Hari Santri, Momen Santri Menjadi Agen Perubahan
Hari Santri benar-benar dimaknai sebagai momentum kebangkitan peran santri sebagai fakih fiddiin (ahli dalam agama) sekaligus agen perubahan.
OPINI
Oleh Nia Rahmat
Pegiat Literasi
Muslimahkaffahmedia.eu.org, OPINI -Peringatan Hari Santri kembali menggema di seluruh penjuru negeri. Serangkaian acara digelar, upacara, kirab, pembacaan kitab kuning, hingga festival sinema. Presiden Prabowo Subianto dalam sambutannya mengangkat tema “Mengawal Indonesia Merdeka Menuju Peradaban Dunia”. Bapak Presiden mengajak para santri menjadi penjaga moral dan pelopor kemajuan bangsa.
“Di Hari Santri ini, kita mengenang semangat juang para santri yang dengan ilmu, iman, takwa, dan cinta tanah air, turut merebut dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia," ujarnya.
“Saya percaya santri hari ini bukan hanya penjaga moral bangsa, tetapi juga pelopor kemajuan yang menguasai ilmu agama dan ilmu dunia, yang berakhlak dan berdaya saing,” tambahnya. (Sekretariat Negara, 24/10/2025)
Pernyataan tersebut menggugah semangat dan mengingatkan kita pada sejarah heroik kaum santri. Namun di balik gegap gempita peringatan itu, muncul pertanyaan mendasar, apakah Hari Santri benar-benar dimaknai sebagai momentum kebangkitan peran santri sebagai fakih fiddiin (ahli dalam agama) sekaligus agen perubahan umat? Ataukah sekadar seremoni tahunan yang kehilangan ruh perjuangan?
Seremonial Tanpa Substansi
Realitas di lapangan menunjukkan, peringatan Hari Santri kini lebih banyak berhenti pada tataran simbolik. Pujian terhadap peran historis santri memang kerap digaungkan, tetapi implementasi nilai perjuangan mereka semakin kabur. Santri ditempatkan sebagai ornamen kultural yang dibutuhkan negara untuk memperindah narasi kebangsaan, bukan sebagai motor penggerak perubahan sejati.
Lebih jauh, kebijakan negara terhadap pesantren dan santri justru diarahkan pada pengarusutamaan moderasi beragama dan pemberdayaan ekonomi. Kedua hal itu tentu penting, namun menjadi problematik ketika substansinya mengikis idealisme santri sebagai penjaga akidah yang melanjutkan perjuangan para ulama. Moderasi beragama kerap ditafsirkan sebagai upaya menjinakkan semangat keislaman yang kritis terhadap sistem sekuler. Santri diarahkan untuk menyesuaikan diri dengan arus globalisasi kapitalistik. Hal ini tentu saja bertentangan dengan pandangan Islam ideologis yang seharusnya diperjuangkan para santri.
Padahal, sejarah membuktikan bahwa peran santri bukan sekadar penonton atau pelengkap. Dari lahirnya Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 hingga perjuangan melawan penjajahan, santri berdiri di garis depan demi kemerdekaan bangsa dan kemuliaan Islam. Ruh perjuangan itu kini seolah tereduksi menjadi sekadar simbol budaya dan upacara tahunan.
Dari Resolusi Jihad ke Moderasi Beragama
Resolusi Jihad yang dahulu menyerukan perlawanan terhadap penjajahan fisik kini direduksi menjadi jargon moral dan ekonomi. Padahal tantangan umat hari ini jauh lebih kompleks. Penjajahan gaya baru tidak lagi menggunakan senjata, tetapi sistem global kapitalistik yang menguasai sumber daya alam, mengendalikan ekonomi, dan membentuk opini publik dunia. Sistem ini menanamkan nilai-nilai sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan publik, menjauhkan umat dari ajaran Islam kafah.
Santri sejatinya adalah benteng terakhir penjaga akidah dan pelita umat. Mereka seharusnya disiapkan menjadi sosok mujahid pemikir, bukan hanya terampil dalam urusan duniawi, tetapi juga tajam dalam menganalisa realitas dengan kacamata Islam. Sebab, perjuangan membangun peradaban Islam tidak mungkin lahir dari generasi yang terdidik untuk berkompromi dengan sistem yang menafikan hukum Allah.
Rasulullah saw. bersabda dalam hadis riwayat Abu Dawud dan Tirmidzi: “Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para nabi. Para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, tetapi mereka mewariskan ilmu. Barang siapa mengambilnya, maka ia telah mengambil bagian yang banyak.”
Santri sebagai calon ulama adalah pewaris risalah kenabian. Mereka memiliki tanggung jawab moral dan intelektual, terutama tanggung jawab dihadapan Allah Swt. kelak untuk mendidik, membimbing, serta membina umat agar kembali kepada Islam yang kafah. Mereka bukan sekadar penceramah moral, tetapi juga perpanjangan lidah Rasulullah saw. dalam dakwah dan penerapan syariat Islam.
Menegaskan Peran Strategis Santri
Sudah saatnya Hari Santri dijadikan momentum untuk mengembalikan peran strategis santri sebagai agen perubahan hakiki. Santri harus fakih fiddiin, yaitu memahami Islam secara mendalam, memiliki keberanian untuk menyeru kepada kebenaran, serta menjadi pelopor dalam menegakkan nilai-nilai Islam dalam setiap lini kehidupan.
Negara pun tidak boleh hanya menjadikan pesantren sebagai pelengkap sistem pendidikan nasional. Pesantren harus diposisikan sebagai pusat lahirnya ulama, pemimpin, dan intelektual Islam yang mampu menawarkan solusi alternatif bagi krisis kemanusiaan dan keadilan global yang bersumber dari sistem kapitalisme sekuler. Pesantren semestinya menjadi think tank peradaban Islam, bukan sekadar lembaga sosial yang dibiayai dan dibatasi oleh regulasi negara.
Santri di masa kini harus berani tampil sebagai pengusung perubahan sistemik, menolak ketimpangan ekonomi, kerusakan moral, dan ketidakadilan sosial yang menindas rakyat. Mereka harus menjadi pelopor dakwah yang menyeru kepada keadilan sejati sebagaimana termaktub dalam firman Allah Swt.: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran [3]: 104)
Ayat ini menegaskan peran dakwah sebagai inti perubahan sosial. Dan posisi itu, secara historis dan ideologis, ada pada pundak para santri.
Penutup
Hari Santri tidak seharusnya berhenti pada nostalgia sejarah atau parade budaya yang semu. Ia mesti menjadi momentum kebangkitan baru, yaitu kebangkitan akidah, ilmu, dan perjuangan menuju tegaknya Islam kaffah dalam seluruh aspek kehidupan. Santri harus menyadari perannya bukan hanya sebagai penjaga moral bangsa, tetapi juga penjaga arah peradaban umat.
Sebab, hanya dengan Islam yang diterapkan secara menyeluruh dalam wadah Negara Khilafah Islam dunia akan merasakan Islam menjadi rahmatan lil 'alamin. Maka, Hari Santri sejatinya bukan sekadar hari peringatan, tetapi panggilan untuk kembali kepada perjuangan besar menegakkan risalah Islam demi kemuliaan umat dan peradaban dunia.
Wallahualam bissawab.

Komentar
Posting Komentar