Berbagai Bencana Mendera Akibat Ulah Manusia, Allah pun Angkat Bicara


OPINI


Oleh Nur Syamsiah Tahir 

Praktisi Pendidikan dan Pegiat Literasi AMK 


Muslimakaffahmedia.eu.org-Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).


Terjemahan QS. Ar-Ruum ayat 41 di atas merupakan peringatan nyata dari Allah Swt. untuk manusia, penghuni bumi ini secara keseluruhan. Ayat tersebut berlaku sejak diturunkannya kepada Nabi Muhammad saw. hingga kini, bahkan hingga kehidupan ini berakhir kelak.


Tentu saja hal ini tak berlebihan kala kita terperangah dengan berbagai bencana yang mendera bumi Indonesia tercinta ini. Sebagaimana yang dilansir oleh NU Online Jateng, Sabtu (29/11/2025), sejumlah bencana besar melanda Indonesia sepanjang November 2025. Mulai dari longsor di Jawa Tengah, erupsi Gunung Semeru di Jawa Timur, hingga banjir besar yang menerjang Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat


Bencana longsor di Cilacap, Jawa Tengah, pada 18 November 2025 menimbulkan duka mendalam, 20 warga meninggal, 3 orang hilang, dan ratusan warga kena dampaknya. Terdata 269 keluarga kehilangan tempat tinggal serta 383 jiwa mengungsi. Sementara itu, di Banjarnegara longsor yang terjadi dua hari sebelumnya mengakibatkan 2 korban meninggal dan 1.019 jiwa akhirnya meninggalkan rumah mereka.


Sementara itu, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melaporkan kondisi kebencanaan nasional selama periode 18 November 2025 pukul 07.00 WIB hingga 19 November 2025 pukul 07.00 WIB, tercatat 8 kejadian bencana signifikan, terdiri dari empat kejadian baru dan empat pengkinian kejadian. Sebagian besar kejadian masih dipicu oleh curah hujan tinggi, angin kencang, dan kondisi geologi labil yang berdampak pada banjir, tanah bergerak, serta tanah longsor. (BNPB, 19 November 2025)


Tak cukup itu, Gunung Semeru kembali erupsi pada 19–23 November. Letusan itu mengakibatkan 528 jiwa mengungsi dan 3 warga mengalami luka-luka. Di Sumatra, tiga provinsi yang dilanda banjir besar juga menyisakan catatan kelam. Di Aceh, terdata 6 korban meninggal, 11 hilang, dan 20.759 jiwa mengungsi. Situasi di Sumatra Utara bahkan lebih parah tercatat 55 korban meninggal serta 41 hilang. Adapun di Sumatra Barat terdeteksi 9 korban meninggal akibat banjir tersebut.


Menyimak rentetan bencana di bumi pertiwi ini patut kiranya bagi kita untuk menelaah penyebabnya. Pada faktanya bulan November-Desember memang dideteksi musim hujan. Informasi yang dipublikasikan oleh bmkg.go.id pada 2 Oktober 2025, prediksi El Nino-Southern Oscillation (ENSO) menunjukkan kecenderungan ENSO Netral sepanjang tahun 2025. Sedangkan awal musim hujan di Indonesia tidak terjadi dalam waktu bersamaan. Sebanyak 333 zona musim (ZOM), yakni 47,6% di Indonesia diprediksi akan masuk musim hujan pada bulan September hingga November 2025. Bahkan sebelum September 2025 sebagian wilayah Sumatra dan Kalimantan telah memasuki musim hujan. Selanjutnya, musim hujan akan meluas secara bertahap ke wilayah selatan dan timur, dengan sebagian besar daerah diprediksi mulai mengalami musim hujan pada September, Oktober, dan November 2025.


