Segenggam Tali Putri
![]() |
๐ Admin MKM |
'Aha ... aku akan tidur siang saja sampai sore. Jadi aku gak akan dimarahi kalau gak ngaji.' Hahaha ... hatiku tertawa senang senyumku pun mengembang.
CERPEN
Oleh Ika Fauziah
Pegiat Literasi
Tubuhku bergetar, keringat dingin terasa mengalir deras. Tubuhku pun terasa ringan, kepala ini tertunduk tak kuasa menahan takut. Sesaat sebelumnya sempat kulihat pelototan matanya yang penuh amarah.
Sungguh aku takut, aku tak tahu kalau perbuatanku itu salah. Yang aku pikirkan adalah kesenanganku dengan main masak-masakan.
Kuambil segenggam tali putri berwarna kuning yang menjalar di sepanjang pagar hidup di pinggir jalan. Dengan harapan jika aku mau main masak-masakan tak payah jauh-jauh mencarinya.
Sungguh malang, ternyata pemilik pagar hidup itu sejak lama mengintai untuk menangkap basah pelaku penyebar tali putri tersebut.
"Bukan, Bu ... bukan saya ... yang naruh di pagar Ibu," elakku, mendengar cercaan pemilik pagar.
"Malah gak ngaku, sudah jelas-jelas tertangkap tangan masih gak mau ngaku juga, dasar anak nakal!" hardiknya.
"Benar, Bu, baru kali ini saya mengambil dari pagar Ibu," jawabku takut.
"Awas ya ... sampai kamu ulangi lagi, gak ada ampun pokoknya!" ancamnya geram. Kemudian berbalik masuk rumah dengan masih mengomel.
Aku pun melanjutkan perjalanan ke sekolah dengan langkah gontai dan rasa sesal yang amat sangat.
Sesampai di sekolah pun hati ini masih resah. Rasa penyesalan yang dalam. Kenapa begitu bodohnya menyebarkan tali putri. Padahal disepanjang jalan sudah tumbuh dengan suburnya.
Harusnya aku mengambil secukupnya saja, untuk bahan masak-masakanku. Batinku masih terus saja merutuki kebodohanku.
'Ah, ini gara-gara aku yang serakah. Akhirnya aku kena marah padahal bukan aku pelakunya.' Hatiku bermonolog sehingga rasa sesal itu menyerangku kembali.
Sejurus kemudian bel masuk berbunyi. Rasa sesal itu sudah teralihkan dengan pelajaran di kelas. Aku sangat menikmati pelajaran di kelas. Karena Bu guru wali kelasku sangat baik dan cantik. Aku senang sekali padanya.
Tak terasa bel tanda berakhirnya pelajaran pun berbunyi. Kurapikan semua peralatan sekolah dan kumasukkan ke dalam tas. Setelah berdoa dan diizinkan Bu guru untuk pulang, kami semua berhambur berebut untuk keluar kelas.
Ada perasaan senang dan lega. Dengan langkah semangat aku langkahkan kaki menuju rumah, tapi langkahku seketika gontai teringat peristiwa tadi pagi.
Tiba-tiba saja aku merasa enggan dan takut untuk melangkah. Bayangan peristiwa tadi pagi kembali melintas. Tapi kalau tidak meneruskan langkah, mau lewat mana? Jalan ini satu-satunya jalan terbaik dan terdekat. Kalau mau balik lagi lewat jalan lain rasanya tidak mungkin, karena terlalu jauh.
'Ah, sebaiknya aku lari saja!' akhirnya kuputuskan untuk berlari.
Dengan hati berdebar, kuayunkan tangan dan kakiku secepat mungkin. Dengan harapan Bu Maria tidak melihatku melintas di depan rumahnya. Setelah agak jauh dari rumah Bu Maria, aku pun berhenti dengan napas yang ngos-ngosan.
'Alhamdulillah, Bu Maria gak ada,' syukurku dalam hati.
Sesampai di rumah, aku langsung mengganti seragam merah putihku dengan baju harian. Setelah itu ke kamar mandi untuk cuci kaki dan tangan, kemudian langsung mengambil piring, menyendok nasi jagung, sayur bayam, dan mengambil sepotong tempe. Sebenarnya masih ada sambal tapi aku tak mengambilnya, aku tak suka pedas. Rasanya aku tak bisa menikmati enaknya makanan karena kepedasan.
