Generasi Tanpa Pegangan Makna: Bunuh Diri Remaja dan Sistem Pendidikan yang Gagal Menyentuh Jiwa
OPINI
Oleh Haifa Manar
Penulis & Aktivis Dakwah
Muslimahkaffahmedia.eu.org, OPINI_ Fenomena mengakhiri nyawa secara mandiri pada pelajar saat ini sedang marak terjadi. Beberapa hari terakhir, kabar memilukan muncul dari Jawa Barat, dua pelajar ditemukan tak bernyawa karena diduga bunuh diri (Kompas.id, 31-10-2025). Lalu, di Sawahlunto, Sumatera Barat pun menambah kepiluan yang sama terdapat dua remaja yang mengakhiri hidupnya di lingkungan sekolah (Kompas.id, 30-10-2025). Sungguh ironis, tempat yang seharusnya menjaga, justru membuat mereka semakin terjebak dalam sunyi tanpa jeda.
Mereka memang memakai seragam yang rapi, menenteng buku, hadir pada setiap pagi dengan seulas senyum seolah baik-baik saja. Namun, siapa sangka di balik senyum yang dipaksakan tersebut, ada luka yang diam-diam membengkak.
Sementara itu, dilansir dari Republika.co.id pada 30 Oktober 2025, Wakil Menteri Kesehatan (Wamenkes) Dante Saksono Harbuwono memaparkan data pemerintah dengan fakta yang getir, di mana lebih dari dua juta anak Indonesia mengalami gangguan kesehatan mental dari sekitar dua puluh juta jiwa yang telah diperiksa. Angka tersebut mungkin hanya permukaan dari gunung es penderitaan yang tidak tampak. Namun, angka-angka ini adalah pertanda keras yang berdentang, sebab ini bukan sekadar berita—ini adalah teriakan dari luka yang tidak terdengar oleh telinga, pun jeritan dari sesak tanpa pernah berani untuk bercerita.
Di Balik Seragam: Membaca Sunyi Sebelum Menjadi Tragedi
Dalam hal ini, mereka telah mempelajari definisi dari “nilai baik”, “ranking”, atau “target nasional” di sekolah. Namun, hampir tak ada pelajaran yang menjelaskan bagaimana caranya mengatasi patah hati pertama, perasaan tidak berguna, atau kehilangan figur yang menjadi pegangan hidupnya. Mereka memang diajarkan rumus matematika yang rumit, tetapi mereka tak pernah diberi rumus untuk menyelesaikan kekacauan yang terjadi dalam dirinya sendiri.
Oleh sebab itu, kasus bunuh diri yang tidak dipicu oleh bullying menunjukkan, bahwa ternyata ada sesuatu yang lebih tersembunyi, lebih tajam, dan lebih berbahaya, yaitu kerapuhan dalam kepribadian. Di mana anak-anak tumbuh dengan rasa takut akan kegagalan yang kerap mencekik, juga rasa tidak cukup yang memakan habis harga diri mereka sendiri. Di samping itu, mereka belum pernah benar-benar diajarkan bahwa gagal bukan berarti kehidupan ini berhenti, sedih bukan berarti menyimpan rasa itu sendirian, dan kecewa bukan berarti menjadikan mereka kurang berharga karena merasa telah kehilangan kesempatan.
Akan tetapi, para remaja di generasi saat ini telah menghadapi realitas yang lebih berat. Sebab mereka dihadapkan dengan tekanan sosial, akademik, keluarga, hingga tuntutan citra diri di media sosial—semuanya menyerang pada setiap lini hidup mereka tanpa memberi jeda. Padahal mereka telah berusaha untuk tetap kuat, tetapi mereka sesungguhnya tidak pernah tahu bagaimana cara menjadi kuat yang "benar-benar kuat."
Sementara itu, sebagian orang dewasa kemudian hanya bertanya, “Kenapa tidak bilang? Harusnya kamu cerita dari awal.” Padahal mereka saat itu sedang berteriak dengan caranya sendiri. Hanya saja sebagian orang dewasa itu tidak ingin mengartikan diam sebagai panggilan minta tolong, atau mungkin sengaja abai karena tidak ingin terlibat.
