Generasi Terjebak Pinjol dan Judol, Kita Jangan Sekadar Dongkol!
Fenomena pelajar maupun mahasiswa keranjingan judol adalah alarm keras bagi pemerintah agar terus menggenjot pembasmian penyakit masyarakat ini.
OPINI
Praktisi Pendidikan dan Pegiat Literasi AMK
Muslimahkaffahmedia.eu.org, OPINI-Judi (judi)
Menjanjikan kemenangan
Judi (judi)
Menjanjikan kekayaan
Bohong (bohong)
Kalaupun kau menang
Itu awal dari kekalahan
Bohong (bohong)
Kalaupun kau kaya
Itu awal dari kemiskinan
Judi (judi)
Meracuni kehidupan
Judi (judi)
Meracuni keimanan
Pasti (pasti)
Kar'na perjudian
Orang malas dibuai harapan
….
Itulah sebagian lirik lagu yang dipopulerkan oleh H. Rhoma Irama pada 1987. Lagu tersebut dirilis dalam album "Nada-Nada Rindu”. Beliau terinspirasi dari fenomena perjudian yang ada pada masa itu seperti Porkas (Pekan Olahraga dan Ketangkasan). Hanya saja, hingga kini kasus perjudian semakin meningkat dan merambah ke pelajar. Sebagaimana dikutip dari tirto.id pada 29 Oktober 2025 bahwa ada ironi dan aroma kegagalan ketika mendengar fenomena pelajar atau anak-anak terjerat aktivitas judi online alias judol, terus merebak. Fakta memaparkan bahwa ancaman generasi masa depan bangsa berada dalam genggaman mereka sendiri. Oleh karena itu, peran negara untuk melindungi anak-anak dan pemuda dari judol menjadi urgensi yang tak bisa ditawar lagi.
Hafizh yang kini tidak lagi bermain judol mengakui kepada Tirto via telepon, pada Selasa (28/10/2025) malam. Dia memutuskan berhenti dari aktivitas judol setelah satu tahun karena ingin lulus sekolah.
Asal muasal kecanduan judol hampir sama dengan yang lainnya. Hafizh terjebak karena pernah meraih satu kemenangan besar. Padahal, saat dikalkulasikan antara angka kemenangan dan modal yang dikeluarkan untuk deposit judol hanya ada kerugian. Selanjutnya Hafizh membulatkan tekad berhenti judol karena sadar harus lulus dari bangku sekolah menengah. Meskipun demikian, godaan untuk kembali bermain sesekali masih muncul. Apalagi setiap anak yang memiliki ponsel pintar amat mudah untuk mengakses situs atau aplikasi judol tersebut, baik melalui youtube, tiktok, atau twitter (sekarang X).
Masih banyak kisah lain dari para pelajar yang kecanduan judol, bahkan para pendidik mendapat laporan tersebut dari orang tua siswa. Sebagaimana yang dialami Alda, salah satu guru SMA swasta di Kota Depok. Kasus seperti ini menjadi tantangan yang tak mudah diselesaikan karena mesti membujuk siswa tersebut agar tak lagi bermain judi. Sedangkan pada faktanya, setiap anak saat ini tidak ada yang bisa lepas dari ponsel pintar alias gawai.
Oleh karena itu, fenomena pelajar maupun mahasiswa keranjingan judol adalah alarm keras bagi pemerintah agar terus menggenjot pembasmian penyakit masyarakat ini. Selayaknya pemerintah tidak hanya menangkap pemain atau operator judol kelas teri, tetapi penegak hukum harus berani menyikat bandar-bandar judi besar yang ada.
Berdasarkan data kuartal satu Tahun 2025, yang dikumpulkan oleh PPATK menunjukkan jumlah deposit yang dilakukan oleh pemain judol berusia 10-16 tahun lebih dari 2,2 miliar rupiah. Sementara itu pada usia 17-19 tahun mencapai 47,9 miliar rupiah. Deposit yang tertinggi ada pada pelaku usia antara 31-40 tahun, yaitu mencapai 2,5 triliun rupiah.
Fakta yang lebih miris lagi adalah 71,6 persen masyarakat yang melakukan judi online berpenghasilan di bawah lima juta rupiah dan memiliki utang di luar pinjaman perbankan, koperasi, serta kartu kredit. Bukti menunjukkan pada 2023 dari total 3,7 juta pemain, sebanyak 2,4 juta di antaranya mempunyai pinjaman itu. Angka tersebut naik pada 2024 menjadi 8,8 juta pemain judol dengan 3,8 juta di antaranya memiliki pinjaman. Sungguh fantastis sekaligus bikin miris!
Pola Kehidupan Menjadi Penyebabnya
Tidak dimungkiri dari hari ke hari teknologi semakin canggih. Seiring dengan hal itu pola kehidupan yang tercipta di tengah masyarakat pun semakin berubah. Atas nama tuntutan hidup setiap orang bisa mengupayakan apa saja demi memenuhi kebutuhan tersebut. Bahkan semakin banyak orang yang tidak lagi mempedulikan aturan yang berlaku baik aturan adat istiadat, kebiasaan, bahkan aturan dari agamanya sendiri. Tentu saja ini akan semakin menggiring masyarakat pada pola hidup yang serba bebas yaitu sesuai keinginan dan kebutuhannya sendiri.
