Tragedi Irene Sokoy: Ketika Administrasi Lebih Berharga Dari Nyawa
OPINI
Oleh Ummu Qianny
Aktivis Muslimah
Muslimahkaffahmedia.eu.org, OPINI _Kabar meninggalnya Irene Sokoy beserta bayi dalam kandungannya setelah ditolak atau tidak mendapatkan penanganan memadai dari empat rumah sakit di Jayapura pada 16 November 2025, mengguncang nurani publik. (bbc.com 22/11/2025)
Peristiwa ini bukan hanya tragedi kemanusiaan, tetapi juga bukti nyata di depan mata bahwa sistem pelayanan kesehatan sedang sakit parah. Lebih menyedihkan lagi, kasus seperti ini bukan yang pertama, bukan pula yang terisolasi. Dari tahun ke tahun terus menghadapi berita ibu hamil kehilangan nyawa hanya karena terlambat ditangani, terhambat administrasi, atau ditolak dengan alasan kapasitas tempat, serta prosedur rumit yang dihadapi pasien.
Lalu, apakah nyawa manusia semurah itu di negeri yang katanya tengah membangun dan menempatkan kesehatan sebagai prioritas?
Pasca kejadian, pemerintah akan melakukan investigasi dan akan memberikan sanksi kepada pihak rumah sakit (mediaindonesia.com 23/11/2025). Hal ini tentu bukan langkah pertama, karena dari setiap kejadian memang akan melakukan investigasi lalu selanjutnya menguap dan terjadi lagi kasus serupa di beda rumah sakit dan dibeda provinsi. Miris!
Penolakan Rumah Sakit: Bukti Bobroknya Sistem Pelayanan Kesehatan
Ketika empat rumah sakit tidak mampu memberikan penanganan yang memadai, masalahnya bukan hanya pada individu tenaga medis atau satu institusi. Ini menunjukkan kerusakan sistemik:
1. Ketersediaan fasilitas yang timpang
Banyak peralatan tidak berfungsi, kapasitas ruangan terbatas, dan sistem rujukan yang berbelit.
2. Ketergantungan pada administrasi sebagai penghalang pertolongan
Berulang kali laporan menunjukkan pasien gawat darurat ditolak karena persoalan dokumen (KTP atau identitas kependudukan), status BPJS yang tidak aktif, atau aturan birokrasi lainnya.
3. Komersialisasi layanan kesehatan
Banyak rumah sakit swasta, bahkan sebagian fasilitas publik, terjebak pada logika bisnis: menilai pasien bukan dari urgensi medis, tetapi dari kemampuan membayar atau kelengkapan administratif.
Akhirnya, pelayanan kesehatan berubah dari hak dasar warga menjadi komoditas. Ketika sebuah hak berubah menjadi barang dagangan, korban jiwa menjadi konsekuensi yang tak terhindarkan.
Akar Masalah: Sistem Kapitalistik yang Menjadikan Kesehatan Sebagai Industri
Selama negara membiarkan sistem kesehatan bergerak mengikuti logika pasar, maka akan selalu ada warga yang dikorbankan. Dalam sistem kapitalistik-sekuler, rumah sakit beroperasi layaknya perusahaan. Pasien diposisikan sebagai konsumen. Layanan kesehatan menjadi ladang bisnis, bukan pelayanan publik. Akibatnya, pertimbangan moral, apalagi spiritual dalam melayani pasien seringkali tergeser oleh pertimbangan finansial dan operasional. Padahal, kesehatan adalah hajat hidup yang menyangkut keselamatan nyawa manusia. Tidak boleh diserahkan pada mekanisme pasar atau disandarkan pada urusan keuntungan semata.
Negara Bertanggung Jawab: Mengabaikan Pelayanan Kesehatan adalah Sebuah Kezaliman
Dalam perspektif Islam, negara memiliki kewajiban mutlak untuk menjamin pemenuhan kebutuhan dasar rakyat, termasuk kesehatan.
Rasulullah saw. bersabda:
"Imam (pemimpin) adalah pengurus rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya.”
Kata ra’in (pengurus) menegaskan bahwa pemimpin negara bukan hanya regulator, tetapi pelayan yang memastikan kebutuhan rakyat terpenuhi. Ketika ada rakyat yang kehilangan nyawa karena kelalaian negara dalam menyediakan sistem kesehatan yang layak, itu bukan sekadar kegagalan administrati itu adalah kezaliman struktural.