Di satu sisi pada tahun 2025/2026 telah diprediksi musim hujan maju atau datang lebih awal dari kebiasaannya di sebagian besar wilayah Indonesia (294 ZOM atau 42,1%). Di sisi lain, kondisi akumulasi curah hujan pada musim hujan 2025/2026 (Sifat Musim) umumnya diprediksi pada kategori normal artinya tidak dalam kondisi yang lebih basah maupun lebih kering daripada biasanya. Sedangkan puncak musim hujan 2025/2026 diprediksi banyak terjadi pada bulan November hingga Desember 2025 di Indonesia bagian Barat. Untuk bulan Januari hingga Februari 2026 di Indonesia bagian Selatan dan Timur.


Berbekal informasi di atas sejatinya pemerintah, baik pemerintah daerah maupun pusat harus sudah memprediksi dan menyiapkan segala sesuatunya, baik pencegahan, penanganan, penanggulangan, bahkan proses evakuasinya. Bahkan jauh-jauh hari melalui program-program yang dicanangkan harusnya banjir bandang dan tanah longsor bisa diantisipasi. Namun faktanya program-program yang dicanangkan justru menjadi pemicu terjadinya bencana-bencana tersebut.


Sumatra yang dikenal dunia dengan hutan-hutan yang melindungi keberadaan gunung-gunung serta hewan-hewan di sana justru dibabat menjadi perkebunan kelapa sawit. Ribuan pohon kelapa sawit memang terjajar rapi dan indah dipandang, tetapi kekuatan akar yang mencengkeram tanah pegunungan tidak sekuat pohon-pohon yang telah ditebang oleh para pengusaha. Fakta ketika banjir terjadi, air yang datang tanpa permisi tidak hanya membawa tanah yang berasal dari gunung, lumpur, dan ranting-ranting kayu, bahkan kayu-kayu gelondongan bebas berenang menyapu pemukiman, perkebunan, persawahan, dan lahan penduduk.


Pada akhirnya tak terkira kerugian yang diderita penduduk. Tidak hanya kerugian material tetapi juga kerugian fisik, nyawa, dan psikis. Yang lebih menyesakkan bagi penduduk yang terdampak adalah komentar-komentar para petinggi negeri yang menganggap apa yang diviralkan di medsos tidak sepadan dengan fakta yang ada. Belum lagi bantuan yang datang juga tidak bisa segera dirasakan oleh penduduk. Lebih parahnya lagi, di tengah musibah ini masih tampak truk-truk berseliweran mengangkut kayu-kayu gelondongan. Sungguh miris dan terlalu!


Inilah fakta yang terjadi di tengah kehidupan negeri ini, negeri yang membebek Barat dengan kapitalis sekuler sebagai asasnya. Segala kebijakan diambil berdasarkan kehendak para pemilik modal, pemegang kekuasaan alias pemerintah tuntuk dan patuh pada para kapital tersebut, entah sebagai balas budi atau penguat atas kelanggengan posisi yang diraihnya. Terhadap rakyat yang telah memilihnya maka ketidakpedulian yang ditampakkan. Perhatian pada rakyat hanya sekedar lipservice semata. Kita bisa melihat bagaimana besaran pajak terus dinaikkan atas dasar tuntutan kebutuhan APBN, kebutuhan membayar hutang Negara, dan sebagainya. Di sisi lain sumber daya alam yang melimpah terus dikeruk hingga tak bersisa. Tidak hanya di Irian Jaya yang tambang emasnya telah menjadi lembah, di Sumatra pun galian-galian tambang tampak seperti lekuk-lekuk tubuh ular saat disorot dari udara. Adapun hasil dari itu semua masuk ke kantong-kantong para petinggi negeri, para pemilik modal, dan kroni-kroninya. Penduduk hanya mendapatkan remah-remahnya saja.


