Peringatan Hari Santri, Wujudkan Cinta Sejati pada Negeri


OPINI


Oleh Nur Syamsiah Tahir 

Praktisi Pendidikan dan Pegiat Literasi AMK 


Muslimahkaffahmedia.eu.org-22 Oktober 45 

Resolusi Jihad panggilan jiwa 

Santri dan ulama tetap setia 

Berkorban pertahankan Indonesia 


Saat ini kita telah merdeka 

Mari teruskan perjuangan ulama 

Berperan aktif dengan dasar Pancasila 

Nusantara tanggung jawab kita


Itulah sebagian lirik lagu yang selalu digaungkan pada saat peringatan Hari Santri.  Dari kata-kata yang disusun menggambarkan semangat yang membara untuk senantiasa mempertahankan negeri ini sebagai wujud tanggung jawab rakyat. Selaras dengan lirik lagu tersebut, Menag mengajak pesantren untuk merebut kembali 'The Golden Age”, yakni mengintegrasikan Kitab Kuning dan Kitab Putih. 


Sebagaimana berita yang dilansir oleh kemenag.go.id pada Kamis, 2 Oktober 2025 lalu,  Menteri Agama (Menag) Nasaruddin Umar mengajak seluruh komponen pondok pesantren di Indonesia untuk menjadikan Musabaqah Qira'atil Kutub (MQK) Nasional dan Internasional sebagai “anak tangga pertama” menuju kembali “The Golden Age of Islamic Civilization" (Zaman Keemasan Peradaban Islam).


Mari kita bangun kembali masa kejayaan keilmuan Islam, seperti pada masa Baitul Hikmah di Baghdad, kebangkitan ini haruslah dimulai dari lingkungan pesantren,” ajak Menag saat membuka acara MQK Internasional di Pesantren As'adiyah Wajo, Kamis (02/10/25).


Dari pernyataan tersebut begitu jelas Menag menegaskan bahwa kebangkitan kembali peradaban emas ini harus dimulai dari lingkungan pesantren. Hal ini merujuk pada zaman keemasan peradaban Islam. Pada masa kepemimpinan Harun Al-Rasyid kala itu tepatnya di Baghdad, kejayaan Islam bisa dicapai karena adanya integrasi ilmu. Ulama pada masa itu tidak hanya mahir dalam kitab kuning (Ilmu Agama) saja, tetapi juga mahir dalam kitab putih (Ilmu Umum).


Lebih lanjut Menag menyatakan runtuhnya peradaban Islam pada masa dikarenakan adanya dualisme ilmu, yakni pemisahan antara ilmu agama dan ilmu umum. Sampai akhirnya menjadi pembatas keilmuan para cendekiawan hingga masa kini. Selanjutnya Menag mengungkapkan bahwa perpaduan dua jenis keilmuan ini adalah kunci, sehingga pondok pesantren harus cerdas dan tidak membatasi diri pada satu jenis keilmuan saja.


"Perkawinan antara 'Iqra’ [Kitab Putih] dan 'Bismirabbik' [Kitab Kuning] itulah yang akan melahirkan insan kamil", tuturnya.


Oleh karena itu, berkaitan dengan momen tersebut maka secara sepintas penetapan tema besar Hari Santri 2025 yakni “Mengawal Indonesia Merdeka Menuju Peradaban Dunia” tentu memberi harapan. Hal ini senada dengan apa yang disampaikan Menag pada saat pembukaan acara MQK Internasional di Pesantren As'adiyah Wajo tersebut. Namun dalam kehidupan sekularisme liberal seperti saat ini, arah penetapan tema tersebut butuh dicermati dengan kaca mata syariat.


Mengapa harus dicermati? Karena dalam kehidupan saat ini yang mengusung paham kapitalis sekuler, maka imbasnya adalah upaya pengokohan sekularisme di dunia pesantren. Hal ini diperkuat lagi dengan adanya upaya mendistorsi posisi strategis pesantren sebagai pusat pencetak ulama dan pemimpin peradaban Islam. Selanjutnya upaya mendistraksi fokus santri dengan memposisikannya sebagai duta budaya dan motor kemandirian ekonomi, sedangkan hal itu jelas-jelas kontraproduktif dengan peran strategis santri sebagai calon warosatul anbiya’.


Lebih jauh lagi, ada upaya-upaya yang justru akan membelokkan arah perjuangan santri, di antaranya menjadi agen perdamaian dan perubahan sosial versi sekularisme, serta mengarahkan santri sebagai duta Islam moderat (wasathiyah),  yang jelas-jelas hal tersebut bertentangan dengan Islam.


Terlepas dari semua upaya itu, seharusnya ada usaha yang hakiki yaitu upaya untuk mewujudkan kembali peradaban Islam. Upaya ini adalah kewajiban yang harus diemban oleh setiap mukmin, bukan sekadar narasi dan seruan semata. Untuk itu, penting untuk mendetail bagaimana Islam membangun peradaban hingga mencapai masa keemasan selama beranad-abad. 


Maka asas yang mendasari semua upaya itu adalah penanaman akidah Islam pada setiap individu muslim sebagai fondasi dalam berpikir dan berperilaku.  Selanjutnya miqyas/standart pemikiran dan perbuatannya hanyalah halal dan haram secara utuh, bukan yang lainnya.  Sebagaimana firman Allah Swt. dalam QS. Al-Baqarah ayat 208 yang artinya:


 "Wahai orang-orang yang beriman, masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan dan janganlah ikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya, setan itu musuh yang nyata bagi kalian."


Demikian pula dalam menjalani kehidupan, seorang mukmin akan memaknai kebahagiaan dengan berpatokan pada keridaan Allah Swt, saja. Semua ini tidak hanya terwujud pada diri individu muslim saja tetapi juga pada keluarga, masyarakat, bahkan dalam tataran negara. Pada akhirnya gambaran kehidupan kaum muslimin yang terjamin segala sesuatunya, termasuk keamanan, kesehatan, kesejahteraa bukanlah gambaran yang fiktif tetapi nyata.


Alhasil, pesantren hanyalah salah satu komponen dari berbagai komponen lainnya yang akan turut berperan dalam mewujudkan kembali peradaban Islam. Hanya saja semua itu membutuhkan perjuangan dakwah. Dakwah yang dimaksud adalah dakwah politik Islam yang benar-benar terarah pada tujuan yakni terwujudnya peradaban Islam yang hakiki. Adapun peradaban Islam yang sejati hanya dan hanya akan terwujud dalam sistem khilafah. Dengan demikian akan terwujud pula cinta sejati pada negeri, bukan cinta yang semu. Wallahualam bissawab.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Oligarki Rudapaksa Ibu Pertiwi, Kok Bisa?

Retak yang Masih Mengikat

Akhir Jeda Sebuah Keteguhan