Peringatan Hari Anak Nasional Hanya Selebrasi?
![]() |
🖤Admin MKM |
Cara pandang kapitalisme sekularisme yang lebih mengerikan juga adalah menjadikan anak-anak sebagai objek pemuas nafsu. Tak heran mereka menjadi korban pelecehan seksual dan kekerasan. Kapitalisme sekularisme juga memiliki nilai-nilai kebebasan yang menjadikan anak-anak dalam budaya liberal dan permisif, sehingga mereka melakukan pergaulan bebas.
OPINI
Oleh Jasli La Jate
Pegiat Literasi
MKM, OPINI_Peringatan Hari Anak Nasional (HAN) tahun ini kembali diperingati. Tema yang diambil masih sama dengan tahun sebelumnya, yakni Anak Terlindungi, Indonesia Maju. Tujuan perayaan ini bukan sekadar perayaan melainkan mengingatkan semua kalangan terhadap kesejahteraan dan perlindungan anak.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) memberikan penghargaan kepada 360 Kabupaten/Kota Layak Anak 2023. Rinciannya: 19 Kategori Utama, 76 Kategori Nindya, 130 Kategori Madya, dan 135 Kategori Pratama. Juga Penghargaan kepada 14 Provinsi Layak Anak (Provila) yang telah menggerakkan Kabupaten/Kota di wilayahnya dalam mewujudkan kota layak anak.
Menteri PPPA, Bintang Puspayoga menyatakan jumlah penerima penghargaan Kota Layak Anak 2023 meningkat dibanding tahun sebelumnya. Hal ini menggambarkan komitmen dan kerja keras berbagai pihak dalam mewujudkan pemenuhan hak dan perlindungan anak.
Adanya peningkatan penerima penghargaan tersebut menimbulkan pertanyaan apakah hal itu berkolerasi dengan fakta di lapangan? Misalnya kasus stunting yang terus membayangi, kekerasan terhadap anak, pendidikan, kekerasan seksual, eksploitasi anak, dan sederet persoalan anak lainnya. Akankah semua persoalan itu mampu diatasi dengan tuntas? Bagaimana perlindungan anak secara hakiki?
Jangan Hanya Seremoni
Peringatan Hari Anak Nasional digelar setiap tahun dengan begitu meriah. Jangan sampai perayaan ini hanya seremonial belaka, termasuk pemberian penghargaan Provinsi, Kabupaten dan Kota Layak Anak. Sementara fakta di lapangan masih banyak anak yang terabaikan. Nasib mereka makin memprihatinkan. Kemeriahan peringatan tersebut hanya sebagian kecil yang merasakan. Sementara, mayoritas anak-anak di berbagai tempat negeri ini masih terkungkung dengan berbagai macam persoalan. Di antara persoalan yang harus dituntaskan:
Pertama, stunting. Persoalan stunting merupakan salah satu masalah serius yang dihadapi negeri ini. Hasil Survei Status Gizi Nasional (SSGI) tahun 2022, angka stunting masih tinggi yaitu 21,6%. Walaupun menurun dibanding tahun sebelumnya yakni 24,4%, angka tersebut terkategori masih tinggi. Artinya, masih banyak anak yang mengalami stunting, belum terpenuhi gizinya. Apalagi mengingat target prevalensi stunting di tahun 2024 sebesar 14% dan standar WHO di bawah 20%.
Selain itu, pencapaian tersebut ternyata prevalensi penurunannya tidak merata di setiap daerah. Bahkan, ada sejumlah daerah yang bertambah buruk dari tahun ke tahun. Persoalannya makin pelik karena sebagian daerah tersebut berada di wilayah perkotaan. Padahal wilayah perkotaan memiliki akses yang lebih mudah dibanding pedesaan.
Kedua, kekerasan terhadap anak. Kekerasan kepada anak masih terus mengintai. Hasil rilis data Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menunjukkan sepanjang Januari hingga April 2023 terdapat 15 kasus kekerasan seksual yang terjadi di satuan pendidikan. Berdasarkan catatan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), sepanjang Januari sampai 28 Mei 2023 menunjukkan jumlah kasus kekerasan hingga tindak kriminal terhadap anak di Indonesia mencapai 9.645 kasus.
Sementara hasil Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHR) tahun 2021 menunjukkan 3 dari 10 anak laki-laki dan 4 dari 10 anak perempuan usia 13–17 tahun pernah mengalami satu atau lebih jenis kekerasan selama hidupnya. Kemudian, 3 dari 100 anak laki-laki di pedesaan dan 4 dari 100 anak laki-laki di perkotaan pernah mengalami kekerasan seksual. Sementara 8 dari 100 anak perempuan pedesaan maupun perkotaan pernah mengalami kekerasan seksual.
Ketiga, anak putus sekolah. Hak anak untuk belajar ternyata masih menjadi persoalan serius di tanah air. Pasalnya, banyak yang belum mampu mengenyam pendidikan. Terbukti, anak putus sekolah di Indonesia sepanjang tahun ajaran 2022/2023 di semua level pendidikan mencapai 76.834 orang. Rinciannya: SD 40.623 orang, SMP 13.716 orang, dan SMA 10.091 orang, serta SMK 12.404 orang. (viva.co.id, 27/7/2203)
Kapitalisme Biang Masalah
Persoalan anak tentu tak lahir dari anak itu sendiri. Banyak faktor yang memengaruhi mengapa persoalan anak terus terjadi. Stunting misalnya. Sudah jamak diketahui bahwa stunting disebabkan karena kekurangan gizi kronis yang telah berlangsung lama. Ketidakmampuan memenuhi nutrisi ini karena masalah faktor ekonomi yakni kemiskinan. Kemiskinan terjadi bukan karena malas bekerja tetapi sistem yang membuat orang miskin. Pencari nafkah yakni ayah telah bekerja keras, namun hasilnya kebanyakan begitu-begitu saja, tidak bertambah. Sementara, harga kebutuhan pokok terus merangkak naik.
