Di Balik Banjir Gelondongan Kayu di Sumatera, Ada Apa?


OPINI

Qadarullah atas kuasa Allah Swt. bahwa bencana banjir bandang tidak hanya membawa lumpur dan batu, tetapi juga gelondongan kayu.

Oleh Nur Fitriyah Asri

Penulis Opini Ideologis


Muslimahkaffahmedia.eu.org-Sudah sepekan yang lalu banjir bandang dan tanah longsor menerjang sekitar 50 kabupaten/kota di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Peristiwa itu menimbulkan dampak yang memilukan dan memprihatinkan. Siapakah seharusnya yang bertanggung jawab?


Data terbaru Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat korban tewas di tiga provinsi tersebut bertambah menjadi 776 orang, korban hilang sebanyak 564 orang, korban luka-luka mencapai 2.600 orang, jumlah warga terdampak tembus 3,3 juta jiwa, dan 10.400 rumah warga rusak parah. Bencana ini juga merusak 354 fasilitas umum, 132 rumah ibadah, 9 fasilitas kesehatan, 100 gedung perkantoran, dan 213 fasilitas pendidikan rusak. Selain itu 295 jembatan terdampak dan sebagian tidak dapat dilewati. Kerugian diperkirakan mencapai Rp68,67 triliun per Selasa. (Beritasatu.com 4/12/2025)


Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menilai banjir besar dan longsor yang melanda di tiga provinsi tersebut tidak hanya disebabkan oleh cuaca ekstrem, tetapi akibat alih fungsi lahan. Meski dalam hal ini pemerintah menyanggahnya.


Hasil analisis WALHI, sejak 2016 hingga 2024 ketiga provinsi tersebut kehilangan 1,4 juta hektare hutan. Sementara itu, ada 631 izin perusahaan yang beroperasi di sektor perkebunan monokultur sawit dan pertambangan.


Hutan yang Hilang


Qadarullah atas kuasa Allah Swt. bahwa bencana banjir bandang tidak hanya membawa lumpur dan batu, tetapi juga gelondongan kayu. Ini membuktikan bahwa di hulu ada kerusakan hebat akibat kejahatan terhadap hutan dan sudah berlangsung lama. Tentunya hal ini dilegitimasi kebijakan penguasa sebagaimana temuan WALHI.


Dalam menghadapi bencana, harusnya sikap seorang muslim yang beriman akan menyandarkan dirinya kepada Allah Swt.. Maka ia harus bersabar dan tawakal atas semua musibah yang menimpa. Sebagaimana firman Allah Swt.:


"Dan sungguh akan kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar." (TQS. al-Baqarah: 155)


Namun demikian, sabar juga harus disertai muhasabah, mengapa musibah itu terjadi agar menjadi pribadi muslim yang baik. Karena faktanya bencana banjir selalu berulang tanpa bisa mengatasi masalah ini. Seharusnya peristiwa tersebut dijadikan evaluasi bersama. Tentu hal ini ada problematika yang mendasar, yaitu persoalan sistemik. Masalah banjir tidak hanya terjadi karena faktor curah hujan yang tinggi. Namun, disebabkan pula adanya aktifitas manusia. Sebagaimana firman Allah Swt.: 


"Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)." (TQS. ar-Rum): 41)


Ayat ini menjelaskan bahwa kerusakan alam disebabkan oleh tangan-tangan mereka. Seperti alih fungsi tanah pertanian atau perkebunan menjadi tanah pembangunan, penggundulan hutan untuk pertambangan dan kebun sawit, tata kelola tempat huni yang kurang baik, pabrik-pabrik yang didirikan tanpa memperhatikan faktor lingkungan, dan lainnya. Di mana aktivitas tersebut dapat merusak fungsi tanah karena tidak memiliki daya serap air. Akibatnya terjadilah banjir, longsor, dan bencana alam lainnya.


Ironisnya, dalam sistem demokrasi kapitalis sekuler negara hanya berfungsi sebagai regulator (pembuat hukum). Kebijakannya hanya berupa pemberian hak konsesi lahan, obral izin perusahaan sawit, izin tambang terbuka, tambang untuk ormas, UU Investasi, UU Minerba, UU Omnibus Law Cipta Kerja, dan lainnya. Semua kebijakan itu, hanya berpihak pada pemilik modal (pengusaha) bukan untuk kesejahteraan rakyat.


Hal tersebut merupakan keniscayaan yang terjadi di dalam sistem demokrasi kapitalis sekuler. Disebabkan karena biaya politik yang mahal untuk memenangkan kontestan pemilu. Maka sering kali penguasa dan pengusaha kongkalikong. Begitu berkuasa mereka balas budi dengan memberikan hadiah berupa izin konsesi tambang, sawit, dan properti dengan dalih untuk pembangunan yang tidak memedulikan lingkungan dan dampaknya. 


