Long Lasting Friend


🖤 Admin MKM 


Kajian-kajiannya tentang pemuda sebagai agent of change sangat menarik untuk dikulik lebih dalam. Hal inilah yang membuatku berusaha untuk tak pernah absen saat ada kajian rutin. Di UKKI ini aku belajar banyak tentang tsaqafah Islam, pergaulan dalam Islam, dan bagaimana berinteraksi dengan lawan jenis baik dalam kehidupan khusus maupun kehidupan umum. Meski hampir semua ilmu ini sudah diterapkan di keluargaku, tapi tentu saja aku masih perlu belajar dan belajar lagi sebagai benteng pertahanan diri di tengah kehidupan akhir zaman yang penuh fitnah ini.


CERPEN


Oleh Arda Sya'roni 


MKM, CERPEN_"Rey?'' Tetiba seorang lelaki menyapaku.

''Angga! Kamu di sini juga? Ambil fak apa?'' tanyaku kegirangan karena akhirnya ada seseorang yang kukenal.

Aku Reyhania Adara, saat ini aku adalah seorang mahasiswa Jurusan Sastra Inggris tahun pertama di sebuah universitas swasta di Surabaya. Menjadi seorang mahasiswa Sastra bukanlah impianku sebelumnya walaupun mempelajari bahasa asing merupakan kesenanganku karena seperti ada tantangan tersendiri saat mempelajarinya. Selain itu dengan belajar bahasa asing, maka otomatis kita akan belajar pula tentang budaya bangsa tersebut, juga adat istiadat setempat dan sejarahnya.

Impianku sebelumnya adalah berkecimpung dalam bidang ilmu biologi. Itulah alasanku memilih jurusan IPA saat SMA dulu, tapi rupanya kemampuan akademisku tidak mencapai level yang memuaskan untuk diterima di bidang tersebut pada perguruan tinggi negeri. Untuk kuliah di jurusan eksakta di universitas swasta tentu membutuhkan biaya yang tak sedikit, karenanya aku lebih memilih sastra agar biaya kuliah bisa ditekan sedemikian rupa. 

Aku yang tak mudah bergaul kembali merasa sedikit insecure saat melangkahkan kaki pertama kali di bangku kuliah. Aku berharap ada satu atau dua orang teman yang kukenal, tapi sepertinya tak mungkin karena ini bukan perguruan tinggi elite. Aku yakin rerata teman SMAku dulu pastilah masuk perguruan tinggi swasta yang elite bila tidak diterima di perguruan tinggi negeri.

Anggabaya Adikara adalah temanku dari SMP dan SMA. Saat SMP aku hanya mengenalnya sepintas lalu karena kami tak sekelas, kami hanya saling menyapa bila berpapasan. Ya, maklumlah aku yang cenderung introvert dan susah bergaul membuatku tak mudah akrab dengan orang lain apalagi lelaki. Saat SMA barulah kami mulai saling kenal saat di angkutan kota. Rumah kami yang masih satu area jalur angkot line E menyebabkan kami sering bertemu saat di angkutan kota. Kami kerap pulang bersama dengan tiga anak lainnya yang masih satu area. Sehingga kami naik angkot yang sama saat SMA dulu. 

“Aku di Fakultas Teknik Informatika,” jawab Angga kemudian.

“Oh, kita beda fak kalau gitu. Aku di Sastra Inggris,” jawabku.

“Masih pakai angkot?” tanyanya

”Ya iyalah,” jawabku

“Mau bareng?” tawarnya.

“Ehm, gak deh kayaknya. Pertama aku gak bawa helm, kedua kita bukan mahram. Masuk khalwat itu namanya, ntar aku bisa dimarahin Ayah,” jawabku tegas.

“Oo ... ok kalau begitu. Kalau misal kamu butuh bantuan aku, jangan sungkan, ya, datang ke aku. Aku masuk kelas dulu ya. See you!”

Ok. See you!

***

Satu tahun pertama jadwal kuliah sangatlah padat terutama jadwal mata kuliah umum dasar. Aku mulai mengenal banyak teman apalagi setelah aku bergabung dengan Unit Kegiatan Kerohanian Islam. Banyak sahabat saleh kudapat di sini yang membuat circle pertemananku menjadi luar biasa karena punya banyak kenalan dari fakultas lain juga yang tentu saja insyaallah saleh dan sepaham dalam aqidah. Kajian-kajiannya tentang pemuda sebagai agent of change sangat menarik untuk dikulik lebih dalam. Hal inilah yang membuatku berusaha untuk tak pernah absen saat ada kajian rutin. Di UKKI ini aku belajar banyak tentang tsaqafah Islam, pergaulan dalam Islam, dan bagaimana berinteraksi dengan lawan jenis baik dalam kehidupan khusus maupun kehidupan umum. Meski hampir semua ilmu ini sudah diterapkan di keluargaku, tapi tentu saja aku masih perlu belajar dan belajar lagi sebagai benteng pertahanan diri di tengah kehidupan akhir zaman yang penuh fitnah ini. 

