Mentari dari Subang

 



Dia memang sangat ingin membawa Mentari tinggal bersamanya karena rasa sayang dan tanggung jawabnya



CERPEN

Oleh Yuli Altara



Muslimahkaffahmedia.eu.org, CERPEN_Siang itu matahari bersinar terik ketika Mentari dan Bi Yati tiba di depan sebuah rumah petak kecil bercat putih di ujung gang.  Keduanya menghentikan langkah dan celingukan berharap ada seseorang yang membuka pintu rumah dan melihat kedatangan mereka.

         

"Bi, ini benar rumahnya Om Dahlan?" tanya Mentari setengah berbisik.


 "Iya, Nak. Ini memang rumah pamanmu. Lima tahun yang lalu Bibi dan saudara Bibi mampir ke sini setelah pulang dari menghadiri walimah pernikahan," jawab Bi Yati perlahan sambil celingukan.


"Eh, ada yang datang," kata Bi Yati menoleh sambil menarik pelan lengan Mentari. Tampak seorang anak lelaki berseragam merah putih berusia sembilan tahun berjalan mendekati mereka.


"Maaf, mau ketemu siapa ya?," tanya tanya anak  itu dengan sopan.

       

 "Oh, iya, perkenalkan saya Bi Yati dan ini ponakan saya Mentari. Kami berdua datang dari Subang, ingin bertemu dengan Pak Dahlan," jawab Bi Yati sambil tersenyum.

       

Tiba-tiba dari arah dalam rumah terdengar seruan seorang perempuan, 

      

 "Siapa, Rud?" 

       

Sesosok perempuan paruh baya berparas cantik dengan gamis coklat tua dan kerudung hitam kini sudah berdiri di hadapan mereka dengan tatapan penuh selidik.

      

 "Ini,Tante, Bi Yati dan Neng Mentari katanya dari Subang, mau ketemu sama Om," jawab Rudi menjelaskan. Bi Yati lagi-lagi mengulas senyum ramah, namun ditanggapi oleh perempuan cantik yang dipanggil Tante itu dengan wajah datar.

     

 "Gimana ya, Om kamu itu pulangnya tak menentu. Kadang pulang cepet, kadang malam baru nyampe rumah," terang Tante Lilis sambil menunduk membetulkan letak pot bunga peace lily yang miring.

      

 "Tapi ... kasian juga, sih, kalian sudah jauh-jauh dari kampung. Kalau gitu, masuk aja dulu nunggu Om kamu datang," tawarnya seraya melangkah masuk dan menghempaskan diri di sofa yang sudah usang.

       

Mentari dan Bi Yati yang sudah terlalu lelah setelah menempuh perjalanan yang lumayan jauh, mengiyakan tawaran Tante Lilis. Mereka berdua duduk bersisian di seberang tempat duduk Tante Lilis. Suasana terasa hening dan kaku ketika Mentari dan Bi Yati duduk termangu sambil sesekali menatap tuan rumah. Namun, sang tuan rumah asik memainkan telepon genggamnya. 

        

Hingga tak berapa lama terdengar suara mengucapkan salam dari arah pintu, menyusul munculnya seraut wajah lelaki setengah baya yang nampak kelelahan setelah bertarung melawan teriknya matahari. Mentari dan Bi Yati bergegas berdiri dari tempat duduk sambil menjawab salam lelaki yang bernama Dahlan tersebut.

         

"Eh ada Mentari," sapa Dahlan pada keponakan semata wayangnya tersebut. Tampak semburat kerinduan terpancar dari wajahnya saat menatap Mentari. Mentari segera menyalami pamannya dengan takzim.

       

 "Lho,Yati, kamu yang mengantarkan Mentari kesini?" tanya Dahlan pada Bi Yati yang merupakan tetangga dari orang tua Dahlan di kampung.

      

"Iya, Lan. Mentari pengen ketemu kamu, sekalian juga ada yang mau aku omongin tentang pengasuhan atas Mentari ini," jawab Bi Yati sambil mengusap pundak Mentari.