Demikian juga dengan kasus kekerasan seksual dan pergaulan bebas yang menjerat anak-anak, semua karena persoalan sistemik. Tak heran mereka nyaman ketika melakukan tindak yang menyimpang seperti bullying, perzinaan, narkoba, flexing, kekerasan, pelecehan, dan sejenisnya, bahkan pembunuhan.
Realita yang ada sejatinya menunjukkan betapa sistem yang diterapkan sekarang yakni kapitalisme sekularisme gagal melindungi anak. Semua kerusakan pada anak merupakan buah buruknya penerapan sistem ini. Karena sistem yang mempunyai prinsip pemahaman memisahkan agama dari kehidupan ini telah membuat anak-anak memiliki cara pandang hanya pada materi dan kepuasan. Alhasil, mereka tumbuh menjadi sosok anak-anak yang tidak takut melakukan tindakan keji, kriminal, kekerasan bahkan pembunuhan.
Cara pandang kapitalisme sekularisme yang lebih mengerikan juga adalah menjadikan anak-anak sebagai objek pemuas nafsu. Tak heran mereka menjadi korban pelecehan seksual dan kekerasan. Kapitalisme sekularisme juga memiliki nilai-nilai kebebasan yang menjadikan anak-anak dalam budaya liberal dan permisif, sehingga mereka melakukan pergaulan bebas.
Yang lebih parah, kapitalisme telah membuat negara dan keluarga miskin. Kekayaan berlimpah di negeri ini yang seharusnya diberikan kepada rakyat, malah dikuasai dan dinikmati oleh segenap korporasi. Akibatnya, anak-anak mengalami stunting dan putus sekolah karena faktor kemiskinan. Sejatinya, kapitalisme telah gagal memenuhi hak dan kebutuhan anak.
Islam Melindungi Anak Secara Hakiki
Islam adalah agama yang sempurna. Kesempurnaannya meliputi seluruh aspek kehidupan. Ajaran Islam bukan hanya masalah ibadah tetapi melingkupi pengaturan umum kehidupan, termasuk berkaitan dengan pengaturan anak. Dalam Islam, anak adalah amanah dari Allah Swt. yang harus dijaga dan dilindungi. Mereka adalah aset bangsa bahkan generasi masa depan abad ini. Karena itu, orang tua, lingkungan sekitar tempat mereka belajar kehidupan, dan negara pihak yang bertanggung jawab atas urusan masyarakatnya harus melindungi mereka sebaik mungkin.
Sinergi ketiga pihak ini akan menciptakan perlindungan terhadap anak seperti fisik, psikis, intelektual, moral, ekonomi dan lainnya. Selain itu, sinergi ini akan mewujudkan terpenuhinya hak-hak anak, seperti kebutuhan pokok berupa sandang, papan, dan pangan, juga menjaga nama baik dan martabatnya, menjaga kesehatan serta memilihkan teman bergaul, sehingga terhindar dari tindak kekerasan, dan lain-lain.
Semua ini diterapkan oleh negara yang bernama Khilafah. Keluarga dalam Khilafah akan dididik dengan Islam, sehingga paham peran dan fungsi strategisnya. Sang ibu akan paham posisinya sebagai pengurus generasi sekaligus sekolah pertama bagi anak-anaknya. Sang ayah akan paham perannya mendidik istri dan anak-anaknya. Negara juga akan menjamin setiap laki-laki mendapatkan pekerjaan dengan mudah, sehingga bisa memenuhi kebutuhan keluarganya. Alhasil, gizi dan kebutuhan lainnya pun terpenuhi.
Selain itu, budaya amar makruf nahi mungkar dalam masyarakat dilestarikan. Sebab, hal ini merupakan perintah syariat. Anak-anak akan mendapatkan contoh standar pemahaman yang benar. Hal ini akan mampu memahami penerapan Islam dengan benar. Dengan demikian, mereka tidak akan terjerumus pada hal-hal yang menyimpang seperti pergaulan bebas, bullying, kekerasan dan lainnya.
Negara dengan segenap peraturannya akan memastikan setiap anak tercukupi kebutuhan pokok berupa sandang, papan, dan pangan. Juga kebutuhan dasar pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Semua dipenuhi oleh negara Khilafah dan diperoleh secara gratis dengan kualitas terbaik. Khilafah juga akan mengontrol dan menjaga media agar memberikan tayangan edukatif pada warga negaranya, termasuk anak-anak. Negara juga menerapkan sanksi bagi yang melanggar syariat seperti kekerasan seksual dan sejenisnya.
Demikianlah yang dilakukan oleh Khilafah dalam menjaga anak-anak. Kepemimpinan Islam bekerja memenuhi segala kebutuhan anak. Hal ini sebagai wujud amanah dari Pencipta sebagai pemberi amanah yang hakiki. Inilah alasan mengapa dunia butuh Khilafah. Sebab, tanpanya hidup anak-anak tidak aman dan haknya tidak akan pernah didapatkan secara optimal.
Wallahualam bissawab
Komentar
Posting Komentar