Inilah fenomena sistem demokrasi kapitalis sekuler, memandang hutan dan SDA hanya sebagai komoditas yang bisa diperjualbelikan untuk mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya, meski harus menumbalkan rakyatnya. 


Sistem sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan meniscayakan lahirnya pemimpin-pemimpin yang zalim. Ironis memang, hingga saat ini bencana banjir dan longsor yang sudah banyak menelan korban jiwa dan material belum ditetapkan menjadi bencana nasional, itulah bukti penguasa zalim dan tidak empati.


Bencana akibat keserakahan investor yang membuat daerah hulu digunduli. Pejabat yang tidak kompeten dan Sang jenderal yang justru malah menjadi beking illegal logging yang melindungi mereka. Di sisi lain, akibat kerakusan kapitalis menyebabkan kemiskinan yang membuat rakyat kecil terpinggirkan dan menempati bantaran sungai. Artinya, yang menyebabkan terjadinya bencana adalah penguasa dan pengusaha, serta pejabat rakus dan tamak.


Oleh karena itu, selama negeri ini mengadopsi sistem demokrasi kapitalis sekuler, jangan berharap pemerintah dapat mengatasi bencana alam seperti banjir dan longsor. Sebab, pemanfaatan lahan tidak sesuai dengan prinsip syariah yang dapat menimbulkan kerusakan atau mudarat.


Hanya Islam Solusinya


Hanya sistem Islam yang dapat menangani bencana tersebut. Sebab, sistem Islam tegak di atas landasan akidah dan syariat Islam. Oleh sebab itu, pandangan Islam mengenai bencana banjir bandang dan longsor tidak berfokus pada takdir, tetapi juga menekankan peran dan tanggung jawab manusia dalam menjaga keseimbangan alam. Manusia sebagai khalifah, adalah pemimpin di bumi yang diberi amanah untuk memelihara dan tidak merusak lingkungan. Sejatinya banjir sebagai akibat dari kerusakan yang dilakukan oleh tangan manusia, seperti eksploitasi lahan dan pencemaran.


Syariat mewajibkan menjaga lingkungan. Islam menekankan pentingnya menjaga SDA, termasuk air dan melarang pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan prinsip syariah yang dapat menimbulkan kerusakan.


Negara dalam pandangan Islam sebagai raa'in (pengurus), yakni mengurusi seluruh urusan umat. Termasuk bencana alam, maka negara wajib memberikan bantuan dan pemenuhan kebutuhan hidup bagi yang terdampak musibah.


Maka dari itu negara berkewajiban untuk menerapkan kebijakan yang mencegah kerusakan lingkungan dan memastikan infrasruktur pengelolaan air, seperti saluran air dan irigasi berfungsi dengan baik. Menetapkan daerah-daerah tertentu sebagai cagar alam yang harus dilindungi, menetapkan hutan lindung. Bahkan negara membuat waduk-waduk atau bendungan di tempat yang rawan.


Jika ada pelanggaran, negara wajib memberikan sanksi berat bagi yang merusak lingkungan hidup. 


Syariat menetapkan bahwa barang tambang, migas, mineral, batubara, air, dan hutan, adalah termasuk kepemilikan umum. Maka negara wajib mengelola dan hasilnya untuk kemaslahatan umat, antara lain untuk menangani bencana alam. Haram hukumnya kepemilikan umum diserahkan kepada investor asing, aseng, ormas. Anehnya banyak pejabat yang memiliki lahan sawit dan tambang hingga ratusan atau ribuan hektare.


Senantiasa negara mendorong dan mengingatkan rakyatnya untuk melakukan upaya konkret dalam mengantisipasi bencana, seperti membuat sumur resapan, menanam pohon, dan tidak membangun di bantaran sungai.


Negara wajib mengedukasi umat dengan menyosialisasikan melalui pendidikan dan masyarakat tentang pentingnya menjaga kebersihan lingkungan. Mendorong untuk menghidupkan tanah mati atau lahan produktif sehingga bisa menjadi buffer lingkungan yang kokoh.


Walhasil, Islam memandang bahwa musibah, adalah sebagai ujian dan peringatan dari Allah Swt. agar manusia sadar akan kesalahan mereka dan bertobat, serta kembali hanya kepada aturan Allah semata.


Demikian solusi Islam terkait bencana banjir dan longsor. Penyelesaiannya, adalah secara komprehensif yang menggabungkan kesadaran individu, kewajiban kolektif masyarakat, dan penerapan sistem pemerintahan Islam yang adil dan bertanggung jawab terhadap pengelolaan alam. Semua itu hanya bisa direalisasikan dengan menerapkan Islam secara kaffah dalam bingkai Khilafah. 


Wallahualam bissawab.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Oligarki Rudapaksa Ibu Pertiwi, Kok Bisa?

Retak yang Masih Mengikat

Akhir Jeda Sebuah Keteguhan