      

"Oh, iya, sampai lupa. Neng, tolong bikinin minum dulu. Kasihan Mentari dan Bi Yati dari perjalanan jauh," suruh Pak Dahlan pada istrinya yang masih asik dengan ponselnya. 

     

"Eh, maaf. Tapi, Bang, teh sama gula lagi habis. Air putih aja ya, Bang," kata Tante Lilis seraya beranjak menuju dapur. Tak lama kemudian, ia keluar dengan beberapa gelas air mineral dingin. 


Setelah mempersilakan Bi Yati dan Mentari minum, ia duduk dan kembali sibuk dengan telepon genggamnya.

    

 "Semenjak ibu dan ayahnya meninggal, Mentari tinggal sendirian di rumah. Aku khawatir kenapa-napa, maka aku ajak tinggal di rumahku saja. Jadi, sekarang rumah itu kosong," kata Bi Yati menjelaskan. 

    

 "Mentari keponakan kamu, makanya aku ke sini ingin meminta izin untuk mengasuh Mentari. Sejak dulu, aku berteman dekat dengan ibunya Mentari. Jadi, Mentari ini sudah aku anggap putriku sendiri," lanjut Bi Yati. Om Dahlan mengangguk-angguk mendengar penuturan Bi Yati.

      

"Dan tentang rumah peninggalan ibunya Mentari, bagaimana menurutmu? Apakah mau dijual atau disewakan atau bagaimana? Kebetulan kemaren ada orang yang mau menyewa rumah kosong itu," kata Bi Yati sambil menatap Om Dahlan. Om Dahlan tak menjawab, ia tampak sedang berpikir keras.

     

"Mending dijual aja rumah itu, Bang. Uangnya untuk biaya hidup Mentari dan modal kita buka usaha," celetuk Tante Lilis tiba-tiba. Om Dahlan dan Bi Yati sontak saling berpandangan.

   

 "Ya gak bisa gitu Neng, rumah itu  hak Mentari, karena merupakan peninggalan ibunya. Abang tidak akan menjualnya, hingga dia memutuskan sendiri saat aqil baligh nanti," terang Om Dahlan seraya menghela napas. Mendengar ucapan suaminya, Tante Lilis tampak mendelik dengan wajah kesal.

        

"Coba Neng perhatikan peringatan Allah di dalam Surah An Nisa ayat 10, bahwa sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api dalam perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala," lanjut Om Dahlan sambil mengutip terjemah ayat Al Qur'an.


"Mentari, setelah bapakmu meninggal, maka Om adalah satu-satunya wali kamu. Om memiliki hak dan kewajiban untuk mengasuh, mendidik dan menjaga  kamu," kata Om Dahlan sambil mengusap pucuk kepala Mentari. Matanya tampak berkaca-kaca menahan keharuan di hatinya.

     

"Apa maksud Abang ngomong gitu? Apa Abang mau ngajak Mentari tinggal di sini? Kita bertiga aja udah engap, Bang, apalagi ditambah personil baru," cerocos Tante Lilis dengan wajah cemberut. Om Dahlan merasa tidak enak pada Mentari dan Bi Yati atas sikap istrinya.

    

"Mentari, kamu jajan dulu di warung depan gang ya. Kamu pasti belum makan siang," kata Om Dahlan sambil mengangsurkan selembar uang dua puluh ribuan ke tangan Mentari. Anak itu pun patuh dan bergegas menuju pintu.

      

"Neng, Abang ini pamannya Mentari. Abang punya kewajiban. Mohon Neng bisa mengerti," kata Om Dahlan dengan lembut kepada istrinya yang tampak merajuk.

     

"Tapi, Bang, hidup kita aja pas-pasan gini," sahut Tante Lilis sambil memilin ujung kerudungnya yang lusuh.

