Sistem Pendidikan Sekuler Gagal Mencetak Generasi Bermoral

 


Sistem pendidikan sekuler terbukti telah gagal mencetak peserta didik yang bertakwa dan berakhlak mulia. 

OPINI

Oleh Fathimah Salma

Pengelola Pondok Pesantren Al Mustaniir Kuningan


Muslimahkaffahmedia.eu.org, OPINI-Dunia pendidikan di negeri ini kembali mendapatkan sorotan tajam. Kali ini fakta menunjukkan semakin rumitnya posisi lembaga pendidikan. Orang tua siswa melaporkan Kepala SMAN 1 Cimarga, Kabupaten Lebak, Banten, Dini Fitri yang diduga menampar siswa (anaknya) yang merokok di lingkungan sekolah. Mereka tidak terima atas perlakuan kepala sekolah terhadap anaknya. Sempat menjadi polemik, meski sudah berakhir damai (detikNews.com, 18/10/2025).


Ini bukan kasus pertama kalinya, ada beberapa kasus serupa terjadi. Seperti teguran kepala sekolah terhadap siswa yang membawa mobil, guru mencukur rambut siswa, dan lain-lain. Para orang tua siswa tidak terima atas perlakuan tersebut, kemudian melaporkannya kepada pihak kepolisian.


Kasus ini membuat dilemanya posisi guru. Bahkan mengarah kepada semakin tidak berdayanya posisi guru. Beredar cepat di jagat maya foto seorang siswa SMA di Makassar berinisial AS, yang dengan santainya merokok dan mengangkat kaki di samping gurunya, Ambo (suara.com. 16/10/2025). Insiden ini bukan sekadar cerita tentang kenakalan remaja, melainkan sebuah dilema besar yang dihadapi para pendidik di era modern. 


Banyaknya siswa yang merokok sebagaimana dilaporkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang memperkirakan sekitar 15 juta remaja berusia 13 sampai 15 tahun di seluruh dunia menggunakan rokok elektrik atau vape, menandakan remaja memiliki kemungkinan sembilan kali lebih besar untuk menggunakan vape dibandingkan orang dewasa (inforemaja.id, 17/10/2025). Fakta ini terjadi seiring semakin kerdilnya fungsi lembaga pendidikan di negeri ini.


Rumitnya posisi pendidikan saat ini yang cenderung mengarah pada kerdilnya fungsinya disebabkan oleh adanya ruang abu-abu dalam penerapan disiplin siswa dan tergerusnya wibawa guru. Ruang abu-abu tersebut tercipta di bawah narasi pelanggaran HAM. Ini sangat menjerat kalangan guru khususnya, dan masyarakat pada umumnya. Akibatnya, pihak sekolah cenderung dihadapkan pada dilema besar, antara menjadi pendidik yang bertanggung jawab menegakkan disiplin, atau membiarkannya. Tidak ada perlindungan yang jelas bagi guru, guru berada dalam tekanan yang luar biasa. 


Pihak sekolah bahkan semakin mengarah pada ketidakberdayaannya di dalam hal ini. Pihak sekolah tidak bisa berbuat apa-apa menghadapi siswa yang tidak menegakkan disiplin, apalagi karena kali ini pandangan sekolah mengarah pada orientasi kapital. Pihak sekolah memandang siswa adalah aset (sumber uang) yang bisa menghidupi sekolah dan para gurunya. Sudah bukan rahasia lagi, bahwa siswa atau mahasiswa adalah raja yang harus dilayani. Ini terjadi semenjak digulirkannya paham liberalisasi pendidikan, yang melahirkan swastanisasi pendidikan. 


Salah satu efeknya adalah dicabutnya subsidi pendidikan oleh negara. Lembaga pendidikan dituntut untuk bisa mensubsidi sendiri berbagai proses pendidikan yang berjalan. Tak ayal, siswa dipandang sebagai aset atau raja bagi pihak sekolah. Karena dari sanalah salah satu sumber pembiayaan proses pendidikan berlangsung.


Siswa merasa punya kebebasan menjadi fenomena. Mereka bisa melakukan apapun yang mereka mau tanpa ada rasa takut dan segan kepada para guru di sekolahnya. Jika ada teguran dari pihak sekolah, tinggal melapor kepada orang tuanya, kemudian kepada pihak kepolisian. Ketika guru ingin menegakkan kedisiplinan bagi siswanya, sering kali guru diadukan bahkan mengancam posisinya


Kenyataan ini wajar terjadi di dalam sistem kapitalis sekuler. Sistem yang berasaskan sekuler ini telah melahirkan paham liberalisme dalam berbagai hal, termasuk dalam sektor pendidikan. Yang paling menonjol adalah pencabutan subsidi negara terhadap berbagai sektor pelayanan terhadap masyarakat. Negara ditempatkan tidak berfokus pada pengurusan masyarakat, negara hanya berperan dalam regulasi saja. Bahkan negara diposisikan sebagai pengabdi kepentingan-kepentingan para kapital, hingga pun harus mengorbankan rakyatnya. Dari sinilah seluruh sektor pelayanan masyarakat, dituntut untuk bisa mengelola sendiri berbagai jenis pelayanannya, termasuk sektor pendidikan. 