Krisis Bimbingan dalam Transisi Remaja ke Dewasa
Sebaliknya, dalam Islam, kedewasaan tidak ditentukan oleh angka yang dikatakannya usia 18 tahun baru mulai beranjak dewasa. Tatkala seorang anak sudah mencapai baligh, sebenarnya ia telah memasuki fase akil. Fase di mana akalnya harus disiapkan untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya sendiri di dunia dan di akhirat. Mereka yang sudah baligh bukan lagi anak kecil yang bisa lepas dari konsekuensi.
Namun, sistem pendidikan sekuler mengurung mereka dalam kategori “anak-anak” sampai usia tertentu tanpa pertimbangan kematangan mental, spiritual, dan moral. Yang akibatnya, mereka sudah memikul beban kehidupan tanpa pegangan hidup yang benar. Mereka pun telah memiliki hasrat dan pertanyaan besar tentang makna hidup, tetapi hanya dijawab dengan teori normatif belaka. Sehingga mereka dituntut untuk matang dalam urusan tugas sekolah, tetapi dianggap belum pantas berbicara soal keputusan dalam hidup.
Pada dasarnya, tubuh mereka bertumbuh, tetapi jiwa dan akalnya dibiarkan kerdil. Sewaktu mereka bingung dalam menghadapi pergolakan batin, mereka hanya diperintah untuk fokus pada pelajaran akademik dan sekolah yang katanya mampu menjamin masa depan. Padahal sekolah bukan dinding pelindung, sebab terdapat ruang kosong pada hati para remaja. Yakni, ruang yang tidak pernah terisi makna hidup, arah, dan kekuatan batin dengan landasan iman. Dalam pusaran tuntutan nilai dan prestasi, mereka hanya diajarkan bagaimana caranya memenangkan lomba, tetapi tidak diajarkan bagaimana caranya pulih ketika kalah.
Inilah wajah pendidikan negeri dalam sistem kapitalis-sekuler, sebuah refleksi nyata tatkala sistem yang diterapkan tidak menunggu mereka siap untuk bertanggung jawab. Sehingga ketidaksiapan itulah yang membuat sebagian anak-anak ini gagap dan enggan untuk menghadapi pukulan pertama dari kehidupan.
Ketika Dunia Menguji Tanpa Iman yang Melindungi
Selain itu, para remaja kini hidup di dunia yang terasa semakin kompetitif dan tidak manusiawi. Sebab tekanan demi tekanan datang bertubi-tubi: dari ekonomi keluarga yang tidak stabil, perpisahan dan konflik orang tua yang membekas dalam relung dada, lingkungan sosial yang menuntut mereka untuk selalu baik-baik saja, dan media sosial yang kerap membandingkan kehidupan tanpa ampun.
Bahkan, mereka seringkali melihat standar kebahagiaan palsu: ada fisik yang nyaris sempurna, prestasi yang gemilang, hidup yang mewah, dan cinta yang selalu berakhir bahagia. Para remaja kemudian tidak pernah diajarkan, bahwa foto yang ditampakkan dan sebuah realitas adalah dua dunia yang berbeda. Mereka tidak pernah diberi tahu, bahwa setiap orang memiliki tempo perjalanan hidup yang beragam. Sehingga tatkala realitas hidup mereka menghantam, tatkala rasa sakit kemudian datang berkali-kali, dan tatkala tidak ada tempat aman untuk bercerita—mereka pun merasa kesepian. Akhirnya, mereka merasa gagal menjadi manusia yang “seharusnya bahagia” maupun “berhasil”.
Berkaitan dengan itu, media sosial juga memperpanjang bayang-bayang kelam: terdapat glorifikasi bunuh diri, di mana maraknya konten dan komunitas yang membahas kematian secara salah arah di internet yang menciptakan ilusi, bahwa mengakhiri hidup adalah pelarian. Adanya forum saling berbagi luka tanpa solusi nyata, dan algoritma yang tidak tahu bagaimana caranya menghargai nyawa. Narasi yang berbahaya inilah kemudian menyebar tanpa pengawasan.
Jika demikian, sebuah ironi di tengah gemuruh dunia modern, ketika moral kompas hanya jadikan opsional. Pelajaran agama pun tidak diajarkan secara menyeluruh, hanya sebagian yang disinggung di tepi kurikulum sistem pendidikan saat ini. Ketika arah hidup kian memudar, rasa sakit pun semakin membesar. Lagi pula, generasi muda saat ini sebenarnya tidak ingin mati—mereka hanya ingin berhenti merasakan sakit yang datang tanpa henti.