Setelah selesai aku berlalu dari meja makan dan meninggalkan piring kotor di sana, tapi aku urungkan. Aku kembali dan mengambil piring kotorku untuk kucuci dan kutaruh kembali di rak piring seperti sediakala. Aku takut nanti Emak marah sepulang dari sawah, karena melihat piring kotor yang tergeletak di meja.
Kulihat jam dinding menunjukkan angka 1. Bergegas kuambil wudu untuk salat Zuhur. Masih 1 jam-an lagi untuk berangkat ngaji.
'Duh, ini kan hari Kamis? Waktunya nanti hafalan surat-surat pendek. Belum lagi nanti harus lewat depan rumah Bu Maria lagi.' Muncul lagi ketakutanku.
'Duh ... gimana ini? Aku selalu gak bisa kalau hafalan. Padahal aku sudah mengulangnya berkali-kali. Apa aku bolos saja ya? Tapi pasti Emak marah.' Hatiku bermonolog.
'Apa aku main saja sampai sore, ya? Tapi pasti Emak tambah marah.' Bingung aku.
'Aha ... aku akan tidur siang saja sampai sore. Jadi aku gak akan dimarahi kalau gak ngaji.' Hahaha ... hatiku tertawa senang senyumku pun mengembang.
***
"Min ... Minah ... bangun, sudah sore, sudah salat Asar?" terdengar suara emakku dari ambang pintu. Aku pun mengerjapkan mata. Sesaat sebelum aku beranjak dari ranjang. Kuraih handuk yang nyantol di balik pintu dan bergegas ke kamar mandi.
Selepas salat, emak menghampiriku. "Kenapa nggak ngaji?" tanya emak.
"Ketiduran, Mak," jawabku singkat.
"Benar ketiduran?" tanya Emak lagi.
"I ... iya, Mak," jawabku sedikit gugup. Aku takut sandiwaraku terendus oleh Emak.
"Tumben tidur, biasanya habis salat Zuhur langsung main," kata Emak lagi.
"Iya, Mak, tadi ada PR banyak, jadi kerjakan PR dulu. Tapi terus ketiduran, Mak," jawabku.
"Ooh gitu ... bukan karena hari Kamis hafalan, ya?" pancing emak.
"Enggak, kok, Mak," elakku.
"Min ... Allah itu Maha Adil. Allah nggak menilai manusia itu dari jumlah hafalannya, tapi Allah menilai dari apa yang diusahakannya. Berapa keras ia berusaha menghafalnya," nasihat emak, seolah ia tahu kalau aku membolos ngaji karena aku sulit menghafal.
"Tapi, Minah malu Mak ... kalau gak hafal, kan, nanti Minah disuruh berdiri di depan jadi tontonan teman-teman, Mak." Akhirnya aku mengaku.
"Bisa jadi pahala yang kamu dapatkan dari usahamu menghafal itu lebih besar dari pahala teman-temanmu yang sangat mudah menghafal Minah," terang Emak sambil mengelus rambutku.
"Maksudnya, Mak?" tanyaku penasaran sambil berbalik menghadap ke arah Emak duduk.
"Iya ... ketika kamu membaca hafalanmu berulang kali. Maka pahala akan terus mengalir kepadamu Nak." Emak masih membelai rambutku.
"Bukankah kata ustazahmu, setiap huruf dalam Al-Qur'an mengandung sepuluh kebaikan?" Emak mengingatkan, perihal ceritaku tentang kebaikan dan pahala membaca Al Qur'an yang kudapat dari guru ngajiku.
"Oh, iya ya, Mak," sahutku senang.
"Tapi malu, Mak ...," rajukku lagi.
"Tak mengapa, Nak, ingatlah selalu bahwa menuntut ilmu adalah kewajiban dari Allah, dan kamu berangkat ngaji karena Allah. Insyaallah kalau Allah rida, maka kamu akan mendapatkan kemudahan kehidupan dunia dan akhirat," jelas emak panjang lebar.
"Ingat, ya, Sayang, dalam melakukan apa pun carilah rida Allah. Jangan sampai gara-gara manusia, kamu tidak melaksanakan perintah Allah. Emak harap kamu jangan pernah pedulikan pandangan manusia terhadapmu, ya." Aku pun mengangguk tanda mengerti.
"Terima kasih, Mak, insyaallah Minah akan selalu ingat nasihat Emak," jawabku sambil memeluk emak.
Selesai
Komentar
Posting Komentar