lama kemudian mereka membaringkan diri untuk melepaskan segala kepenatan. Bersiap menyambut esok hari yang masih penuh ketidakpastian.


                            *****


Ummu Ali menuangkan air panas yang baru direbusnya ke dalam sebuah teko aluminum, lalu memasukkan satu bungkus teh sachet bertuliskan produk Indonesia. Tak berapa lama menguar wangi teh melati. Abu Ali yang sedang duduk di bawah pohon kurma yang hampir mati, sambil membelah kayu bekas reruntuhan, menengok ke arah isterinya. 

 

"Wangi sekali aroma tehnya," katanya sambil tersenyum kecil.


"Alhamdulillah, ini teh produk dari Indonesia. Negeri yang jauh yang diberkahi dengan tanah yang subur dan penuh pepohonan. Begitu yang kulihat di televisi, sebelum pasukan penjajah datang ke sini," sahut Ummu Ali sambil membawa segelas teh untuk Abu Ali.


"Iya, Alhamdulillah kemarin para relawan Indonesia yang memberikan sekantung bahan makanan waktu kami mengantri di dapur umum. Rupanya ada teh sachet di dalamnya," kata Abu Ali setelah menghirup teh yang diberikan isterinya. 


Ia melihat ke depan, dimana sejauh mata memandang yang terlihat hanyalah reruntuhan bangunan. Pemandangan yang membuat dada terasa sesak, karena di bawah reruntuhan itu ada tempat tinggal, pasar, kantor, masjid, dan sekolah mereka yang kini tinggal kenangan. Bombardir dari tank-tank dan senapan pasukan penjajah, telah melumat segalanya. 


"Wahai suamiku, bagaimana perkembangan perjuangan selanjutnya?" tanya Ummu Ali sambil menyentuh pelan lengan suaminya.


Abu Ali yang sedang termenung sedikit terkejut mendengar pertanyaan isterinya.


"Sekarang ini, mungkin kita bisa sedikit bernapas lega dan menata kehidupan. Tapi, perjuangan di depan masih sangat berat. Karena kita harus berjuang membina umat agar mereka paham tentang jalan perubahan yang diajarkan Rasulullah saw., berjuang di tengah kondisi yang serba kacau dan terbatas. Juga berjuang menghadapi serangan pihak musuh yang sewaktu-waktu bisa terjadi," jawab Abu Ali sambil memandang isterinya. 


"Dan yang tak kalah pentingnya sekarang ini adalah memastikan ujung tombak perjuangan kita, para jurnalis pejuang, agar dapat mengabarkan kepada dunia tentang kondisi kita saat ini, agar dunia mengetahui fakta yang sebenarnya, agar mereka dapat memahaminya, dan bersatu padu memberikan jalan pertolongan dengan tegaknya Daulah Khilafah. Karena hanya dengan tegaknya khilafah, pembebasan tanah ini dapat terwujud. Khalifah akan menjadi komando tentara yang menyerbu pasukan penjajah dan mencerai beraikan mereka. In syaa Allah," lanjut Abu Ali dengan penuh semangat dan keyakinan yang kokoh akan pertolongan Allah.


"In syaa Allah," sahut Ummu Ali dengan mata yang berkaca-kaca penuh keharuan dan harapan.


                              *****


Dan sore ini, di pantai Gaza yang indah, banyak warga berdatangan. Para orang tua duduk-duduk di atas pasir yang kering sambil bercakap-cakap. Sementara anak-anak mereka berkejar-kejaran dengan riangnya. Ada yang bermain pasir, ada pula bermain air. Semua nampak bahagia. 


Maryam, Ali dan kedua orang tua mereka juga sedang menikmati keindahan pantai dan ramainya suasana. Di atas mereka, nampak langit Gaza menebarkan kemilau senja. Warna merah, kuning dan jingga berpendar menakjubkan. Laksana harapan dan keyakinan akan tibanya kemenangan yang kokoh terpatri di setiap dada muslim Gaza. Karena mereka percaya bahwa janji Allah itu benar, sebagaimana yang tersurat di dalam QS. An-Nasr ayat 1-3, yang artinya:


"Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan. Dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah. Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampunan kepada-Nya. Sungguh, Allah Maha Penerima taubat."


SELESAI

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Oligarki Rudapaksa Ibu Pertiwi, Kok Bisa?

Retak yang Masih Mengikat

Akhir Jeda Sebuah Keteguhan