Sesekali aku berpapasan dengan Angga saat jam kosong atau saat menunggu jadwal kuliah berikutnya yang kadang hingga berjam-jam lamanya. Gedung kuliah Fakultas Teknik yang bersebelahan dengan gedung Fakultas Sastra membuat kami kerap berpapasan, tapi kami hampir tak pernah ngobrol bareng. Angga selalu bersama dengan teman-temannya, demikian pula aku yang selalu bersama teman-temanku saat nongkrong cantik di DPR, sebutan kami untuk Di bawah Pohon Rindang, sambil menunggu jam kuliah berikutnya. 

***

Siang itu aku dan teman-temanku sedang menunggu pesanan bakso di kantin untuk makan siang kami. Aku jarang sekali makan di kantin karena selain memang tak terbiasa makan di luar juga karena uang saku yang terbatas. Hari itu aku ada jadwal kuliah yang diganti di sore hari, karenanya aku terpaksa menjadi si bolang yang harus tetap berada di sekitar kampus hingga malam. Mau pulang juga tanggung, buang tenaga dan buang uang transport sehingga aku memutuskan untuk nongkrong sebentar di kos teman setelah makan siang ini. 

”Boleh aku gabung di sini?” tetiba suara lelaki mengagetkanku yang tengah asyik mengobrol dengan teman-temanku. 

”Angga? Koq tumben masih di kampus? Apa aku ya yang justru tumben masih di kampus?” ucapku kemudian.

”Sepertinya dirimu deh yang tumben,” balas Angga dengan nada sedikit menggodaku.

”Iya kali. Udah pesan makanan?” tanyaku.

”Udah. Jadi, boleh ya ikutan nimbrung di sini?” tanya Angga.

”Kok tanya saya, tanya teman-teman juga dong. Boleh gak nih, Girls?”

”Ehem ... ehem ... pakai nanya teman-teman segala. Aslinya karena takut jatuh hati tuh kalau berduaan,” goda Nayla.

”Sstt ... apaan, sih, kamu. Please, deh,” ucapku sembari mencubit lengannya.

”Ampun, Tuan putri,” balasnya sambil tertawa kecil dan menengok si Angga untuk melihat reaksi Angga. Tampak Angga hanya tersenyum simpul. 

Pesanan kami pun telah dihidangkan. Kami mulai makan bersama sambil saling mengobrol satu sama lain. Setelah santap siang selesai semua, aku pun berpamitan pada Angga untuk lanjut ke rumah kos teman dekat kampus. Sedang Angga akan melanjutkan aktivitasnya di kampus. Maklumlah, anak teknik selalu disibukkan dengan banyak urusan, katanya.

***

Empat tahun berlalu begitu cepat. Sejak memasuki tahun kedua aku dan Angga sudah jarang sekali bertemu. Mungkin karena kesibukan kami masing-masing. Entahlah, aku tak pernah ambil pusing, toh kami memang tak seakrab itu. Tak terasa waktu wisuda pun tiba. Aku tampil berbeda tak seperti para wisudawati lainnya. Dengan mengenakan gamis kuning dengan sentuhan brukat, riasan flawless, serta khimar yang dibiarkan tergerai menutup dada. Alhamdulillah acara wisuda berjalan lancar. Meski tidak menyandang gelar sebagai wisudawan terbaik, aku sudah cukup bersyukur bisa menyelesaikan kuliah tepat waktu dan sebuah kantor perusahaan asing telah menerimaku sebelum wisuda dilaksanakan. 

Tak disangka di sela kerumunan keluarga para wisudawan yang telah bubar, tampak sosok Angga membawa sebuah buket bunga di tangannya. Dengan langkah yang begitu memukau, dia berjalan menuju orang tuaku. Dia menjabat tangan ayahku dengan penuh hormat dan membungkukkan badan pada Ibu sebagai rasa hormat serta mengucapkan selamat padaku tanpa menjabat tangan sembari memberikan sebuket bunga yang dipegangnya. Tanpa diduga dia pun memohon pada ayahku untuk diizinkan meminang diriku. Ternyata selama 10 tahun bersamaku, dia telah memendam rasa yang perlahan tumbuh seiring perjalanan waktu kami bersama dan rasa itu semakin menggebu tak mampu diredamnya.

Berbekal usaha freelance yang digelutinya selama ini, meski kuliah belum tuntas diselesaikan, Angga memberanikan diri untuk meminangku. 

Oh Angga, you are trully my long lasting friend. Hope we will live happily ever after.”

Sidoarjo, 17Agustus 2023

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Oligarki Rudapaksa Ibu Pertiwi, Kok Bisa?

Rela Anak Dilecehkan, Bukti Matinya Naluri Keibuan

Kapitalis Sekuler Reduksi Kesabaran, Nyawa jadi Taruhan