Generasi Muda Takut Menikah: Luka Ekonomi Kapitalisme
OPINI
Oleh Anita Humayroh
Pegiat Literasi dan Pemerhati Sosial
Muslimahkaffahmedia.eu.org-Saat ini, banyak anak muda di Indonesia menatap masa depan dengan rasa was-was — bukan soal karier semata, tapi tentang kehidupan rumah tangga yang seolah tak terjangkau. Data terbaru menunjukkan bahwa sekitar 69,75% pemuda usia 16–30 tahun tercatat belum menikah (Eksplora.id, 11022025). Banyak dari mereka memilih menunda atau bahkan membatalkan rencana menikah — bukan karena takut komitmen, melainkan karena kondisi ekonomi yang terasa tak ramah. Biaya hidup melambung, hunian sulit dijangkau, pekerjaan tidak menentu, dan ketidakpastian finansial membuat ragu untuk memulai rumah tangga. Bahkan terasa seperti mengambil risiko besar (RadarKudus.com, 26092025).
Fenomena “nikah ditunda dulu” ini bukan sekadar soal keinginan menikmati hidup lebih lama, tetapi refleksi dari realitas ekonomi dan struktur sosial: generasi muda merasa harus benar-benar mapan sebelum berani menikah. Sebagian besar menyebut bahwa stabilitas finansial — punya pekerjaan tetap, rumah sendiri, tabungan masa depan — menjadi prasyarat sebelum mereka mempertimbangkan menikah (Kompas.id, 24012025). Tak heran, narasi “married is scary” mulai menyebar luas, bukan karena mereka menolak nilai pernikahan, tetapi karena melihat pernikahan sebagai beban tambahan dalam hidup yang sudah penuh ketidakpastian.
Fenomena generasi muda yang semakin takut menikah tidak muncul begitu saja. Di media sosial, ungkapan seperti “marriage is scary” sering terdengar lucu. Namun di balik itu, tersimpan kegelisahan nyata: banyak anak muda merasa belum sanggup membangun keluarga karena tekanan ekonomi yang terus meningkat.
Beberapa laporan menyebutkan bahwa kestabilan ekonomi kini lebih penting bagi anak muda daripada segera menikah. Biaya hidup yang makin tinggi, harga hunian yang sulit dijangkau, serta persaingan kerja yang ketat membuat mereka lebih memilih menunda membangun rumah tangga. Mereka takut menikah bukan karena takut berkomitmen, melainkan takut terjebak dalam kemiskinan.
Sistem ekonomi kapitalisme yang saat ini berlaku membuat beban hidup sepenuhnya dipikul individu. Kebutuhan dasar seperti tempat tinggal, pendidikan, kesehatan, dan energi dijadikan komoditas yang hanya bisa diakses oleh yang mampu membayar. Negara pun sering kali berperan sebagai pengawas pasar, bukan penjamin kesejahteraan. Alhasil, banyak anak muda merasa masa depan tidak pasti, sehingga pernikahan dipandang sebagai risiko besar.
Padahal dalam Islam, pernikahan bukan sekadar urusan pribadi, melainkan bagian dari kehidupan yang mendatangkan ketenteraman. Allah berfirman:
> “Dia menciptakan untukmu pasangan dari jenismu sendiri agar kamu merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antara kalian rasa kasih dan sayang.”
Ayat ini menunjukkan bahwa ketenangan hidup tidak hanya bergantung pada materi, tetapi juga pada keberkahan rumah tangga itu sendiri. Namun ketenteraman itu sulit dirasakan bila struktur ekonomi yang menaungi manusia justru menekan, bukan melindungi.
Jejak Sejarah: Ketika Negara Menghilangkan Ketakutan Ekonomi
Sejarah mencatat bahwa peradaban bisa menciptakan suasana aman bagi rakyatnya ketika negara hadir sepenuhnya sebagai penopang kesejahteraan. Pada masa kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz, misalnya, pemasukan negara dikelola untuk kepentingan rakyat sehingga mustahik zakat hampir tidak ditemukan.
