Takut Nikah, Dampak Kapitalisme Menentang Fitrah
OPINI
Oleh Ummu Qianny
Aktivis Muslimah
Mislimahkaffahmedia.eu.org-Generasi muda saat ini menjalani kehidupan notabene penuh ketakutan, bukan ketakutan akan dosa dan masuk neraka, melainkan ketakutan akan kemiskinan, sakit dan harga rumah yang semakin melangit.
Banyak di antara mereka memilih untuk menunda pernikahan. Bukan karena belum siap secara kematangan berfikir akibat minimnya ilmu pasutri dan parenting, melainkan menganggap bahwa menikah sama dengan mempersiapkan kemewahan yang hanya bisa dijangkau oleh kaum berduit bukan kaum mendang-mending. Mari kita lihat realitasnya.
Fakta : Kenapa Banyak Pemuda Malas Nikah
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, rata-rata usia pernikahan pertama di Indonesia terus meningkat. Pada tahun 2016, perempuan masih banyak yang menikah di usia 19 tahun sedangkan 2024 sudah bergeser ke 21 tahun. (cnbcindonesia.com,25/07/2025)
Banyak generasi muda, terutama yang tinggal di perkotaan, memandang bahwa sebelum menikah, mereka harus "mapan dulu" : punya rumah dan pekerjaan tetap dengan nominal gaji yang besar. Hal ini dipicu oleh lonjakan harga-harga kebutuhan pokok, hunian, biaya pendidikan, dan ketidakpastian pekerjaan.
Survey oleh Populix terhadap generasi muda (Gen Z dan Milenial) menunjukkan bahwa mayoritas dari mereka (62% dari 1.038 responden) menganggap usia ideal untuk menikah adalah antara 25-30 tahun. Menariknya tidak ada seorang pun yang menjawab usia di bawah 20 tahun, hal ini tentu jauh melampaui "usia biologis dan fitrah" dari pernikahan. (cna.id, 24/02/2025)
Hasilnya, menikah bukan lagi dipandang sebagai sunah atau jalan hidup mulia karena menggenapkan separuh agama. Melainkan ambang beban ekonomi yang banyak dihindari.
Analisis : Mengapa Kapitalisme Membunuh Keberanian untuk Berkeluarga?
1. Kapitalisme menciptakan ketakutan struktural terhadap kemiskinan.
Sistem ekonomi yang sangat buruk saat ini, mudah kita rasakan dan kita lihat sendiri, tingginya harga kebutuhan pokok, harga hunian selangit, pendidikan bagus mesti banyak fulus.
Ujung-ujungnya, generasi muda merasa bahwa menikah sama dengan "menjebloskan" diri ke dalam beban finansial. Tidak heran mereka menolak istilah "banyak anak banyak rezeki". Menurut mereka dan juga masyarakat saat ini, banyak anak sama dengan seret rezeki. Saking tumpulnya pemikiran akibat sistem ekonomi kapitalis, kemiskinan menjadi ketakutan terbesar saat ini karena apa-apa butuh uang katanya. Maka ketakutan akan kemiskinan inilah yang menenggelamkan keberanian untuk membina rumah tangga.
2. Pasar dan swasta mengendalikan hajat hidup, bukan negara.
Dalam sistem kapitalis, perumahan, pekerjaan, pendidikan, kesehatan, bahkan air sekalipun semua dikomersilkan. Semua itu pula yang membuat angka kemiskinan semakin bertambah. Di sinilah absennya negara menjalankan peran sebagai pelayan rakyat.
3. Paham materialisme dan hedonisme mendominasi.
Generasi muda dibimbing bahkan tanpa disadari mulai dari mereka masih kanak-kanak untuk mengejar "sukses materi", kendaraan, rumah mewah, gaya hidup, sebagai tolok ukur kebahagiaan.
Belum dikatakan bahwa seseorang itu sukses kalau belum kaya, ibaratnya begitu.
