Bahaya Sinkretisme dalam Ngaji Budaya

🖤Admin MKM


“Perlakuan terhadap warga Kristen oleh pemerintahan Ottoman (Khilafah Turki Usmani)- selama kurang lebih dua abad setelah penaklukan Yunani telah memberikan contoh toleransi keyakinan yang sebelumnya tidak dikenal di daratan Eropa.”

OPINI

Oleh Namirah H. Nasir (Aktivis Dakwah)


MKM, OPINI_Baru-baru ini Ponpes Miftahul Huda Al Azhar Citangkolo, Kecamatan Langensari, Kota Banjar, Jawa Barat mengadakan acara ngaji budaya sekaligus Gebyar Muharram 1446 Hijriah dan memperingati Haul KH. Abdurrohim ke -26 serta Harlah ke-63 Pondok Pesantren. Menurut Ahmad Bananu selaku ketua Panitia, tujuan diadakan ngaji budaya untuk melestarikan budaya Indonesia di tengah perkembangan teknologi dan zaman  yang semakin maju sekaligus mengenalkan kepada santri tentang pentingnya menjaga budaya nusantara.  Dengan mengangkat tema “Sehati Sejuwa Membangun Sukacita Hidup Berbangsa”. Dalam acara tersebut, ada penampilan dari lintas agama kolaborasi antara Angklung Silih Asih dari Gereja Katolik Santi Filipus dan gamblang kontemporer Ki Pamanah Rasa. (harapanrakyat.com, 31/7/2023)

Hal yang hampir serupa terjadi di Pondok Pesantren Sabilul Huda Kecamatan Tawang Kota Tasikmalaya, Selasa (15/8/2023) mengadakan kegiatan lintas iman dalam rangka memperingati Hari Kemerdekaan itu diikuti sekitar 200 siswa-siswi dari SD Katolik Yos Sudarso dan dari santri Pesantren Sabilul Huda.  Dalam acara tersebut terdapat pertunjukan seni, bermain permainan tradisional hingga makan siang bersama. Menurut Margareta Yunita, Kepala Sekolah SD Katolik Yos Sudarso, kegiatan ini diharapkan dapat menanamkan bagaimana anak Indonesia itu harus memiliki jiwa persaudaraan tanpa mengenal perbedaan.  Pengasuh Ponpes Sabilul Huda, Muhammad Faruq menyampaikan hal senada. “Kegiatan ini sangat penting untuk menanamkan kepada para santri  jiwa nasionalis adalah cinta negara, dan cinta negara adalah sebagian dari iman. (tribunpriangan.com, 16/8/2023).


 Apa itu Ngaji Budaya?

Istilah ngaji sebenarnya sangat identik dengan belajar membaca Al-Qur’an, belajar Islam, mempelajari dan memahami ajaran agama. Namun, istilah ini belakangan berkembang dengan adanya ngaji budaya. Mungkin bagi sebagian orang awam masih asing dengan istilah ini. Ngaji budaya muncul setelah adanya ide Islam Nusantara yang digagas oleh segolongan kaum muslim di Indonesia yang merasa ada segolongan kaum muslim lain yang melakukan tindak kekerasan atas nama agama dan ada kefanatikan dalam beragama. Ngaji budaya ini merupakan sarana untuk menyebarkan ide tentang kesadaran ruang, tentang kesadaran budaya di tengah perbedaan suku, ras, dan agama. Oleh karena itu, jelas arah dari penyelenggaraan ngaji budaya ini adalah untuk menjunjung tinggi nilai toleransi antar umat beragama.

Sangat disayangkan yang sering mengadakan acara ini dari kalangan pesantren yang kental dengan nilai keislaman.  Acara ditutup dengan doa lintas agama oleh para tokoh agama yang hadir. Tentunya yang hadir tidak hanya muslim, tapi non muslim pun ikut memeriahkan. Semua ini tidak lain dikatakan mereka ngaji budaya atas nama toleransi beragama.  


 Bahaya Sinkretisme

Toleransi yang lahir ditengah–tengah kehidupan yang sekuler (memisahkan agama dari kehidupan) tentunya tidak akan sejalan dengan toleransi yang diajarkan Rasulullah Saw. Pemahaman toleransi saat ini tidak bisa dipisahkan dengan ide Islam moderat, yaitu memahami Islam sebagai agama yang menjunjung tinggi nilai toleransi dan bertumpu pada nilai kebudayaan dan agama. Bentuk toleransi yang dimaksud adalah turut mengikuti perayaan agama lain, acara lintas agama atau ngaji budaya. Karenanya, wajar jika melahirkan toleransi yang kebablasan yang bertentangan dengan Islam.