Islam juga mengajarkan bahwa menjaga nyawa (hifzh an-nafs) merupakan bentuk satu tujuan utama syariat (maqashid syariah). Karena itu, setiap sistem yang membiarkan nyawa manusia terancam karena ketidakmampuan ekonomi atau hambatan administrasi jelas bertentangan dengan prinsip dasar ini.
Kesehatan Adalah Hak Gratis, Mudah, dan Berkualitas untuk Semua Rakyat
Dalam konsep tata kelola pemerintahan Islam yang ideal (sebagaimana tercatat dalam sejarah peradaban Islam), kesehatan bukan barang berbayar atau komoditas komersial. Negara wajib:
1. Menyediakan layanan kesehatan gratis bagi seluruh rakyat, tanpa memandang status sosial atau kemampuan ekonomi.
2. Membangun fasilitas kesehatan memadai di seluruh wilayah, bukan hanya di pusat kota.
3. Menggaji tenaga medis dengan layak, agar mereka dapat bekerja secara profesional tanpa tekanan keuntungan rumah sakit.
4. Menjamin ketersediaan obat dan peralatan medis tanpa ketergantungan pada mekanisme pasar yang menimbulkan kelangkaan atau kenaikan harga.
5. Menjadikan penanganan gawat darurat sebagai prioritas mutlak, tanpa boleh ada hambatan administratif sekecil apa pun.
Sejarah mencatat bahwa rumah sakit di era peradaban Islam dulu, seperti Bimaristan di Baghdad, Kairo, dan Andalusia, memberikan layanan gratis, profesional, dan setara bagi seluruh rakyat bahkan termasuk kepada non-muslim. Pihak rumah sakit pun akan mengantarkan pasien pulang setelah sembuh beserta uang saku agar mereka bisa memulai kembali aktivitasnya.
Hal ini menunjukkan bahwa negara mampu memberikan pelayanan kesehatan berkualitas tanpa memungut biaya dari rakyat, selama negara menjalankan amanahnya dengan benar dan mengelola sumber daya secara adil.
Mengapa Kita Perlu Belajar dari Sistem Khilafah dalam Pelayanan Kesehatan
Ketika banyak negara modern masih menempatkan kesehatan sebagai industri, sejarah panjang pemerintahan Islam memperlihatkan bahwa kesehatan adalah pelayanan publik sepenuhnya, bukan bisnis.
Ada beberapa pelajaran penting dari sistem ini:
1. Negara sebagai penanggung jawab penuh (full provider)
Negara tidak mendelegasikan pelayanan kesehatan kepada pasar atau swasta.
2. Anggaran kesehatan berasal dari baitul mal
Pendapatan negara dari sumber daya alam, jizyah, kharaj, zakat, dan kepemilikan umum digunakan untuk menjamin kebutuhan publik secara langsung.
3. Pelayanan setara dan universal
Tidak ada pembedaan antara kaya dan miskin; yang diprioritaskan adalah yang paling membutuhkan.
4. Fokus pada pencegahan dan edukasi kesehatan
Negara juga memastikan sanitasi, air bersih, dan edukasi kesehatan berjalan baik sebagai bagian dari perlindungan nyawa.
Penutup: Saatnya Negara Hadir Secara Nyata
Tragedi Irene Sokoy adalah alarm keras bahwa negara harus hadir lebih dari sekadar meminta maaf setelah tragedi terjadi. Negara harus membangun sistem yang menjamin tidak ada satu pun warga meninggal karena ditolak rumah sakit atau terhambat administrasi.
Kita membutuhkan negara yang benar-benar mengurus rakyat, bukan hanya mengatur rakyat. Kita membutuhkan sistem yang menjamin kesehatan sebagai hak, bukan bisnis. Sejarah telah menunjukkan bahwa model tata kelola kesehatan dalam sistem pemerintahan Islam, yang sering disebut sebagai Khilafah dalam sejarah manusia mampu menghadirkan pelayanan kesehatan gratis, merata, dan manusiawi selama berabad-abad. Bukan sekadar romantisme sejarah, tetapi sebuah bukti bahwa negara yang mengemban amanah dengan benar sanggup mewujudkan keadilan, termasuk dalam layanan kesehatan.

Komentar
Posting Komentar