    

"Neng, apa Neng gak kasihan sama Mentari? Di usia semuda itu dia sudah ditinggal pergi kedua orang tuanya, padahal dia masih sangat membutuhkan kasih sayang dan bimbingan orang tua. Abang akan merasa sangat berdosa kalau menelantarkan Mentari," tutur Om Dahlan dengan wajah sedih.

    

"Iya sih, Bang, Neng juga kasihan. Tapi mau gimana, kamar tidur cuma satu, Rudi aja tidur di bilik dapur. Lalu Mentari mau kita taruh di mana?" kata-kata Tante Lilis terdengar  realistis. Om Dahlan tak menjawab, dia hanya mengusap wajahnya yang lelah. Dalam hati dia membenarkan apa yang dikemukakan istrinya. Rumah petak sempit ini memang hanya memiliki satu kamar tidur, ruang tamu kecil, dan dapur yang disekat menjadi bilik untuk tempat tidur Rudi, keponakan Tante Lilis yang juga sebatang kara. 

      

Bi Yati yang sedari tadi hanya diam mendengarkan, tampak membetulkan posisi duduknya. 

  

  "Maaf Dahlan, Neng Lilis ... bukannya saya lancang ikut campur urusan keluarga kalian. Tapi, apa yang disampaikan Neng Lilis ada benarnya. Tidak mungkin kita memaksakan Mentari untuk bisa tinggal di sini, kasihan juga dia tidak ada tempat beristirahat dan belajar dengan tenang. Kan, di sini juga ada Den Rudi," tutur Bi Yati dengan hati-hati.

   

 "Jika kamu izinkan, biar Mentari tinggal bersamaku di kampung. Rumah peninggalan orang tuanya bisa kamu sewakan dan uangnya untuk kebutuhan sekolah Mentari dan untuk persiapan dia mondok setelah lulus SD. Nanti  jika kondisi kalian sudah memungkinkan, kalian bisa membawa Mentari ke sini," lanjut Bi Yati panjang lebar.

   

 "Benarkah demikian? Apakah tidak apa-apa aku menitipkan keponakanku kepadamu? Maksudku, apakah itu tidak merepotkan? Padahal, dia adalah tanggung jawabku," kata Om Dahlan dengan raut gamang.

    

 "Aku malah sangat senang dan berterima kasih jika kau izinkan. Kamu tahu sendiri, kan, aku ini tinggal sendirian di rumah semenjak suamiku berpulang. Rumah terasa sangat sepi. Namun setelah ada Mentari, aku jadi ada teman di rumah. Terlebih lagi, aku memang sudah dekat dengan Mentari semenjak dia kecil,"  tutur Bi Yati dengan ekspresi penuh harap.

      

 Dahlan nampak tercenung, dia gamang di antara dua pilihan. Dia memang sangat ingin membawa Mentari tinggal bersamanya karena rasa sayang dan tanggung jawabnya kepada keponakan satu-satunya itu. 

       

 Namun, kondisi keluarganya yang diuji dengan kesempitan ekonomi, membuat dia juga menimbang pendapat istrinya. Dia tak mau membuat Mentari tinggal berdesakan di sini dan merasakan kondisi hidup yang pas-pasan.

       

Lilis yang melihat raut gusar suaminya, tiba-tiba merasa iba. Dahlan memang laki-laki miskin, tapi dia adalah sosok yang bertanggung jawab dan penyayang. Dia selalu bersikap baik dan tak pernah marah-marah, malah seringkali menasehati Lilis dengan nasehat takwa. 

     

Dan meski  hidup mereka susah, dia dengan suka rela mengiyakan saat Lilis meminta izin membawa keponakannya yang telah ditinggal pergi kedua orang tuanya yang tidak bertanggung jawab. Dia bahkan mendaftarkan Rudi di SD dekat pemukiman mereka. 

     

 "Bang, maafkan Lilis ya. Udah bikin susah pikiran Abang. Gak papa kok, Bang, kalau Abang mau ngajak Mentari tinggal di sini. Biarlah ruang tamu sempit ini kita sekat untuk bilik Mentari. Neng juga kasihan dan sayang sama Mentari," tutur Lilis pelan dengan raut wajah bersalah. Dahlan menatap manik mata istrinya dan menemukan ketulusan di sana.