Pernikahan, yang seharusnya menjadi ibadah dan ladang pahala, disamakan dengan proyek finansial. Budaya konsumtif dan egoistik inilah yang merusak fitrah manusia : membangun keluarga, mendidik anak dan beribadah bersama.
4. Pernikahan dianggap beban bukan rahmat dan ibadah.
Ketika Rasulullah saw. menyeru para pemuda untuk menikah dalam sebuah hadis:
"Wahai para pemuda, barang siapa di antara kalian mampu menikah, maka menikahlah.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Pernikahan adalah sunah, apa yang dilakukan di dalamnya penuh ibadah dan juga jalan keberkahan bagi pelakunya. Tapi, kapitalisme merusak semua makna itu. Opini kapitalisme : nikah muda dianggap penuh masalah, dan rentan bercerai.
Solusi Islam Kafah : Cara Menyembuhkan Luka dari Sistem Kapitalis
Sikap "tunda nikah karena ekonomi" tidak berdiri sendiri, ini sudah masuk ranah sistemik. Maka tentu hanya bisa dilawan dengan sistem alternatif yaitu sistem islam yang kafah, menjamin keadilan, kesejahteraan bagi rakyat serta menjamin pemenuhan kebutuhan dasar sebagai hak warga.
1. Negara wajib menjamin kebutuhan dasar pendidikan, kesehatan, tempat tinggal, lapangan pekerjaan, sandang dan pangan.
Apabila negara hadir sebagai pelayan rakyat, maka beban hidup tidak lagi diserahkan pada individu. Ini tentu akan membangun keberanian para pemuda untuk menikah.
2. Sumber daya milik umum dikelola untuk kepentingan rakyat.
SDA seperti tanah, air, energi, tambang dikelola secara kolektif oleh negara bukan dikomersialkan kepada pihak swasta atau asing dan hanya dinikmati oleh segelintir orang. Hasil pengelolaan ini akan dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk subsidi, fasilitas publik, dan layanan dasar. Sehingga biaya hidup bisa ditekan, tidak meroket seperti saat ini dan menikah akan menjadi realistis bukan angan semata.
3. Pendidikan berbasis aqidah : lawan materialisme.
Pendidikan bukan sekedar keterampilan teknis, tetapi penanaman nilai dari ketakwaan, keikhlasan dan tanggung jawab bersama. Generasi ini tentu tidak akan terbuai oleh gaya hidup hedon terlebih konsumtif. Justru yang ada sibuk membuat karya, prestasi demi prestasi. Secara jasmani sehat serta psikis atau mental juga terjaga. Berpikir atas masalah pun secara mendalam tidak lagi permukaan karena akan senantiasa dikaitkan dengan bagaimana Islam mengaturnya.
4. Mengembalikan pernikahan sebagai ibadah dan pondasi umat.
Pernikahan bukan proyek ekonomi, tetapi sunah dan perintah syariat, jalan keberkahan melalui pelestarian keturunan dan peneguhan institusi sebuah keluarga. Generasi yang hadir dalam keluarga ini tentu ke depannya akan berpandangan satu dan sama, yaitu kelak menikah adalah amanah dan implementasi ibadah, bukan beban finansial.
Penutup : Saatnya Bangkit, dari Ragu menjadi Berani
Generasi muda hari ini terbentuk dari sistem yang menghasilkan berbagai luka dalam kehidupan, hal ini bisa disembuhkan tentu bukan hanya dengan sekedar "motivasi nikah", bukan sebatas nasihat moral, melainkan dengan perubahan nyata yaitu kembali pada sistem Islam Kafah yang sebelumnya pernah ada di dunia ini dan berjalan kurang lebih 1300 tahun lamanya. Jika Islam kembali kafah, mengatur segala aspek kehidupan tentu agama Islam tidak seperti saat ini hanya sebatas diisi di kolom agama dalam data kependudukan semata, maka kita tidak akan bertemu kembali dengan generasi yang takut menikah justru takut meninggalkan sunah.
Wallahualam bissawab

Komentar
Posting Komentar