Sibolga: Kota yang Diterjang Ombak Kapitalisme
OPINI
Oleh Rati Suharjo
Penulis Artikel Islami
Muslimahkaffahmedia.eu.org, OPINI _“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Rum: 41)
Ayat ini menjadi peringatan bagi seluruh manusia, baik muslim maupun non-muslim, bahwa berbagai kerusakan yang terjadi di dunia ini—di luar qadha Allah Swt.—juga dipicu oleh perbuatan tangan manusia. Kerusakan moral, ekonomi, sistem kemanusiaan, hingga kerusakan lingkungan adalah buah dari ketidaktaatan terhadap aturan Allah Swt. Sibolga adalah salah satu contoh nyata kerusakan alam yang berujung banjir akibat abainya manusia dari tuntunan-Nya.
Sibolga terletak di antara bentang laut dan hutan. Kota ini berada di pesisir barat Sumatera Utara, menghadap langsung ke Samudra Hindia melalui Teluk Sibolga. Kontur alamnya didominasi perbukitan hijau dan pegunungan. Sebagai kota pelabuhan di Teluk Tapian Nauli, pesisir Sibolga menawarkan pemandangan laut lepas dan deretan pulau kecil seperti Pulau Putri dan Poncan Gadang yang dikenal sebagai objek wisata. Selain itu, kawasan berbukit yang rimbun dan aliran sungai seperti Sungai Aek Doras turut membentuk karakter geografis kota ini.
Namun, keindahan itu berubah menjadi duka besar ketika banjir bandang menerjang Kota Sibolga pada Minggu, (30/11/2025). Permukiman di Jalan Murai hancur setelah gelombang air besar menghantam rumah-rumah warga. Dari udara, kerusakan terlihat begitu luas: bangunan runtuh, lumpur menumpuk, dan puing-puing berserakan tak beraturan.
Laporan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebutkan bahwa jumlah korban bencana banjir dan longsor di Sumatera terus bertambah, mencapai 604 jiwa. Rinciannya: 283 orang di Sumatera Utara, 165 di Sumatera Barat, dan 156 di Aceh. Di Aceh sendiri, 181 orang masih hilang dan 1.800 lainnya mengalami luka-luka.
Selain korban manusia, banjir bandang di beberapa wilayah Sumatera Utara juga menyeret gelondongan kayu dalam jumlah besar. Rekaman arus deras yang membawa kayu-kayu itu menjadi viral dan memicu kekhawatiran publik. Kayu tersebut tampak mengalir hingga Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah, hingga Sibolga.
Kementerian Kehutanan kemudian mengungkap adanya maraknya praktik illegal logging yang dijalankan dengan modus pencucian kayu. Celah skema Pemegang Hak Atas Tanah (PHAT) dimanfaatkan sebagai kedok legalitas. Beberapa modus yang ditemukan antara lain pemalsuan dokumen, penitipan kayu dari luar lahan, manipulasi laporan hasil produksi, hingga perluasan batas izin. Praktik ini menunjukkan bahwa pembalakan liar sudah terorganisasi dan memanfaatkan celah aturan untuk menghapus jejak kejahatan.
Banjir bandang di Sibolga bukan semata-mata fenomena alam, melainkan cermin dari kerusakan tata kelola yang lahir dari cara pandang manusia terhadap alam dan kekuasaan. Al-Qur'an telah mengingatkan bahwa kerusakan di darat dan laut muncul dari ulah manusia yang membuat keputusan tanpa menjadikan wahyu sebagai pedoman. Ketika kebijakan tak berpijak pada syariat, maka yang lahir bukan kemaslahatan, melainkan mudarat.
Saat ini, sistem yang diterapkan adalah demokrasi dengan fondasi ekonomi kapitalisme. Dalam sistem ini, sumber daya alam dipandang sebagai komoditas, bukan amanah. Hutan dibuka, kayu ditebang, dan lahan menjadi objek bisnis. Ukuran utama adalah keuntungan, bukan keberlanjutan atau keseimbangan ekosistem. Selama legal secara birokrasi, eksploitasi dianggap sah.
Negara pun sering hanya bertindak sebagai regulator, bukan pelindung. Dalam banyak kasus, negara hanya mengatur dan memungut izin, bukan menjaga hutan sepenuhnya. Ruang kompromi antara pemodal dan penguasa terbuka lebar sehingga korupsi sumber daya alam subur berkembang.
Demokrasi—dengan asas kebebasan kepemilikan modal—membuka pintu agar kekuasaan dibeli oleh pemilik harta. Prinsip yang berlaku adalah “siapa yang memiliki modal, dialah yang mengontrol kebijakan". Wajar jika kebijakan kehutanan tunduk pada kepentingan bisnis, sementara pengawasan melemah dan pembalakan terus terjadi. Saat bencana datang, rakyat kecil menjadi korban dan alam menanggung beban kerakusan manusia.
Berbeda dengan sistem Islam yang menerapkan tata kelola alam berbasis amanah dan tauhid—berlawanan dengan paradigma kapitalisme maupun komunisme. Dalam konsepsi politik Islam, kekuasaan adalah amanah yang dipertanggungjawabkan di hadapan Allah, bukan alat transaksi kepentingan. Pemimpin dipilih bukan berdasarkan kekuatan modal, tetapi kapasitas dalam menegakkan syariat serta menjaga kemaslahatan umat.
Islam memandang sumber daya alam sebagai milik umum (milk al-‘ammah), sehingga tidak boleh diserahkan kepada korporasi untuk dikomersialkan tanpa batas. Hutan, air, laut, dan energi wajib dikelola negara demi kesejahteraan seluruh rakyat.
Penebangan liar diberi sanksi tegas, bukan sekadar denda administratif. Islam melarang segala bentuk fasad fil-ardh (kerusakan di muka bumi), dan negara berkewajiban menghentikan tindakan destruktif sekecil apa pun.
Ekonomi Islam tidak bertumpu pada akumulasi modal, melainkan distribusi yang adil. Fokus utamanya adalah kesejahteraan masyarakat, keberlanjutan ekologi, serta penjagaan alam bagi generasi mendatang. Rasulullah saw. bersabda: “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam sistem pemerintahan Islam (khilafah dalam pengertian akademis-historis), kekayaan alam seperti hutan di Sibolga dikelola berdasarkan amanah, bukan eksploitasi. Tujuannya bukan menumpuk laba, melainkan menjaga keberlanjutan, kemakmuran rakyat, dan keseimbangan alam.
Sibolga adalah bukti nyata rusaknya bumi ketika dikelola oleh sistem yang mengutamakan keuntungan. Kapitalisme telah membentuk pola pikir pembangunan yang berorientasi profit, bukan keberlanjutan.
Karena itu, hanya Islam yang mampu menghadirkan tata kelola alam berlandaskan tauhid yang menjadikan bumi sebagai amanah, bukan barang dagangan. Islam tidak hanya mengatur manusia, tetapi juga cara manusia memperlakukan bumi.
Semoga bencana ini menjadi peringatan, sebagaimana firman Allah dalam QS. Ar-Rum: 41, agar manusia kembali kepada aturan-Nya, bukan aturan yang lahir dari hawa nafsu dan dominasi modal.
Wallahualam bissawab

Komentar
Posting Komentar