Islam Kafah, Akhiri Kisah Pilu Seorang Guru
OPINI
Oleh Risma Ummu Medinah
Aktivis Muslimah
Muslimahkaffahmedia.eu.org-Kondisi guru kembali menjadi sorotan.Terutama guru PPPK yang sangat jauh dari kesejahteraan dengan gajinya yang minim atau jauh dari kecukupan. Perwakilan guru dari Ikatan Pendidik Nusantara (IPN) mengusulkan agar pemerintah memperhatikan kesejahteraan mereka dengan menaikkan gaji guru PPPK. Begitupun Komisi X DPR, Hadrian Irfani, meminta pemerintah memperhatikan juga nasib guru honorer ketika Prabowo berencana akan menaikkan gaji guru,TNI/Polri, dan dosen yang berstatus ASN.
Guru honorer kondisinya jauh dari sejahtera, meski sudah diangkat menjadi PPPK. Terlebih guru PPPK tidak mempunyai jenjang karier (meskipun berpendidikan S2/S3), tidak ada uang pensiun, dan tidak sedikit yang masih menerima gaji kecil. (beritasatu.com, 22/9/2025)
Besaran gaji PPPK paruh waktu juga sangat minim sekitar 18 ribu per jam. PPPK paruh waktu adalah guru honorer yang diangkat perjanjian kerja dengan jam kerja lebih singkat di bawah 40 jam per minggu. Kalaulah dihitung Rp18 ribu per jam, sedangkan waktu jam kerja mengajar hanya 15-20 jam per minggu, maka guru PPPK penghasilan per bulan sekitar Rp1.250.000,00-Rp1.500.000,00.
Dengan kondisi ekonomi yang makin sulit dan juga gaya hidup yang tergerus hedonis, tak ayal guru PPPK menurut laporan OJK tercatat profesi yang paling banyak terjerat pinjol demi memenuhi kebutuhan hidupnya (detik.com,14 mei 2024). Sungguh sangat miris seorang guru yang seharusnya jadi teladan bagi murid, malah jadi korban keberadaan sistem yang tidak menjanjikan kesejahteraan.
Harapan Sejahtera Hanya Angan-Angan dalam Kapitalisme
Harapan guru PPPK akan sejahtera dengan anggapan gajinya jauh lebih besar dari guru honorer sebelumnya, ternyata jauh panggang daripada api. Yang berubah hanya status kepegawaian, sementara beban kerja guru masih sama. Mereka dituntut mengajar optimal sementara upah yang diberikan tidak sepadan. Di sisi lain, persoalan lain pun belum teratasi seperti masalah rekrutmen guru, distribusi guru, dan sarana pendukung sampai akses ke sekolah di pedesaan makin miris.
Menyandarkan harapan kepada sistem kapitalis sekuler hari ini memang hanya akan jadi angan- angan. Negara dalam sistem demokrasi yang berdasarkan ekonomi kapitalisme menjadikan pengelolaan SDA dikuasai oleh swasta/oligarki dalam bentuk investasi sehingga negara mengandalkan utang karena tidak memiliki modal untuk membiayai kebutuhan publik.
Negara tidak memiliki anggaran yang cukup untuk menggaji guru secara layak. Maka Indonesia yang kaya akan SDA yang melimpah, pantaskah guru digaji dengan besaran belasan ribu per jamnya? Sementara tuntutan beban yang harus dilakukan terlalu berat.
Dalam sistem kapitalis sekuler ketimpangan sosial makin jauh menganga. Si kaya makin kaya, sementara rakyat jelata makin miskin dan menderita dengan beban pajak dari negara yang makin menjerat. Sungguh negara membebankan semuanya kepada rakyat, sementara pejabat yang menikmati hasil peluh keringatnya.
Nasib guru dipertaruhkan dengan target hasil generasi yang dididiknya. Begitupun posisi guru berada di antara persimpangan antara tugas mulia dengan jasa yang tidak pernah diindahkan. Bahkan pernyataan bapak menteri agama sungguh menyakitkan dengan ungkapan bahwa para guru, kalaulah ingin penghasilan besar jadi pedagang saja.
