Perahu Tua di Tepi Laut


 

Laut itu bukan hanya saksi penderitaan mereka, tapi juga menagih keadilan.

CERPEN

Oleh Nia Rahmat 

Pendidik Generasi



Muslimahkaffahmedia.eu.org, CERPEN-Fajar belum merekah ketika Hasan menghela napas panjang. Perahunya yang sudah renta tampak rapuh di bibir pantai. Marni, istrinya, memeluk anak bungsu mereka erat-erat.


“Bang, laut makin ganas. Perahu itu sudah tak layak. Kalau Abang kenapa-kenapa, bagaimana nasib kami?”

Hasan hanya terdiam. Perut anak-anaknya keroncongan sejak kemarin. Mau tak mau, ia harus melaut.


"Ya Allah, selamatkan hamba. Hamba-mu ini harus menafkahi anak dan istri," batinnya sambil mempersiapkan peralatan melaut dan perahu tuanya.


"Doakan abang ya. Abang harus tetap melaut untuk menyambung hidup...", ucapnya lirih sambil mengelus kepala istrinya. 


Siang itu, Hasan kembali ke dermaga. Perahunya goyah, hanya membawa sedikit ikan. Ketika dijual ke tengkulak, harga ditekan begitu rendah.

“Kalau nggak mau harga segini, simpan saja ikannya. Tapi besok jangan harap bisa masuk ke pasarku lagi,” kata seorang tengkulak sambil merokok santai.


Hasan menggertakkan gigi, tapi tak berdaya. Solar makin mahal, sementara harga ikan makin jatuh. Para nelayan kecil seperti dirinya tercekik.


Sampai kapan rakyat kecil macam dirinya akan memiliki kehidupan yang lebih baik. Jangankan berharap menjadi orang kaya raya, berharap anak bisa mendapatkan pendidikan yang baik dan terjamin kehidupan setiap hari saja seakan masih menjadi mimpi di siang bolong.


"Duh Gusti Allah, apa yang salah dengan semua ini? Mengapa dunia seakan tidak adil pada kami yang lemah?" Hasan bertanya dalam hati. Dia bingung, sedih, marah berbaur menuntut jawab. Tapi, pada siapa ia bisa harus melontarkan pertanyaan dan masalah ini?? 


Malamnya, Ramdan, anak sulungnya, pulang dengan wajah marah.

“Ayah! Kenapa Ayah terus saja pasrah? Teman-teman sekolahku mengejek, bilang aku anak nelayan miskin. Dan memang kita miskian. Aku benci hidup begini!”

Hasan tercekat. Luka hatinya bertambah dalam. Ia ingin menampar, tapi tangannya bergetar. Ramdan benar, mereka memang hidup miskin dan terjepit.


Hasan sebagai orang tua seringkali tak mampu membayar tuntutan dari sekolah. Memang pungutan SPP setiap bulan tidak ada karena Ramdan bersekolah di SD Negeri, tapi ada saja uang yang harus dikeluarkan. Uang untuk membuat kerajinanlah, uang untuk wisata akhir tahunlah, uang untuk biaya kelulusan, uang foto kopi LKS, dll.


Mungkin jika mereka tidak terlalu miskin, pungutan-pungutan semacam itu tidak mengapa, toh kembali pada kebutuhan siswa itu sendiri. Namun, yang membuat sulit dan seringkali membuat anaknya malu dan akhirnya marah adalah ketidakmampuan Hasan sebagai orang tua membayar pungutan tersebut.


Cukup sulit bagi Hasan memenuhi itu semua. Dengan penghasilannya sebagai nelayan kecil, beban menghidupi dirinya, istrinya, dan 3 anak membuat Hasan terhuyung. 


Marni pun ikut meledak.

“Bang, sampai kapan kita hidup seperti ini? Abang bukan orang malas. Tak ada yang bisa bantu kita. Tetangga dan saudara sama miskinnya dengan kita. Juragan Untung kaya, tapi Abang ga berani pinjam modal."


"Hidup sebagai nelayan jauh dari sejahtera, Bang. Apa Abang ga kepikir minta tolong pada Lurah, atau siapa gitu?" Marni mencoba menumpahkan kegelisahan hatinya.


Dia berpikir, apa pemerintah hanya datang waktu kampanye, janji-janji palsu. Setelah itu, rakyat dilupakan!

"Abang kok diam saja? Seolah semua ini takdir. Apa Abang tak mau melawan?” lanjutnya.


Hasan membentak, “Mau lawan bagaimana? Kita cuma rakyat kecil! Melaut saja harus minta belas kasihan tengkulak. Kalau aku melawan, esok kita bisa mati kelaparan!”


Air mata Marni jatuh, meninggalkan luka di dada Hasan yang lebih dalam dari tusukan pisau.


Beberapa hari yang lalu, di saat khutbah Jumat, saat itu diisi oleh seorang pemuda. Namanya Fikri, salah satu mahasiswa KKN. Ia menjelaskan bahwa di dalam Islam pemerintah adalah pelayan umat. Bahwa padang rumput, api, dan air adalah milik umum, di mana negara hanya sebagai pengelola ketiganya dan mengembalikan itu semua kepada rakyat sesuai kebutuhan mereka. Dia pun menjelaskan bahwa kemiskinan rakyat ini bukan salah rakyat. Namun, kesalahan dalam mengambil sistem kehidupan. Negara ini menjadikan kapitalisme sebagai sistem hidup. Laut, ikan, bahkan solar, semua dikendalikan segelintir orang kaya. Negara tak hadir membela rakyat kecil. Pemerintah harus bertindak agar tidak ada tengkulak yang menindas.”


Ia juga mengutip sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Ahmad yang artinya, "Imam adalah pengurus rakyat dan akan dimintai pertanggungjawabannya atas rakyat yang dipimpinnya."


Sungguh ada sesuatu yang berbeda dari isi khutbahnya  dan membuat Hasan berpikir.


Khutbah Jumat dari pemuda itu sungguh membangkitkan api di dadanya. Ternyata selama ini kita kira kemiskinan kita adalah takdir. Rupanya tidak. Ini karena salah sistem.

Sudah seharusnya kita sadar dan berjuang kembali pada tuntunan syariat Islam.


Sebagai nelayan, dirinya bukan hanya melawan ombak laut, tapi juga melawan ombak zalim kapitalisme.


Untuk pertama kalinya Hasan merasa bukan hanya seorang nelayan kecil yang miskin, tapi ia ingin menjadi bagian dari perjuangan besar untuk menuntut perubahan hakiki.


Bukankah hamba sahaya seperti Bilal Bin Rabbah menjadi istimewa karena turut berjuang bersama Rasulullah saw.? Lalu kenapa ia tidak.


Malam itu, Hasan duduk di tepi pantai. Suara debur ombak terdengar lebih keras, seakan laut ikut bersuara. Laut itu bukan hanya saksi penderitaan mereka, tapi juga menagih keadilan.


Di hatinya tumbuh tekad baru, kemiskinan ini bukan akhir. Ini awal kesadaran untuk kembali pada Islam sebagai solusi hakiki permasalahan kehidupan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Oligarki Rudapaksa Ibu Pertiwi, Kok Bisa?

Retak yang Masih Mengikat

Akhir Jeda Sebuah Keteguhan