Blendrang Terong

๐Ÿ’— Admin MKM

Entahlah, rasanya ada yang lain di hati. Ah jadi teringat ibu. Walau bukan orang yang berlimpah harta, beliau selalu menekankan padaku untuk berbagi kepada tetangga. Dan jangan pernah memberikan sesuatu yang kamu tidak ingin memakannya, begitulah pesan ibuku.

_____________________________

Oleh Ika Fauziah 

Ibu Rumah Tangga


MKM, Cerpen_"Rah.. Sarah..!" 

Ceklek suara pintu terbuka. 

"Iya.. Bu..!" jawabku sedikit berteriak. Berharap tetanggaku itu, tidak melanjutkan langkah setelah membuka pintu rumahku. Tapi percuma, dia malah mendekati asal suaraku di dalam kamar. Tanpa ba-bi-bu dibukanya tirai kamarku. Duh! keselnya setengah mati. Posisiku yang sedang memakai gamis dan belum berkerudung membuatku tidak nyaman.

"Rah, udah masak belum? Ini ada blendrang ini." Bu Retno menunjukkan kantong keresek yang dibawa.

"Kemarin aku masak kebanyakan, daripada mubazir gak ada yang makan," terangnya lagi.

"Oh iya Bu, terima kasih." Setelah beres memakai gamis dan kerudung, kuterima bungkusan plastik tersebut. Tak lupa  kusuguhkan senyum semanis mungkin. 

"Syukurlah kalau belum masak. Nanti jangan lupa panasin lagi ya, Rah. Biar gak basi, sayang kalau sampai basi!"

"Iya Bu," jawabku sembari melangkah keluar kamar mengekor Bu Retno ke arah pintu. Mengantar sampai ke pintu.

Setelah Bu Retno pergi, kubuka bungkusan blendrang dari Bu Retno tadi. 

'Apa ini?' Aku bergumam sendiri. 'Ya Allah, kok seperti bubur?' Setelah Aku pindahkan ke mangkuk barulah terlihat biji-biji kecil. 'Oh blendrang terong.'

Melihat blendrang bubur terong ini otakku bertanya-tanya. Kalau masaknya kebanyakan kenapa gak diberikan kemarin pas selesai masak? Kenapa nunggu jadi bubur dulu? Karena perkiraanku sayur ini pasti sudah dihangatkan berkali-kali. Kalau cuma satu atau dua kali gak mungkin berbentuk bubur seperti ini. Ah sudahlah yang penting belum basi juga.

Tapi ....

Entahlah, rasanya ada yang lain di hati. Ah jadi teringat ibu. Walau bukan orang yang berlimpah harta, beliau selalu menekankan padaku untuk berbagi kepada tetangga. Dan jangan pernah memberikan sesuatu yang kamu tidak ingin memakannya, begitulah pesan ibuku.

"Ah, mungkin Bu Retno memang kebanyakan masaknya." Aku berpositif thinking.

***


"Nan, Hanan, sini tak kasih!" Terdengar suara Bu Retno memanggil anakku dari rumahnya.

"Le, Mbah Retno manggil kamu itu loh!" tegurku pada Hanan, yang masih asyik main mobil-mobilan.

"Hanan ke Mbah Retno dulu ya Bun." Hanan langsung bergegas berlari kecil ke rumah Bu Retno.

Tak lama Hanan kembali dengan menenteng dua kantong keresek  ukuran kecil.

"Nih Bun, blendrang buat Ibun. Rotinya buat Hanan." Hanan menyerahkan satu keresek padaku.

"Kata Mbah Retno, blendrangnya nanti disuruh angetin Bun." 

"Iya, makasih ya anak salih. Tadi habis dikasih sama Mbah Retno, Hanan bilang apa?"

"Bilang terima kasih lah, Bun. Hanan kan anak saleh."

Aku tersenyum mendengar jawaban anakku, yang sedang sibuk memilih roti dalam kantong kereseknya. 

