Gaza Masih Membara: Saatnya Suara Kita Menggema Lebih Keras!

 


Tragedi Gaza bukan sekadar akibat konflik sesaat, tetapi potret kegagalan tatanan internasional yang telah berlangsung puluhan tahun. 

OPINI


Oleh Rati Suharjo

Pengamat Kebijakan Publik



Muslimahkaffahmedia.eu.org, OPINI_Krisis kemanusiaan di Gaza belum menunjukkan tanda mereda. Setiap hari korban terus berjatuhan. Sementara infrastruktur vital seperti air, listrik, hingga rumah sakit lumpuh dihantam serangan tanpa henti. Penderitaan panjang itu kian berat ketika hujan deras dan angin dingin menerjang, mengguncang tenda-tenda darurat tempat ribuan warga Gaza bertahan hidup. Dalam kondisi serba kekurangan, mereka bukan hanya kesulitan beribadah dan beraktivitas, tetapi juga berjuang sekadar untuk tetap hangat dan selamat.



Hujan yang mengguyur Gaza beberapa pekan terakhir bukan sekadar membasahi tanah yang telah memerah oleh darah ribuan korban, tetapi juga menghancurkan sisa-sisa harapan. Laporan UNRWA memperlihatkan ironi pahit: bantuan tempat tinggal sudah disiapkan, namun izin distribusi tak kunjung diberikan. Selama proses administratif berputar tanpa arah, keluarga-keluarga di pengungsian menahan gigil di bawah tenda bocor dan sobek. Mereka bertahan hidup dalam kondisi yang bahkan tak layak disebut tempat tinggal, sementara deru pesawat tempur dan gemuruh badai hujan saling bersahutan menambah ketakutan yang tak pernah jeda.



Musim dingin di Gaza datang seperti bencana kedua yang menyusul bencana pertama. Ia bukan hanya udara yang menusuk kulit, tetapi juga ujian mental bagi orang-orang yang sudah teramat letih. Ribuan keluarga tidur di tanah basah beralaskan selimut tipis yang nyaris tak mampu menahan dingin. Anak-anak menangis karena kedinginan dan kelaparan, sementara para ibu hanya bisa memeluk erat tubuh kecil itu, menahan air mata yang tak boleh jatuh. Cerita Abdel Rahim Halawa, ayah tujuh anak, hanyalah satu dari ribuan kisah serupa. Berjuang mempertahankan terpal usang agar tidak roboh diterpa angin (kompastv.com, 17/11/2025).




Banyak keluarga lain tinggal di sisa bangunan retak yang sewaktu-waktu bisa runtuh. Mereka menutup celah dengan plastik sobek, berharap angin malam tak terlalu kejam. Di balik dingin itu, yang terasa bukan hanya menggigilnya tubuh, tetapi juga rasa putus asa. Tidak ada tempat aman untuk berlindung dan tak ada kepastian kapan hidup mereka berhenti berkutat dalam lingkar penderitaan.



Tragedi Gaza bukan sekadar akibat konflik sesaat, tetapi potret kegagalan tatanan internasional yang telah berlangsung puluhan tahun. Dunia menyaksikan, mengecam, mengutuk, namun tak pernah benar-benar bertindak. Negara-negara besar lebih sibuk menghitung keuntungan politik dan diplomasi daripada menyelamatkan manusia-manusia yang nyawanya begitu murah di mata mereka.




Sistem dunia yang diterapkan saat ini meminggirkan suara kaum lemah. Mekanisme PBB mandek oleh veto negara-negara kuat. Bantuan terhalang aturan. Keamanan warga sipil dikalahkan oleh kepentingan geopolitik. Gaza adalah simbol nyata bahwa sistem global hari ini tidak pernah dirancang untuk melindungi yang tertindas.



Dan inilah luka paling dalam: umat Islam memiliki lebih dari 50 negara, tetapi tidak satu pun mengambil langkah nyata melindungi saudaranya. Padahal Rasulullah ﷺ menegaskan:


“Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya. Ia tidak menzhaliminya dan tidak membiarkannya (dalam kesulitan).”


(HR. Bukhari no. 2442 dan Muslim no. 2580)


Inilah prinsip dasar yang hari ini justru diabaikan oleh negara-negara mayoritas Muslim.



Sistem yang diwariskan kolonialisme, demokrasi sekuler dan kapitalisme telah membelenggu negeri-negeri ini dalam batas kepentingan lokal, bukan kepedulian global. Akibatnya, tragedi seperti Gaza terus berulang dari generasi ke generasi.



Dalam politik Islam, negara bukan sekadar institusi administratif, tetapi perisai penjaga kehormatan, jiwa, dan keamanan umat. Sistem Khilafah menawarkan solusi struktural terhadap tragedi Gaza. Dalam Khilafah, seorang khalifah berkewajiban melindungi jiwa dan kehormatan rakyat. Khilafah wajib menghentikan penindasan terhadap kaum tertindas (mustadh‘afin), baik di dalam wilayahnya maupun di luar ketika mereka meminta pertolongan.


Selain itu, Khilafah menyatukan umat dan menghapus sekat-sekat politik warisan kolonial. Dengan kesatuan politik, sumber daya militer, ekonomi, dan diplomatik dapat diarahkan untuk melindungi umat, bukan tercerai-berai di balik batas-batas negara kecil.


Dalam sistem Khilafah, pemenuhan kebutuhan dasar rakyat seperti, tempat tinggal, layanan kesehatan, hingga keamanan, bukan janji politik, melainkan kewajiban syar‘i. Khalifah bertanggung jawab langsung di hadapan Allah untuk memastikan setiap individu hidup layak, terlindungi, dan terjamin haknya. Karena itu, kemiskinan, layanan kesehatan mahal, dan keamanan rapuh bukan sekadar kelalaian administratif tetapi pelanggaran amanah kepemimpinan.


Karenanya, jangan diam. Hanya dengan penerapan Khilafah dalam bingkai daulah Islamiyah, akar persoalan Gaza dapat diselesaikan. Gaza bukan sekadar isu kemanusiaan, tetapi cermin bahwa dunia membutuhkan perubahan sistemik.


Suara kita mungkin tak menghentikan serangan hari ini, tetapi ia bisa menjadi bagian dari gelombang kesadaran besar. Kesadaran bahwa umat membutuhkan tatanan baru yang benar-benar melindungi mereka.


Wallahualam bissawab








Komentar

Postingan populer dari blog ini

Oligarki Rudapaksa Ibu Pertiwi, Kok Bisa?

Retak yang Masih Mengikat

Akhir Jeda Sebuah Keteguhan