    

 "Makasih ya, Neng, sudah mau mengerti Abang dan menyayangi Mentari. Tapi, setelah  Abang pikir, biar kita tanyakan dulu pada Mentari. Bagaimanapun, dia yang akan menjalaninya," kata Dahlan seraya tersenyum pada istrinya dan Bi Yati.

      

Tak berapa lama, Mentari datang dan mengucap salam. Lalu ia duduk di sebelah Bi Yati.

     

"Mentari, Om dan Tante sangat senang Mentari datang ke sini. Kami juga ingin mengajak Mentari tinggal dan bersekolah di sini. Bagaimana menurut Mentari?" tanya Dahlan sambil menatap Mentari. Lilis yang telah melunak hatinya juga menatap Mentari sambil  tersenyum ramah. 

      

 Mentari terdiam mendengar pertanyaan pamannya. Hatinya merasa bimbang dan tak mampu memutuskan. Om Dahlan adalah adik dari ayah kandungnya, orang yang kini wajib dia patuhi. 

        

 Dan semenjak dulu, dia menyayangi paman satu-satunya itu, yang seringkali datang membawa oleh-oleh buku cerita, yang mengajarkannya naik sepeda dan memperbaiki makhrojul hurufnya saat dia memamerkan hafalan Qur'annya.

      

Ia ingin tinggal bersama Om Dahlan. Tapi, kenyataan bahwa hidup pamannya susah membuatnya ragu. Ia takut hanya menambah beban. Ia juga sudah terbiasa tinggal di kampung bersama Bi Yati. Selain itu, dia juga merasa sungkan dengan Tante Lilis dan Rudi. Akhirnya, dengan ragu-ragu Mentari memberanikan diri bersuara.

     

"Kalau Om izinkan, bolehkah Mentari tetap tinggal bersama Bi Yati? Mentari lebih kerasan tinggal di kampung. Mentari juga gak mau meninggalkan teman-teman dan sekolah," ujar Mentari pelan dengan raut memohon pada pamannya.

    

 Pamannya menatap Mentari, mencari kesungguhan di wajah keponakannya. Setelah beberapa saat dalam keheningan, Om Dahlan akhirnya angkat bicara.

      

"Baiklah, jika seperti itu keinginan Mentari. Om titipkan kamu sama Bi Yati. Nanti, jika Om ada rezeki lebih dan bisa ngontrak rumah yang lebih layak, Om akan ajak kamu tinggal bersama Om, jika kamu berkenan," tukas Om Dahlan sambil tersenyum. Mentari tersenyum senang dan menggamit lengan Bi Yati dengan manja.

      

 Setelah beristirahat sebentar, Mentari dan Bi Yati kembali pulang ke Subang. Om Dahlan dan Tante Lilis mengantarkan hingga ke stasiun. Perpisahan mereka terasa mengharukan, namun juga melegakan. Karena Mentari tahu, bahwa walinya menyayangi dan  tak mengabaikannya. Dan dia juga tetap bisa bersama Bi Yati yang sudah dianggapnya pengganti ibu kandungnya. Mentari juga ingin segera tiba di kampung halamannya yang seperti memanggilnya untuk pulang.


 

"Laki-laki adalah pemimpin bagi wanita, disebabkan kelebihan yang Allah berikan kepada sebagian yang lain (wanita) dan disebabkan mereka memberi nafkah dengan hartanya." (T.Q.S. An-Nisa ayat 34)


Dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah SAW bersabda, "Aku dan orang yang memelihara anak yatim di surga seperti ini," sambil merenggangkan jari telunjuk dan jari tengah.


Selesai

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Oligarki Rudapaksa Ibu Pertiwi, Kok Bisa?

Retak yang Masih Mengikat

Akhir Jeda Sebuah Keteguhan