Pola kehidupan semacam ini amat wajar terjadi karena yang berkelindan di tengah masyarakat adalah sekularisme dan liberalisme. Kedua isme ini diusung tidak hanya oleh individu-individu tapi lebih parahnya lagi oleh masyarakat dan negara. Oleh karena itu, pola hidup semacam ini amat cepat menyebar dan meluas sampai ke pelosok negeri. Salah satunya adalah penggunaan ponsel pintar dengan segala aplikasi yang dimunculkan baik tiktok, youtube, telegram, whats app, game termasuk judol, dan pinjol.
Judol dan pinjol berkelindan dan dapat tumbuh subur karena kemudahan akses digital, lemahnya pengawasan platform, serta rendahnya literasi finansial, dan digital di kalangan pengguna ponsel pintar termasuk pada remaja. Inilah lingkaran setan yang tercipta. Sebagaimana yang disampaikan oleh Peneliti Bidang Sosial dari The Indonesian Institute (TII), Made Natasya Restu Dewi Pratiwi kepada wartawan Tirto, Selasa (28/10), “Banyak pelajar mudah terjebak dalam siklus 'high risk–high reward' yang ditawarkan oleh judi online dan ketika mengalami kerugian, mereka akhirnya mencari jalan pintas lewat pinjol ilegal untuk menutup kerugian.”
Dari sini menjadi jelas bahwa yang menjadi penyebab maraknya kasus judol dan pinjol adalah pola kehidupan yang tercipta di tengah masyarakat dan negara yakni pola hidup sekularisme dan liberalisme. Dari sini pula tampak peran negara yang teramat lemah dalam upaya menutup atau memberantas situs-situs judol, karena keberadaannya sebatas regulator saja bukan pelindung bagi rakyatnya. Akhirnya dari pola hidup ini muncul beragam permasalahan di negeri ini. Permasalahan itu kian hari bukannya semakin berkurang atau teratasi tetapi sebaliknya, semakin bertambah dan karut marut. Rentetan peristiwa yang mengikutinya antara lain pencurian, perampokan, pertikaian dalam keluarga, perceraian, hingga pada pembunuhan. Sungguh miris!
Islam Pola Kehidupan yang Sempurna
Merujuk pada peristiwa dan kasus di atas serta rentetan peristiwa yang mengikutinya maka selayaknya kita menoleh kepada Islam. Islam yang diturunkan Allah Swt. kepada Rasulullah saw. merupakan agama yang sempurna dan mampu menyelesaikan semua persoalan dalam kehidupan manusia. Sebagaimana dalam QS. Al-Anbiya’ ayat 17 Allah Swt. berfirman bahwa, "Tiadalah Kami (Allah) mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam."
Kesempurnaan Islam sebagai agama karena lengkap. Aturan dalam Islam tidak hanya mengenai masalah akidah dan ibadah yang merupakan aturan manusia dengan Khalik-nya. Namun Islam juga mengatur hubungan manusia dengan manusia yang meliputi aturan jual beli, bertetangga, pendidikan, kesehatan, pernikahan, perceraian, warisan, dan sebagainya. Bahkan Islam juga memberikan aturan bagi manusia dengan dirinya sendiri yang mencakup masalah pakaian, makanan serta minuman, tempat tinggal, dan sebagainya.
Berdasarkan hal itu maka Islam juga jelas menegaskan bahwa judi baik offline maupun online itu haram hukumnya. Sebagaimana Allah Swt. berfirman dalam QS. Al-Ma'idah ayat 90, "… minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan .…"
Demikian pula terhadap pinjaman yang berbunga termasuk pinjaman secara online, Allah Swt. telah menegaskan dalam QS. Al-Baqarah ayat 275, bahwa, "Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kesurupan setan karena gila dan nyata Allah Swt. telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba ...."
Bahkan Allah Swt. telah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah, sebagaimana yang tercantum dalam ayat 276.
Kaum muslimin terhadap ayat-ayat tersebut dan yang lainnya idealnya adalah tunduk dan patuh. Ketundukan dan kepatuhan itu akan terwujud jika pada diri setiap muslim ditanamkan akidah yang kuat termasuk pada kaum pelajarnya. Maka dibutuhkan peran negara dalam mewujudkan sistem pendidikan yang berlandaskan pada akidah Islam saja sehingga dari proses tersebut akan melahirkan sosok-sosok pelajar yang berkepribadian Islam. Sistem pendidikan yang seperti itu akan mampu membentuk generasi yang salih.
Di samping itu, negara melalui kekuasaannya harus tegas untuk menutup segala akses judi serta memberi sanksi yang tegas pula bagi para pelaku, termasuk bagi penyelenggaranya. Dengan demikian, kerjasama yang baik antara negara, masyarakat, keluarga, dan individu dengan berlandaskan pada syariat Islam akan mampu menuntaskan persoalan ini. Semua itu hanya akan terwujud dalam sistem pemerintahan Islam saja. Oleh karena itu saatnya untuk menanggalkan kapitalisme liberalisme dan beralih pada sistem Islam. Niscaya kedongkolan yang menyeruak seperti saat ini akan sirna, sebaliknya yang terwujud hanyalah kesejahteraan hakiki dengan generasi yang gemilang yakni generasi yang berkepribadian Islam.

Komentar
Posting Komentar