Kondisi akan berbalik 180 derajat kala Islam sebagai agama mayoritas di negeri ini tidak hanya dijadikan sebagai agama di KTP saja. Namun Islam dijadikan sebagai patokan dan pedoman dalam menyelesaikan semua urusan kehidupan baik secara individu, keluarga, masyarakat, bahkan oleh Negara. Di dalam Islam urusan hutan termasuk dalam kepemilikan umum sama halnya dengan air, api, dan padang rumput. Abu Dawud dan Ahmad telah meriwayatkan sebuah hadis yang artinya, “Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api.” 


Di dalam hadis tersebut termasuk hadis lain yang senada terdapat penetapan bahwa manusia (muslim maupun kafir) berserikat dalam ketiga hal itu. Sebagaimana fakta penafsiran syirkah (perserikatan) dalam air yang mengalir di lembah, sungai besar seperti Jihun, Sihun, Eufrat, Tigris dan Nil. Pemanfaatan air itu posisinya seperti pemanfaatan matahari dan udara. Muslim maupun nonmuslim sama saja boleh memanfaatkannya.


Dengan demikian, berserikatnya manusia dalam ketiga hal itu karena ketiganya merupakan kebutuhan orang banyak (komunitas) dan jika tidak ada akan muncul perselisihan atau terjadi masalah dalam pencariannya. Artinya, berserikatnya manusia itu karena air, padang rumput, dan api merupakan fasilitas umum yang dibutuhkan semua orang.


Dengan demikian, apa saja (air, padang rumput, hutan, api, sarana irigasi, dan selainnya) yang menjadi fasilitas umum yang dibutuhkan setiap orang secara bersama-sama–yang jika tidak ada akan memunculkan perselisihan dalam mencarinya–maka manusia berserikat di dalamnya.


Perserikatan di situ bermakna perserikatan dalam memanfaatkannya. Dalam arti, setiap orang boleh memanfaatkannya dan tidak boleh seorangpun atau sebagian orang menguasainya, sementara sebagian yang lain dihalangi/dilarang. Artinya, Asy-Syâri’ telah memberi izin kepada semua orang untuk memanfaatkan jenis harta itu. Maka izin Asy-Syâri’ untuk memanfaatkan suatu harta merupakan kepemilikan. Maka hadis di atas dan nas lainnya, dapat di-istinbath kepemilikan umum, yakni Asy-Syâri’ mengizinkan kepada semua orang untuk memanfaatkan harta. 


Adapun ketika dalam pemanfaatan tersebut membutuhkan proses yang panjang berupa pengelolaan maka pengelolaanya langsung diurusi oleh Negara bukan oleh individu atau perseroan. Sehingga jika untuk keperluan tersebut dibutuhkan dana dalam pengelolaannya baik untuk pengadaan mesin, alat angkut, tenaga kerja, dan lainnya maka Negara berhak menarik tarif bagi pemanfaatannya dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat. Selain itu Negara juga mengatur dalam hal pengelolaannya agar tidak dieksplor secara besar-besaran. Negara harus memikirkan pula cara agar pemanfaatannya berkesinambungan dan berlaku terus sampai generasi-generasi berikutnya. Yang utama lagi pengelolaannya tidak merusak habitat yang ada.


Dengan demikian kelangsungan atas pemanfaatan milik umum tersebut baik air, padang rumput maupun api termasuk barang tambang di dalamnya akan benar-benar diatur oleh Negara. Negara yang dimaksud adalah Negara yang ditegakkan atas dasar akidah Islam bukan akidah lainnya. Sehingga Islam sebagai rahmatan lil ‘alamiin benar-benar akan terwujud. Masyarakat akan hidup sejahtera di bawah naungan Negara ini. Tidak akan terjadi peristiwa-peristiwa seperti saat ini yang semua itu terjadi akibat ulah tangan-tangan penguasa dan kroni-kroninya. Wallahu ‘alam bissawab.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Oligarki Rudapaksa Ibu Pertiwi, Kok Bisa?

Retak yang Masih Mengikat

Akhir Jeda Sebuah Keteguhan