Ketika Generasi Muda Enggan Menikah, Bangsa Menuju Krisis Peradaban
OPINI
Oleh Rati Suharjo
Penulis Artikel Islami
Muslimahkaffahmedia.eu.org-Allah Swt. berfirman, “Nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu, baik laki-laki maupun perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Allah Maha Luas (pemberiannya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. An-Nur: 32). Ayat ini menegaskan perintah menikah sebagai bagian dari ketaatan kepada Allah, khususnya bagi mereka yang telah mampu secara lahir dan batin.
Rasulullah saw. juga bersabda, “Apabila seorang hamba menikah, maka sungguh ia telah menyempurnakan separuh dari agamanya.” (HR. Al-Baihaqi). Dalam hadis lain beliau menegaskan, “Nikah adalah sunnahku, dan siapa yang tidak menyukai sunnahku, maka ia bukan dari golonganku.” (HR. Ibnu Majah). Banyaknya dalil ini menunjukkan bahwa pernikahan bukan sekadar urusan biologis atau sosial, melainkan ibadah yang agung dan bagian dari kesempurnaan agama.
Namun sayangnya, pemahaman tentang pernikahan kini mengalami pergeseran. Pernikahan tidak lagi dipandang sebagai bentuk ketaatan kepada Allah, melainkan dianggap sebagai beban hidup—mulai dari kewajiban menafkahi, membiayai anak, hingga tanggung jawab rumah tangga. Akibatnya, banyak generasi muda hari ini lebih takut pada kemiskinan daripada takut meninggalkan pernikahan. Ketakutan ini tumbuh dari kondisi ekonomi yang semakin berat dan tidak menentu.
Fenomena tersebut tercermin dari data pernikahan yang terus menurun. Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024 mencatat sekitar 69,75% pemuda Indonesia usia 16–30 tahun masih berstatus lajang, sementara hanya 29,10% yang sudah menikah. (rri.co.id.com, 2-12-2025)
Tren ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti kekhawatiran ekonomi, gaya hidup konsumtif, fokus pada sekolah dan karier, serta kuatnya pengaruh narasi negatif tentang pernikahan di media sosial.
Secara naluriah, takut miskin merupakan bagian dari naluri mempertahankan diri (gharizah baqa). Naluri ini wajar. Namun ketika lapangan kerja makin sempit, pendapatan tidak sebanding dengan kebutuhan, dan harga-harga terus naik, maka ketakutan itu berubah menjadi penghalang besar bagi generasi muda untuk menikah.
Kondisi ini diperparah dengan normalisasi gaya hidup bebas. Pacaran tanpa batas, seks pranikah, hingga hidup bersama tanpa ikatan makin dianggap wajar karena dinilai praktis dan tanpa tanggung jawab. Di sisi lain, hedonisme menuntut biaya hidup mahal. Ekonomi yang rapuh berpadu dengan gaya hidup tinggi menjadikan pernikahan semakin dijauhi.
Selain itu, kecemasan terhadap masa depan rumah tangga juga semakin menguat. Maraknya perceraian, kekerasan dalam rumah tangga, dan kegagalan membina keluarga menimbulkan trauma kolektif. Semua ini semakin memperkokoh keputusan generasi muda untuk menunda, bahkan menolak menikah.
Padahal, enggannya generasi muda menikah bukan sekadar persoalan individu. Ini adalah sinyal serius bagi masa depan bangsa. Ketika pernikahan ditinggalkan, keberlangsungan generasi, stabilitas sosial, dan ketahanan masyarakat ikut terancam. Melemahnya institusi keluarga berarti melemahnya fondasi peradaban.
Perubahan nilai dalam masyarakat juga turut memperparah keadaan. Pernikahan tidak lagi menjadi prioritas utama, kalah oleh ambisi karier, kebebasan pribadi, dan gaya hidup modern. Pergeseran orientasi hidup ini perlahan mengikis kekuatan sosial dan membuka jalan menuju krisis peradaban.
Semua kondisi ini tidak terlepas dari sistem kapitalisme yang menyerahkan kesejahteraan pada mekanisme pasar. Negara melemah dalam perannya sebagai penjamin kebutuhan rakyat. Pendidikan pun lebih diarahkan mencetak tenaga kerja, bukan membentuk kepribadian yang bertakwa dan siap membangun keluarga.
Negara juga belum sungguh-sungguh menjadikan keluarga sebagai fondasi bangsa. Kebijakan yang ada masih bersifat parsial, terbatas pada bantuan dan penyuluhan, tanpa menyentuh akar persoalan nilai dan struktur ekonomi. Akibatnya, keluarga kian dipandang sebagai urusan privat, bukan sebagai aset strategis peradaban.
Dalam Islam, sistem Khilafah menempatkan keluarga sebagai pilar utama peradaban. Karena itu, solusi yang ditawarkan bersifat menyeluruh dan berlandaskan syariat. Pendidikan berbasis akidah menjadi fondasi utama dalam membentuk generasi yang memahami tujuan hidup, tanggung jawab sosial, serta pentingnya pernikahan dan keluarga. Akhlak, kesiapan berumah tangga, dan visi membangun peradaban menjadi bagian inti kurikulum.
Negara dalam sistem Islam juga berkewajiban menjamin kesejahteraan rakyat dengan menyediakan lapangan kerja yang layak, memenuhi kebutuhan pokok, menjaga stabilitas harga, serta memastikan hunian terjangkau. Dengan beban ekonomi yang ringan, pernikahan tidak lagi dipandang sebagai ancaman, tetapi sebagai jalan hidup yang penuh keberkahan.
Syariah hadir sebagai benteng moral dalam menjaga pergaulan. Larangan zina, khalwat, ikhtilat bebas, dan budaya permisif ditegakkan secara sistemik sehingga interaksi laki-laki dan perempuan kembali berada dalam koridor yang benar. Dengan penguatan norma sosial yang sesuai syariat, pernikahan kembali dipahami sebagai satu-satunya jalan yang terhormat dalam membangun kehidupan berpasangan.
Negara juga memberikan dukungan institusional yang kuat bagi terbentuknya keluarga, mulai dari kemudahan proses pernikahan, pembinaan pranikah berbasis nilai Islam, hingga perlindungan hukum keluarga yang adil agar rumah tangga terbangun secara aman dan kokoh.
Selain itu, penerapan sistem ekonomi Islam menjamin keadilan distribusi kekayaan. Sumber daya alam tidak dikuasai segelintir elite, melainkan dikelola untuk kesejahteraan seluruh rakyat. Dengan distribusi yang adil, biaya hidup tidak lagi menekan, dan generasi muda memiliki keberanian serta kepercayaan diri untuk membangun keluarga.
Dengan demikian, krisis enggannya generasi muda menikah bukan sekadar persoalan sosial, tetapi cerminan rapuhnya nilai, ekonomi, dan moral masyarakat. Tanpa perubahan yang menyeluruh dan sistemik, bangsa berisiko menghadapi krisis demografi, ketidakstabilan sosial, dan runtuhnya fondasi peradaban.
Wallahu a‘lam bisshawab.

Komentar
Posting Komentar