Tidak hanya sampai disitu, sistem kapitalis sekuler juga meniscayakan negara abai melahirkan generasi yang tidak taat aturan dan krisis moral. Dibawah paham liberal yang dilahirkannya, generasi bukan menjadi tanggung jawabnya. Generasi bahkan menjadi objek kapitalisasi. Generasi didesain masuk dalam perputaran mesin penghasil uang. Untuk itulah aspek keilmuan yang membentuk karakter anak dan moralnya bukan menjadi urusannya. Pihak sekolah atau lembaga pendidikan pun dikerdilkan perannya. Pihak sekolah dibuat sibuk dengan perkara-perkara administratif.


Belum lagi gaya hidup mengejar kebahagiaan dengan standar materi yang dilahirkan dari sistem kapitalis sekuler juga, meracuni masyarakat, tak terkecuali pihak sekolah, termasuk pada para gurunya. Pihak sekolah saat ini cenderung berorientasi tampilan materi, dari tampilan gedung yang bisa menjual, berbagai fasilitas di dalamnya, dan lain-lain. Begitu juga dengan para gurunya cenderung mengejar jabatan demi kenaikan gaji dan tunjangan. Tak ayal mereka diam atas berbagai persoalan yang menimpa siswa didiknya. Bahkan cenderung menutupinya untuk alasan sekolah tidak akan laku jika permasalahan siswanya diangkat.


Ketika merokok yang telah menjadi alasan ungkapan kedewasaan, jati diri dan kebanggaan agar dibilang keren, itu merebak di kalangan generasi, maka tidaklah menjadi aneh. Di sisi lain, rokok yang merupakan barang ekonomi dalam pandangan kapitalis sekuler akan diproduksi terus. Negara tidak akan mampu untuk menutupnya, apalagi ternyata rokok terbukti menjadi salah satu sumber pemasukan bagi negara. Karena dalam kapitalis sekuler juga menutup berbagai sumber pemasukan dari sektor-sektor sumber daya strategis di negara mana pun. Sumberdaya-sumberdaya strategis adalah milik para pemilik kapital. Akibatnya sumber pemasukkan negara ada pada pajak.


Atas dasar semua itu, maka Sistem pendidikan sekuler terbukti telah gagal mencetak peserta didik yang bertakwa dan berakhlak mulia. Perlu menanamkan kembali nilai-nilai fundamental sopan santun dan rasa hormat kepada guru.


 Dalam Islam guru adalah pilar peradaban, posisinya dihormati dan dimuliakan karena tugasnya membentuk kepribadian muridnya. Guru menjadi tempat lahirnya calon-calon pemimpin peradaban. Guru bukan hanya gudang ilmu namun pendidik yang memberikan suri teladan bagi muridnya. 


Islam mewajibkan bagi negara untuk menjadi support sistem penuh bagi posisi guru dan lembaga pendidikan. Dari mulai proses pencetakan guru hingga jaminan kesejahteraannya menjadi tanggung jawab negara. Begitu juga dengan lembaga pendidikan, Islam mewajibkan negara untuk membangun sistem politik pendidikan yang baik dan berbagai fasilitas pendidikan. 


Dalam Islam hukum merokok memang mubah, tapi di sisi lain tidak boleh membahayakan diri sendiri dan orang lain. Merokok bisa membahayakan kesehatan bagi perokok aktif maupun pasif. Selain itu juga menjadikan hidup boros. Untuk itu produksi rokok di dalam Islam tidak dibenarkan. 


Sistem pendidikan Islam mengajarkan bagaimana pelajar mempunyai pola pikir dan pola sikap yang sesuai Islam. Melahirkan generasi yang mempunyai kesadaran bahwa tujuan diciptakan manusia adalah untuk beribadah dan akan dimintai pertanggungjawabannya kelak. Bahwa remaja muslim harus berprinsip dan bangkit menjadi generasi yang beriman bukan generasi yang merusak, menjadi generasi yang memimpin dengan Islam, bukan generasi pembebek kerusakan.


Wallahu a’lam bishshawab.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Oligarki Rudapaksa Ibu Pertiwi, Kok Bisa?

Retak yang Masih Mengikat

Akhir Jeda Sebuah Keteguhan