Santri: Penjaga Peradaban dan Pelopor Kebangkitan Islam
OPINI
Oleh Rati Suharjo
Pemerhati Kebijakan Publik
Muslimahkaffahmedia.eu.org, OPINI -Santri sejatinya adalah murid yang rela meninggalkan kenyamanan rumah demi menuntut ilmu agama. Mereka mengabdikan waktu, tenaga, bahkan hidupnya untuk memperdalam ajaran Islam — dari tafsir, fikih, hadis, hingga bahasa Arab. Dari pondok-pondok pesantren inilah lahir para ulama dan pejuang yang menjadi benteng moral bangsa.
Tak berlebihan jika sejarah mencatat bahwa kaum santri dan ulama berada di garda terdepan dalam perjuangan kemerdekaan. Mereka bukan hanya memegang kitab, tetapi juga mengangkat senjata ketika tanah air terancam. Resolusi Jihad yang dicetuskan KH Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945 menjadi bukti nyata peran besar santri dalam menyalakan api perlawanan terhadap penjajah. Semangat jihad fi sabilillah itu berpuncak pada Pertempuran Surabaya 10 November 1945, yang menggetarkan dunia.
Presiden Prabowo Subianto pun mengingatkan kembali arti penting Resolusi Jihad dalam pesannya pada peringatan Hari Santri Nasional 2025. Ia menegaskan bahwa semangat jihad para santri tak boleh padam. Mengawal Indonesia Merdeka, Menuju Peradaban Dunia, menjadi tema hari santri tahun ini — mencerminkan tekad santri untuk terus berperan dalam membangun bangsa dengan ilmu dan iman. (kompas.com, 25-10-2025)
Namun, di balik semangat dan seremoni tahunan itu, tersimpan kenyataan pahit yang tak bisa disembunyikan. Santri hari ini kerap hanya dijadikan simbol, bukan penggerak. Hari santri dirayakan dengan upacara, pawai, dan lomba seremonial, tetapi makna jihad intelektual dan moralnya justru kian pudar. Sosok santri faqih fiddin — mendalam dalam ilmu agama dan tangguh dalam berpikir — kini semakin langka di tengah gempuran budaya pragmatis dan arus digitalisme kosong.
Padahal, jika santri berhenti pada nostalgia masa lalu, pesantren akan kehilangan ruh perjuangannya. Santri seharusnya menjadi motor perubahan, bukan penonton di tengah krisis moral, ekonomi, dan sosial bangsa. Di era ketika ilmu agama kerap dipisahkan dari ilmu dunia, santri harus tampil sebagai jembatan — membawa nilai-nilai Islam ke dalam tatanan kehidupan modern tanpa kehilangan identitasnya.
Sudah saatnya santri kembali pada jati dirinya: berpikir tajam, berakhlak kokoh, dan berani menegakkan kebenaran. Mereka bukan sekadar pewaris sejarah, tetapi pelanjut peradaban. Jika semangat jihad 1945 adalah melawan penjajah bersenjata, maka jihad santri masa kini adalah melawan kebodohan, kemiskinan, kemalasan berpikir, serta penjajahan ideologi yang menggerus akhlak bangsa.
Sayangnya, sistem pendidikan saat ini yang dibangun di atas fondasi sekularisme justru menjauhkan santri dari pemahaman hakiki tentang penjajahan gaya baru. Pendidikan sekuler tidak mengarahkan santri menjadi penjaga umat dengan syariat Islam, melainkan menjadikan mereka penerus sistem yang rusak — sistem yang memisahkan agama dari kehidupan.
Lebih ironis lagi, banyak santri tidak menyadari bahwa keterpurukan bangsa — mulai dari kebodohan, kemiskinan, pengangguran, hingga ketergantungan pada asing — merupakan buah pahit dari penerapan demokrasi sekularisme yang melahirkan liberalisme dan imperialisme. Mereka memahami bahwa menjaga NKRI adalah harga mati, tetapi belum memahami bahwa negeri ini kini dijajah dengan cara baru: bukan dengan senjata, melainkan melalui ideologi dan sistem kehidupan yang tidak bersumber dari Islam.
Pendidikan sekuler juga telah memangkas makna jihad. Jihad yang sejatinya bermakna berjuang di jalan Allah untuk menegakkan kalimat-Nya di muka bumi, kini direduksi hanya menjadi “bersungguh-sungguh” dalam belajar atau bekerja. Padahal Allah Swt. menegaskan:
“Dan perangilah mereka sehingga tidak ada lagi fitnah dan agama hanya bagi Allah semata.”
(TQS. Al-Baqarah [2]: 193)
Ayat ini menunjukkan bahwa jihad bukan sekadar semangat, tetapi perjuangan untuk menegakkan kehidupan Islam secara total agar tidak ada sistem selain Islam yang mengatur umat manusia.
Karena itu, jika ingin melahirkan santri sebagai agen perubahan sejati, negara harus berperan aktif membangun sistem pendidikan yang berlandaskan akidah Islam. Pendidikan semacam ini akan melahirkan santri yang bukan hanya paham fikih ibadah, tetapi juga fikih kehidupan — yakni memahami bagaimana Islam mengatur politik, ekonomi, sosial, budaya, dan pemerintahan.
Dengan pemahaman ini, santri akan menyadari bahwa penjajahan tidak hanya berupa penguasaan wilayah, tetapi juga penguasaan ideologi, kebijakan ekonomi, bahkan cara berpikir umat. Mereka tidak akan membiarkan sejengkal tanah pun dikuasai oleh asing atas nama investasi. Sebagaimana firman Allah Swt. :
“Dan sekali-kali Allah tidak akan memberi jalan (kekuasaan) kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang mukmin.”
(TQS. An-Nisa [4]: 141)
Ayat ini menjadi peringatan agar umat Islam tidak rela berada di bawah dominasi sistem kufur, baik dalam bidang politik, ekonomi, maupun budaya.
Maka, satu-satunya jalan untuk membebaskan umat dari penjajahan gaya baru adalah dengan mengembalikan Islam sebagai konstitusi negara. Islam bukan sekadar mengatur ibadah ritual seperti salat, puasa, dan haji, tetapi juga mengatur seluruh aspek kehidupan, sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah ﷺ ketika mendirikan Daulah Islamiyah di Madinah.
Sebagaimana firman Allah Swt. :
“Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara kaffah (menyeluruh), dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh, ia adalah musuh yang nyata bagimu.”
(TQS. Al-Baqarah [2]: 208)
Ayat ini menegaskan bahwa Islam harus diterapkan secara menyeluruh (kaffah) dalam seluruh sendi kehidupan — baik pendidikan, ekonomi, hukum, pemerintahan, maupun sosial.
Dengan demikian, santri sejati bukan hanya hafal kitab, tetapi juga menjadi penggerak peradaban Islam, penjaga kemurnian akidah, dan pelopor kebangkitan umat. Mereka sadar bahwa kemerdekaan sejati hanya akan terwujud ketika Islam kembali ditegakkan sebagai sistem yang memimpin dunia — sebagaimana dahulu para ulama dan santri berjuang menegakkan kemuliaan Islam dengan ilmu, iman, dan jihad.
Wallahualam bissawab.

Komentar
Posting Komentar