Sungguh pemerintah tidak niat menghargai jasa guru yang telah mencerdaskan umat sebagai calon estafet kepemimpinan. Kalau kondisi ini terus dibiarkan para guru tidak akan fokus terhadap kualitas generasi yang dihasilkan karena terpaksa mencari usaha sampingan demi menyambung kehidupan.
Sejahtera Guru Hanya dalam Islam
Berbeda dengan sistem Islam, yang mempunyai aturan komprehensif akan mampu memberikan solusi permasalahan apa pun, termasuk kesejahteraan guru. Mekanisme keuangan yang dimiliki negara dalam Islam diatur oleh syariat Islam. Bukan berasal dari aturan manusia, sebagaimana yang diterapkan sistem ekonomi kapitalisme sekuler.
Dalam Islam keuangan dikelola oleh baitulmal yang di mana sumber pendapatan negara berasal dari 3 pos besar. Pertama dari pos fai dan kharaj seperti ganimah, kharaj, tanah usyur, rikaz, dan dharibah. Kedua, pos kepemilikan umum seperti minyak dan gas, listrik, hasil tambang, laut, sungai, perairan, mata air, hutan, padang rumput pengembalian, dan tempat khusus berupa hima. Ketiga, pos zakat yang diambil dari hasil perkebunan, perdagangan, peternakan yang sudah melebihi batas nisab dan lewat setahun. Yang alokasinya tercantum dalam Al-Qur'an.
Pada pos kedua yaitu pos kepemilikan umum, negara akan hadir untuk mengelola SDA milik umat dengan mandiri dan hasilnya diberikan kepada seluruh rakyat dalam bentuk pemenuhan kebutuhan pokok dan jaminan publik seperti kesehatan, pendidikan, dan keamanan tanpa beban biaya yang harus ditanggung oleh rakyat. Maka negara Islam tidak akan kelimpungan untuk pembiayaan pendidikan, fasilitas yang memadai, dan juga gaji para guru.
Khilafah akan bertanggung jawab dan menjamin kesejahteraan guru untuk lebih diprioritaskan. Dan hal ini bukan hanya sebuah cerita khayalan, namun telah nyata dan menjadi bukti sejarah yang telah menorehkan tinta emas peradaban. Rasulullah saw. bersabda, "Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya." (HR Al-Bukhari dan Muslim).
Khalifah pun berkewajiban untuk memastikan pendidikan bermutu, para guru fokus mendidik sebagai persiapan melahirkan generasi yang faqih fiddin, kuat mental, bertakwa, dan berkepribadian Islam. Tentunya dengan gaji yang akan menjamin kesejahteraan mereka.
Sebagaimana gaji guru pada masa Khalifah Umar bin Khattab ra. adalah 15 dinar atau setara dengan 33 juta/bulan. Dan pada masa Khilafah Abbasiyyah juga sangat fantastis, terutama jika dibandingkan dengan zaman sekarang. Gaji para pengajar di masa itu sama dengan gaji para muazin, yakni 1.000 dinar/tahun (sekitar 83,3 dinar/bulan). Dengan nilai 1 dinar sama dengan 4,25 gram emas dan harga emas saat ini sekitar Rp1,5 juta/gram, ini berarti gaji guru pada masa itu sekitar Rp6,375 miliar/tahun atau Rp531 juta/bulan.
Sungguh, Islam adalah peradaban yang sangat memuliakan dan menghargai jasa para guru. Karena dalam syariat Islam upah diberikan sesuai dengan manfaat yang telah diberikan kepada pemberi jasa. Bukan ditentukan status guru itu ASN atau honorer. Islam memosisikan guru sebagai pahlawan dengan tanda jasa seutuhnya.
Maka hari ini, sudah saatnya kita hanya berharap kepada sistem Islam yang akan menerapkan syariat Islam secara kafah untuk memberikan kesejahteraan kepada guru dan mengakhiri kisahnya yang pilu.
Wallahualam bissawab

Komentar
Posting Komentar