Kekeringan Melanda Negeri, Buah Cengkeraman Kapitalisme

🖤Admin MKM


Kekeringan ini dapat mendatangkan wabah penyakit dan dapat memicu tindakan kejahatan, seperti perkelahian hingga menghilangkan nyawa akibat berebut air. Hal ini sungguh ironi. Pasalnya negeri ini terkenal memiliki hutan paling luas di dunia, nyatanya rakyat kesulitan  dalam memenuhi kebutuhan dasar ini, yakni air.

OPINI

Oleh Rati Suharjo

Pegiat Literasi AMK


"Air adalah urat nadi tubuh kita, ekonomi kita, bangsa kita, dan kesejahteraan kita." -Stephen Johnson-

Memang benar, air adalah kebutuhan dasar manusia. Nyatanya saat ini air bagaikan emas yang sulit untuk dinikmati. Baru-baru ini masyarakat Indonesia dikagetkan kabar dari BMKG (Badan Meteorologi  Klimatologi Geofisika), bahwasannya negeri ini akan mengalami kemarau panjang akibat fenomena El Nino. Kemarau yang menyebabkan kekeringan ini diperkirakan akan datang bulan Juli hingga akhir 2023.

Prakirawan BMKG Wilayah I Medan Aryo Prasetyo pun mengimbau mulai saat ini masyarakat melakukan  penghematan dalam penggunaan air dan memaksimalkan cadangan air. Bapak Presiden Joko Widodo juga mengimbau agar mengimpor beras untuk ketersediaan cadangan pangan negeri ini. (katadata.com, 11/6/2023)

Perkiraan kekeringan ini membuat wilayah Sulawesi tidak tinggal diam. Karena, BMKG memprediksi  bahwa kemarau tahun ini lebih panas dan lebih lama dari tahun-tahun sebelumnya, maka wilayah Sulawesi menyiapkan Dinas TPH-Bun Sulsel telah menyiapkan sejumlah program antisipatif yang telah berjalan saat ini. Program itu di antaranya adalah pemetaan zona rawan kekeringan, manajemen air, pengaturan pola tanam, persiapan benih unggul hingga bantuan substitusi kepada petani jika terjadi gagal panen.

Selain di wilayah Sulawesi, kekeringan juga sering dirasakan di kepulauan Jawa, yaitu Jawa tengah dan Jawa Timur. Di Jawa Tengah di antaranya daerah Gunungkidul, Bantul, Kulonprogo, Prambanan. Kekeringan ini bukan hanya terjadi sekali atau dua kali, tapi seolah menjadi musiman, tahunan. Mirisnya jika melihat kasus-kasus sebelumnya terkait dampak kekeringan ini. Banyak warga yang  berjalan puluhan kilo meter hanya untuk mendapatkan air bersih satu atau dua ember saja.

Bukan hanya masalah tenaga, tapi kekeringan ini dapat mendatangkan wabah penyakit dan dapat memicu tindakan kejahatan, seperti perkelahian hingga menghilangkan nyawa akibat berebut air. Hal ini sungguh ironi. Pasalnya negeri ini terkenal memiliki hutan paling luas di dunia, nyatanya rakyat kesulitan  dalam memenuhi kebutuhan dasar ini, yakni air.

Padahal sebelumnya, masyarakat sangat mudah menemukan mata air untuk dibuat sumur atau untuk mengairi sawahnya.  Sementara saat ini demikian susah untuk mendapatkannya. Hutan yang luas itu, kini banyak yang terbakar untuk diubah menjadi perkebunan  sawit, gedung-gedung, perusahaan-perusahaan.

Sementara rakyat untuk mendapatkan air bersih harus mendaftar menjadi pelanggan PDAM. Atas nama kerja sama pemerintah dan swasta, membuat swasta lebih leluasa menguasai sumberdaya alam di negeri ini. Baik swasta asing maupun swasta domestik. Dengan diberikan kewenangan kepada swasta, maka jelas swasta tidak mau rugi. Yaitu, mencari untung sebanyak-banyaknya dengan mengeluarkan modal sedikit-dikitnya. 

Tentunya penyerahan kepada swasta ini bertolak belakang dengan Undang-Undang (UU) 1945 Pasal 33 Ayat 3 yang berbunyi,

"Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat."

Hari ini ayat tersebut nihil. Dengan menerapkan sistem ekonomi kapitalis mayoritas sumber daya alam negeri ini diswastanisasi. Sehingga tidak heran jika saat ini sumber mata air dimonopoli oleh perusahaan-perusahan yang memproduksi air minum dalam bentuk kemasan. Karena, mereka mendapatkan hak dari negara yang kemudian dijual kepada rakyat.

Inilah yang menyebabkan rakyat Indonesia hidup di tengah sumber mata air, tapi nyatanya hidup dalam penderitaan. Jangankan untuk mengairi sawahnya, untuk mencukupi kebutuhannya pun mereka tidak cukup. Hal ini terjadi karena negara yang seharusnya memfasilitasi demi kesejahteraan rakyatnya, tapi justru hanya bertindak sebagai regulator yang berpihak kepada pemilik modal.

Tentunya kebijakan ini harus diubah. Negara tidak boleh memperlakukan air sebagai komoditas yang bisa dikomersialisasi. Karena air milik publik, harus dikelola oleh negara, diatur oleh negara, supaya dapat dinikmati oleh rakyatnya. Negara juga harus memfasilitasi rakyat yang tempat tinggalnya sulit dalam mengaksesnya, semisal mereka yang tinggal di pelosok dan perbukitan.

Pengaturan semacam ini hanya akan terjadi dalam sistem Islam. Sebab dalam Islam negara itu melayani seluruh rakyat, bukan hanya melayani segelintir orang. Sebagaimana dijelaskan dalam hadis Rasulullah saw.,

"Imam atau penguasa laksana penggembala bagi rakyatnya, dan dia akan diminta pertanggungjawaban di akhirat kelak." (HR. Imam Bukhari dan Imam Ahmad)

Wallahualam bissawab.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Oligarki Rudapaksa Ibu Pertiwi, Kok Bisa?

Rela Anak Dilecehkan, Bukti Matinya Naluri Keibuan

Kapitalis Sekuler Reduksi Kesabaran, Nyawa jadi Taruhan