"Nih buat Ibun." Hanan menyerahkan sepotong roti bolu panggang yang sedikit gosong padaku. Dan kemudian memasukkan sepotong juga ke dalam mulutnya.

"Kok rasanya agak pahit ya, Bun ...." 

"Iya, kan sedikit gosong," jawabku sambil tersenyum.

"Gak papa ya Bun dimakan?"

"Iya, tapi yang hitam banget gak usah dimakan ya Nak, pahit rasanya." Sepahit hatiku saat ini, tentu saja hanya kulanjutkan dalam hati.

Aku berlalu mengambil panci kecil untuk menaruh blendrang dan berniat akan menghangatkannya.

Kutuang blendrang kental itu. Terlihat beberapa potong kepala lele, tahu, tempe dan sayur-sayuran termasuk terong yang sudah sangat lembek. Dari baunya masih bisa untuk dimakan karena belum basi.

Teringat lagi akan pesan ibu. "Ah, semoga aku bisa segera berbagi dengan tetangga." 

"Ya Allah.. aku syukuri rezeki-Mu hari ini." Kuucapkan doa syukur agar aku tidak kufur nikmat. Walau tidak dapat aku pungkiri ada rasa nyeri di sudut hati.

Kupandang blendrang kental itu. 'Setidaknya hari ini aku bisa menghemat uang belanja,' syukurku dalam hati. Semoga dengan ini, kami tubuh kami bisa tegak untuk beribadah kepada-Mu ya Rabb.

"Bun.." Terasa pundak ini ditepuk. Aku pun terkaget. "Ah, Ayah  ngagetin saja. Sudah pulang Yah, sudah sarapan?" tanyaku.

"Sudah tadi pisang goreng satu dikasih Kaji Rohman. Ini!" Suamiku memberikan uang hasil kerjanya pagi ini di rumah Kaji Rohman jagal ayam. Berangkat sebelum salat subuh dan selesai jam 6 pagi. Kuterima uang dua puluh ribu itu dengan senyuman.

"Yah, Ibun ke warung dulu beli beras."

"Sudah habis berasnya?"

"Iya, Yah."

"Ibun, belum masak?"

"Belum Yah, nanti saja, tadi Ibun sama Hanan sudah sarapan roti bolu dikasih Bu Retno."

"Mau diantar?"

"Nggak usahlah Yah, hitung-hitung olahraga dan hemat bensin," jawabku sambil berlalu.

***

Ya Allah, jagalah selalu keikhlasan hati ini. Agar senantiasa bersyukur atas semua nikmat yang telah Engkau berikan. 

Ya Allah jadikanlah hati ini hanya berharap kepada-Mu, karena hamba tahu berharap kepada makhluk-Mu pasti akan kecewa.

Kulantunkan doa sepanjang jalan menuju warung diiringi dengan istighfar berulang kali.

"Rah, mau kemana?" Terdengar teriakan Bu Retno dari pintu rumahnya. Aku pun berhenti, dan berbalik ke arah Bu Retno. "Mau ke warung Bu."

"Sini dulu!" Aku pun melangkah mendekat ke arah rumah Bu Retno. Bu Retno terlihat bergegas masuk ke dalam rumahnya. Setelah aku berada di pintu rumah Bu Retno beliau sudah tidak terlihat lagi. 

Setelah beberapa detik menunggu Bu Retno menghampiriku dengan membawa dua kantong keresek ukuran sedang.

"Ini, beras dan terong. Masih mau ke warung?" Bu Retno menyerahkannya padaku. 

"Alhamdulillah, gak jadi Bu. Terima kasih," ucapku. Kemudian berlalu pulang.

Kuucap syukur tiada henti.

THE END

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Oligarki Rudapaksa Ibu Pertiwi, Kok Bisa?

Rela Anak Dilecehkan, Bukti Matinya Naluri Keibuan

Kapitalis Sekuler Reduksi Kesabaran, Nyawa jadi Taruhan