Sebungkus Kebahagiaan

๐Ÿ’“ Admin MKM


Bingkisan setelah donor darah adalah tujuannya. Sekaleng susu untuk adik bungsunya, Tika, dan beberapa bungkus indomie untuk lauk makan mereka sekeluarga.

OPINI


Oleh Sophia

Pegiat literasi


MKM, Cerpen - Ningrum kembali mematut dirinya pada cermin usang di kamar. Dirapikan puncak jilbab putih seragam sekolahnya yang sudah mulai kusam. Setelah yakin rapi, ia pun segera keluar menuju ruang tengah di mana terdapat sebuah meja kayu dengan semangkok nasi yang masih mengepul di atasnya.

Diambilnya satu centong nasi dan ia letakkan di piring, lalu Ningrum terdiam sejenak. 

"Bu, boleh nambah setengah centong nasi nggak?" tanya Ningrum ragu pada Ibunya.

"Iya, gak apa-apa, tapi krupuknya tetap satu ya," sahut Ibu dari arah dapur.

Ningrum pun tersenyum senang, pagi ini ia harus sarapan yang kenyang, jatahnya ... oh bukan tapi jatah semua penghuni rumah ini sudah diatur oleh ibunya. Untuk sarapan yaitu masing-masing anak hanya boleh makan satu centong nasi, pagi ini kebetulan lauknya krupuk, maka jatahnya adalah satu centong nasi dengan satu buah krupuk.

Jatah untuk bapaknya dua centong nasi karena bapaknya harus bekerja di sawah, jadi memerlukan asupan yang lebih banyak.

Ningrum dan kedua adiknya tidak pernah protes, mereka sudah terbiasa dengan kondisi seperti ini. Hanya pada saat-saat tertentu mereka bisa puas makan tanpa dijatah oleh ibunya. Hanya saja pagi ini Ningrum harus sarapan agak banyak karena ia akan ikut donor darah di sekolah. Ningrum tidak mau ia gagal donor hanya karena kurang fit sebab kurang sarapan.

Setelah menghabiskan sarapannya, Ningrum bergegas berpamitan pada ibunya. Adiknya yang pertama yaitu Yuda, biasanya berangkat belakangan karena sekolahnya lebih dekat. Sedangkan Ningrum harus menempuh jarak 3 km berjalan kaki untuk mencapai sekolahnya. Adapun adik bungsunya Tika belum bersekolah.

Ningrum berjalan dengan semangat. Udara pagi di kampungnya sangat segar. Jalanan yang dilaluinya untuk ke sekolah hanya jalanan kecil belum teraspal. Ada beberapa anak-anak lain yang berjalan juga sepertinya. Ini di kampung, masih banyak anak sekolah yang berjalan kaki atau bersepeda. Beberapa temannya tadi sudah mendahului dengan sepeda. Kalau sedang beruntung Ningrum akan dapat tumpangan sepeda motor dari beberapa temannya yang memang memiliki motor karena orang tuanya berpunya. Tapi itu jarang sekali karena biasanya mereka lewat jalan lain yang sudah diaspal, agak memutar tapi kondisi jalannya lebih baik.  

Jam pelajaran terasa lambat bagi Ningrum, ia sudah tidak sabar menunggu bel istirahat.

"Kamu mau donor?" Terdengar Wina teman sebangkunya berbisik, yang dijawab dengan anggukan oleh Ningrum. Tentu saja Ningrum tidak akan menyia-nyiakan momen yang hanya 3 bulan sekali ini. Ia sudah ikut donor semenjak kelas 2 ketika usianya sudah memenuhi syarat. Bahkan kalau bisa ia berharap bisa donor setiap hari.

"Aku juga mau ikut, nanti bareng, ya." Wina kembali berbisik yang diangguki oleh Ningrum. Lalu mereka kembali fokus pada catatan di papan tulis.

Bel istirahat berbunyi, Ningrum dan Wina segera menuju ruang OSIS yang dijadikan tempat untuk acara donor darah.

Mereka segera mendaftar dan mengisi formulir. Tak lupa kartu donor yang sudah mereka miliki ikut disertakan. Setelah antri selama 10 menit, tiba giliran Ningrum untuk ditensi.

"Tadi pagi sarapan, kan? Tensinya bagus, ya, golongan darah AB," ujar petugas pemeriksaan.

Setelah pemeriksaan selesai, Ningrum lekas menuju bed dan berbaring di atasnya.

"Sering donor, ya?" tanya petugas sambil mempersiapkan jarum suntik, Ningrum hanya mengangguk dan tersenyum.

Selagi petugas sibuk melakukan tugasnya, Ningrum pun sibuk dengan pikirannya. Rencana hidupnya setelah lulus nanti sudah terancang. Jangankan berpikir untuk kuliah, sudah sekolah sampai jenjang SMA saja sudah bersyukur. Orangtuanya bahkan SD saja tidak lulus.

Selepas SMA sudah pasti Ningrum akan langsung mencari pekerjaan, membantu orangtuanya mencari nafkah, dan membiayai adik-adiknya sekolah. Jika dirinya tak dapat mengenyam bangku universitas, maka Ningrum berharap ia dapat mengantarkan adiknya ke jenjang itu.

Selang beberapa menit petugas mencabut jarum di lengan Ningrum karena kantong darahnya sudah penuh. Diplesternya titik di mana bekas jarum suntik ditusukkan.

"Pusing gak? Kalau pusing tetap berbaring dulu, ya. Nanti bisa minum teh hangatnya sebelah sana," ucap petugas PMI sembari menunjuk ke arah dua orang siswa yang sedang menjaga sebuah meja penuh dengan gelas-gelas teh manis hangat.

Ningrum pun bangun dari bed-nya karena ia tidak merasa pusing. Kakinya melangkah ke arah Wina yang sedang menikmati teh hangat. Rupanya Wina sudah lebih dulu selesai.

"Nih." Wina memberikan segelas teh pada Ningrum yang duduk di sampingnya. Segera ia teguk teh itu sampai habis, walaupun tidak pusing ia tetap butuh minuman untuk mengembalikan energinya.

"Bingkisannya apa?" Ningrum berbisik pada Wina.

"Susu kaleng sama Indomie," bisik Wina dengan sumringah yang dibalas senyuman lebar oleh Ningrum.

Itulah sebabnya Ningrum berharap bisa donor darah setiap hari. Bingkisan setelah donor darah adalah tujuannya. Sekaleng susu untuk adik bungsunya, Tika, dan beberapa bungkus indomie untuk lauk makan mereka sekeluarga.

Ningrum bahagia bisa membuat adiknya senang karena bisa minum susu dan dapat makan dengan lauk mie rebus yang enak. Untuk saat ini ia hanya bisa membantu keluarganya dengan cara ini, kelak ia berjanji akan lebih semangat untuk dapat membawa keluarganya keluar dari kemelaratan. 

End

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Oligarki Rudapaksa Ibu Pertiwi, Kok Bisa?

Rela Anak Dilecehkan, Bukti Matinya Naluri Keibuan

Kapitalis Sekuler Reduksi Kesabaran, Nyawa jadi Taruhan