Toleransi yang demikian adalah sama saja dengan mencampuradukkan ajaran agama yang satu dengan yang lain atau yang dikenal dengan istilah sinkritisme. Sinkritisme sejalan dengan ide pluralisme yang menganggap semua agama benar. Di negara kita yang menganut sistem demokrasi, pemahaman tersebut  diperbolehkan karena masyarakat memiliki kebebasan untuk berpendapat. Akibatnya, banyak pihak yang menyalahgunakan maksud dari kebebasan berpendapat atas kepentingan individu maupun golongan. Jadi, wajar jika fenomena doa lintas agama dan ngaji budaya, dibiarkan bahkan didukung oleh pemangku kepentingan. Walaupun sebenarnya acara tersebut bertentangan dengan nilai toleransi dalam Islam dan dapat mengikis keimanan seseorang yang membenarkan sesuatu yang bertentangan dengan hukum syarak.


 Toleransi dalam Islam

Islam adalah agama yang mengajarkan sikap toleransi. Toleransi dalam Islam adalah membiarkan umat agama lain untuk menjalankan ibadahnya bukan memaksa untuk memeluk Islam. Dalam masalah toleransi, Rasulullah Saw. telah menjadi teladan kita. Misalnya Rasul menjenguk non muslim tetangga beliau yang sakit, Rasul juga bersikap baik kepada non muslim. Bahkan toleransi yang sudah dipraktikkan kaum muslim pada masa lalu ketika Islam jaya sampai akhir kekhilafahan utsmaniyah sangat membekas dan ditulis oleh TW Arnold  dalam bukunya  The Preaching of Islam, bahwa:

Perlakuan terhadap warga Kristen oleh pemerintahan Ottoman (Khilafah Turki Usmani)- selama kurang lebih dua abad setelah penaklukan Yunani telah memberikan contoh toleransi keyakinan yang sebelumnya tidak dikenal di daratan Eropa.”

Menurut Imam Asy-Syaukani dalam tafsir Fath al-Qadr menyatakan : Abd Ibn Humaid Ibnu al-Mundzir dan Ibnu Mardawaih telah mengeluarkan riwayat dari Ibnu ‘Abbas bahwa orang Quraisy pernah menyampaikan kepada Rasul Saw., “Andai engkau menerima tuhan-tuhan kami niscaya kami menyembah tuhanmu.” Dari peristiwa tersebut turunlah surat al-kafirun: 

...untuk kalian agama kalian dan untukku agamaku.” (QS.al-kafirun ayat 6)

Selain peristiwa tersebut menurut Ibnu Jarir, Ibnu Hatim dan ath-Thabrani meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas bahwa Rasul juga pernah ditawarkan harta, tahta dan wanita agar berhenti menyebut tuhan-tuhan mereka dengan keburukan. Dengan demikian jelas bahwa Islam telah melarang terlibat dalam peribadatan pemeluk agama lain seperti merayakan hari raya agama lain, menghadiri acara yang di dalamnya ada doa bersama/ lintas agama atau bagaimanapun bentuknya, karena di dalamnya terdapat aktivitas ibadah agama lain.

Adapun aktivitas doa bersama atau yang semisalnya adalah mengikuti kaum lain (tasyabbuh) dengan peradaban barat yang jelas dilarang dalam Islam. Rasulullah Saw. bersabda: “Bukan termasuk golongan kami, orang yang meniru-niru dengan orang non-Muslim.” (HR. Tirmidzi no. 2695. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadis ini hasan)

Dari hadis tersebut menjelaskan bahwa Islam pun dengan tegas melarang seluruh aktivitas seperti doa lintas agama atau yang semisalnya yang dihadiri oleh kaum muslim dan kaum musyrik di tempat ibadah maupun di tempat umum. Tersebab hal itu,  termasuk aktivitas  tasyabbuh dan mencampuradukkan  antara Islam dan kekufuran (sinkretisme) yang diharamkan secara mutlak.

Namun, untuk interaksi kaum muslim dengan orang kafir diperbolehkan dalam muamalah seperti jual beli, aktivitas pertanian, industri, kesehatan dan sejenisnya. Selain itu, diperbolehkan untuk berdakwah dan mengajak kaum kafir untuk memeluk Islam dengan cara yang diajarkan Rasul. Demikian, Islam mengajarkan toleransi yang melahirkan kedamaian dengan tetap menjaga keimanan dan ketaatan kepada Allah. 

Oleh karena itu, tidak layak kaum muslim terperangkap dalam istilah toleransi yang kebablasan dan tidak dibenarkan dalam Islam. Seharusnya yang dilakukan kaum muslim adalah berusaha untuk mengembalikan kejayaan Islam dengan menjadikan aturan Allah sebagai landasan kehidupan. Dengan begitu, segala kebatilan akan musnah dan kemuliaan Islam akan kembali serta keberkahan dan rahmat Allah akan didapatkan dari langit dan bumi ketika kalimat tauhid ditegakkan di muka bumi ini. 

Wallahualam bissawab.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Oligarki Rudapaksa Ibu Pertiwi, Kok Bisa?

Rela Anak Dilecehkan, Bukti Matinya Naluri Keibuan

Kapitalis Sekuler Reduksi Kesabaran, Nyawa jadi Taruhan