Islam: Sistem Pendidikan yang Menghidupkan Jiwa
Untuk itu, Islam hadir tidak hanya sebagai agama, melainkan sebagai penuntun akal dan penjaga jiwa. Sistem pendidikan dalam Islam bukan sekadar memindahkan ilmu dari buku ke kepala, melainkan menanamkan nilai hingga berkarakter dalam perilaku. Akidah pun menjadi pusat dari pembentukan kepribadian: anak-anak diyakinkan bahwa hidupnya punya tujuan yang jelas dan bernilai tinggi. Mereka dibekali cara menghadapi ujian dengan sabar dan tawakal. Mereka dikenalkan kepada Allah yang selalu mendengar dan memahami. Pun, mereka dibimbing untuk menemukan makna di tengah luka.
Dengan sistem pendidikan seperti itu, mereka tumbuh dengan jiwa yang kokoh dan utuh, bukan sekadar otak yang penuh. Ditambah lagi, dalam sistem Islam: kebutuhan pokok rakyat dijamin, sehingga tekanan ekonomi berkurang. Keluarga dijaga agar menjadi tempat terbaik untuk berteduh. Masyarakat diarahkan pada kolaborasi, bukan sekadar kompetisi tak berujung. Sehingga tujuan hidup mereka tidak terbatas pada dunia, tetapi lebih besar daripada itu sebelum akhirnya berpulang ke akhirat.
Selanjutnya, sistem pendidikan Islam juga memastikan bahwa seorang anak mampu menghadapi badai kehidupan—bukan dengan melarikan diri, tetapi dengan keberanian untuk menghadapi, dan harapan untuk melangkah lagi. Oleh karena itu, mereka menjadi pribadi yang tidak mudah rapuh hanya karena dunia tidak berjalan sesuai dengan rencana.
Menjaga Nyala dalam Dada Remaja, Bergerak Mencegah Luka yang Sama
Ketahuilah jikalau setiap seorang anak yang kehilangan harapan hidup merupakan kehilangan besar bagi seluruh bangsa. Maka dari itu, orang dewasa tidak boleh membiarkan para remaja berjalan sendirian seraya mencari arah hidup yang semakin membingungkan ini. Kita tidak boleh menutup mata ketika generasi muda yang seharusnya meneruskan peradaban, justru merasa hidupnya tidak lagi layak untuk dilanjutkan.
Kasus bunuh diri adalah salah satu bukti kegagalan sistem yang hanya mencetak generasi berotak cemerlang, tetapi berhati rapuh dan berjiwa dengan arah hidup yang sering hilang. Maka kini saatnya, menjadikan sekolah sebagai tempat yang peduli pada mental, bukan hanya nilai. Orang tua berhenti bilang “itu masalah kecil” pada luka anaknya yang bisa membunuh secara perlahan. Kemudian negara menempatkan kesehatan jiwa anak sebagai prioritas, bukan sekadar kebijakan formalitas.
Masa Depan yang Harus Diselamatkan
Pada hakikatnya, yang terpenting adalah kita harus mengembalikan ruh pada pendidikan, yaitu dengan kurikulum pendidikan di bawah sistem Khilafah yang memadukan penguatan kepribadian Islami. Dalam sistem pendidikan Islam dengan penguasaan kompetensi ilmu, para remaja akan kuat menghadapi cobaan, paham akan arti perjuangan, sadar bahwa setiap manusia itu berharga, dan yakin bahwa hidup adalah amanah yang mulia. Sebab mereka bukan angka pencapaian, bukan pula proyek jangka pendek. Mereka adalah penggerak perubahan dan pembangun peradaban.
Sebagai kesimpulan, generasi muda tidak membutuhkan sistem yang hanya menyiapkan mereka untuk bekerja, tetapi sistem yang menyiapkan mereka untuk hidup dengan arah tujuan dan makna yang jelas. Hanya dengan sistem pendidikan Islam, para remaja akan tumbuh kuat dengan iman karena mengetahui alasan mengapa mereka diciptakan. Karena ketika mereka tahu mengapa mereka hidup, mereka akan selalu menemukan alasan untuk bertahan.
Wallahua'lam bish-showab.

Komentar
Posting Komentar