Mengapa bisa begitu? Karena negara mengelola sumber daya umum—seperti tambang, air, energi, dan hutan—sebagai milik rakyat, bukan diserahkan kepada korporasi atau asing. Hasilnya digunakan untuk mengurangi biaya hidup masyarakat dan membuka lapangan kerja secara luas.
Inilah bukti sejarah bahwa ketika negara menjalankan fungsinya secara benar, kekhawatiran terhadap masa depan—termasuk ketakutan untuk menikah—akan jauh berkurang. Sebab rakyat tidak dibiarkan bertahan sendiri dalam pertarungan hidup yang keras, seperti yang terlihat dalam sistem kapitalis sekarang.
Solusi Islam: Mengatur Tatanan Kehidupan agar Manusia Tidak Dibayangi Ketakutan
Islam tidak hanya memberikan aturan ibadah, tetapi juga mengatur tatanan hidup secara menyeluruh, mulai dari ekonomi, sosial, keluarga, hingga peran negara. Ketika aturan ini dijalankan secara utuh, banyak ketakutan yang membayangi manusia akan luluh, termasuk ketakutan terhadap hal-hal yang belum terjadi.
1. Negara Menjamin Kebutuhan Dasar Warganya
Dalam sistem ekonomi Islam, negara bertanggung jawab menyediakan kebutuhan pokok seperti pangan, sandang, dan papan; membuka lapangan kerja; serta mengelola sumber daya umum untuk kepentingan rakyat.
Ketika biaya hidup terjangkau dan peluang kerja terbuka, anak muda tidak lagi melihat pernikahan sebagai beban ekonomi. Rasa takut miskin pun melemah karena negara hadir sebagai penopang, bukan penonton.
2. Pengelolaan Kekayaan yang Adil
Allah menegaskan:
> “…agar harta itu tidak beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kalian.”
Ayat ini mengajarkan bahwa distribusi kekayaan harus merata. Sistem Islam memastikan kekayaan tidak hanya dikuasai segelintir orang. Dengan pengelolaan ini, ketimpangan berkurang dan kecemasan ekonomi berangsur hilang.
3. Pendidikan yang Menguatkan Mental, Bukan Menumbuhkan Hedonisme
Pendidikan dalam Islam tidak hanya mengejar prestasi akademik, tetapi membentuk kepribadian beriman, yang mampu menghadapi kehidupan dengan keberanian dan optimisme.
Generasi muda yang kuat secara mental tidak mudah takut pada masa depan, karena mereka yakin bahwa kehidupan memiliki arah dan nilai, bukan sekadar mengejar materi dan gaya hidup.
4. Pernikahan Diposisikan sebagai Ibadah, Bukan Beban
Islam memuliakan pernikahan dan menjadikannya bagian dari ibadah. Ketika seluruh sistem mendukung pernikahan—mulai dari ekonomi, pendidikan, hingga peran negara—maka pernikahan bukan lagi sekadar biaya, tetapi jalan menuju ketenteraman dan keberkahan.
Dengan tatanan hidup yang komprehensif ini, ketakutan akan masa depan menjadi jauh lebih kecil. Manusia tidak berjalan sendiri, karena negara, masyarakat, dan nilai kehidupan bergerak bersama menopang setiap individu.
Penutup: Ketakutan Itu Akan Hilang Bila Sistemnya Benar
Generasi muda sebenarnya bukan takut menikah, tetapi takut miskin, takut terjebak dalam beban ekonomi, dan takut menghadapi masa depan yang tidak pasti. Ketakutan itu tidak lahir dari kelemahan pribadi, tetapi dari sistem ekonomi yang membuat manusia harus bertahan hidup sendirian.
Islam menawarkan jalan keluar yang jelas: negara yang hadir, ekonomi yang adil, masyarakat yang mendukung, dan nilai-nilai yang memberi ketenangan. Ketika tatanan kehidupan diatur sesuai syariat, kebahagiaan tidak lagi menjadi beban, dan pernikahan kembali menjadi ruang kasih sayang sebagaimana yang dijanjikan Allah.

Komentar
Posting Komentar