Bukan Sekadar tentang Titel
![]() |
๐ค Admin MKM |
Percakapan singkat itu membuka mataku, kedua mertuaku sangat baik, tak pernah bermuka masam, selalu menyambut kedatangan menantunya ini dengan baik. Gelar hanyalah tulisan di atas kertas, ilmu bisa kita dapatkan dimana saja, luasnya wawasan tidak selalu bergantung dari jenjang pendidikan.
CERPEN
Oleh: Sophia
(Pegiat Literasi)
MKM, CERPEN_Niat untuk mengambil gelas di dapur terhenti saat sayup-sayup terdengar suara ibu mertuaku dan Mas Jamal, kakak iparku.
"Yang satu orangnya pintar, Bu, wawasannya cukup luas dan asyik diajak ngobrol," tutur Mas Jamal. "Tapi sayangnya gak terlalu cantik, trus agak gendut, Bu," lanjutnya.
Tak kudengar sahutan dari Ibu, mungkin beliau masih menunggu rangkaian kalimat lainnya yang akan keluar dari mulut putera keduanya itu.
"Nah, yang satu lagi cantik orangnya, badannya bagus dan ideal, cuma ya gak sepintar cewek yang pertama, kalau aku ajak ngobrol malah kadang gak nyambung hehehe ...." Terdengar kembali kalimat Mas Jamal yang diiringi kekehan.
Kutahan kaki ini untuk tidak berbalik arah, aku penasaran dengan jawaban yang akan ibu mertuaku berikan.
"Pernikahan itu, Mas, isinya ya ngobrol, komunikasi. Kalau misal istrimu malah gak nyambung pas diajak ngobrol yo opo, malah gak nyenengi dan kaku. Wajah cantik dan badan ideal itu bisa dikondisikan, banyak klinik kecantikan yang bisa bantu bikin muka kita glowing. Tapi kalau gak punya wawasan dan pengetahuan, diajak ngobrol cuma bisa ngang ngong ya susah. Tapi selain itu tetap yang terpenting ya agamanya." Terdengar jawaban panjang lebar dari ibu mertuaku. Kuintip reaksi Mas Jamal yang mengangguk-anggukan kepalanya sembari terlihat berpikir. Sedangkan ibu mertuaku tengah sibuk menyiangi daun singkong yang akan beliau masak untuk makan malam nanti.
Aku bimbang apakah akan melanjutkan langkah ke dapur atau berbalik arah mengubah tujuan. Sebab kupikir akan canggung jika masuk dapur, maka kuambil langkah untuk kembali ke ruang depan saja.
Saat ini aku dan suamiku, Mas Hasan, sedang berkunjung ke rumah ibu mertua. Rutinitas kami setiap 1 bulan sekali menengok orang tua. Jarak yang lumayan dekat hanya berbeda kabupaten memudahkan kami untuk sering datang berkunjung. Sedangkan ke rumah orang tuaku bisa aku lakukan kapan saja, karena kami tinggal di kota yang sama.
Kedua mertuaku adalah pensiunan PNS, Bapak pensiunan Dinas Pendidikan, sedangkan Ibu adalah pensiunan kepala sekolah di SD Negeri. Mas Jamal adalah anak kedua, memang dia belum menikah dan Mas Hasan mendahuluinya dengan menikahiku. Sedangkan kakak ipar pertama kini tinggal di luar pulau Jawa mengikuti suaminya yang memang ditempatkan dinas di sana.
Biar kuceritakan dulu bagaimana keluarga suamiku ini. Selain Bapak Ibu yang PNS, anak-anaknya pun alhamdulillah termasuk sukses. Bapak dan Ibu sesuai basic pekerjaan mereka, begitu mengutamakan pendidikan. Anak pertamanya Mba Rahma, lulusan S1 komunikasi dan kudengar dia bekerja di perusahaan asing di luar pulau sana. Anak kedua yaitu Mas Jamal, dia lulusan S2, dan anak bungsu mereka Mas Hasan yang adalah suamiku, dia juga lulusan S2.
Jadi bisa aku mengerti jawaban yang Ibu berikan untuk Mas Jamal tadi sangat masuk akal dan aku pun menyetujuinya. Tapi hal itu malah membuatku merenungkan diri sendiri. Suamiku lulusan S2, dari keluarga yang semuanya berpendidikan tinggi, sedangkan aku ... aku hanya lulusan SMA. Seorang lulusan SMA yang bersuamikan sarjana magister. Kenapa sekarang aku memikirkannya? Tentu saja karena ucapan ibu mertua di dapur tadi. Aku mematut wajah di cermin. Ah, wajah biasa saja, pendidikan pun tidak tinggi, apakah aku pintar dan berwawasan? Tentu saja jauh lebih pintar Mas Hasan yang lulus S1 dan S2 nya di UGM. Lalu apakah selama ini ibu mertua menyukai aku sebagai menantunya? Itulah yang aku pikirkan sekarang.
Ibu dan Bapak mertuaku sangat baik, selalu menyambut kami dengan hangat jika berkunjung. Kami memang jarang ngobrol karena aku yang memang masih canggung, ah aku lupa mengatakan kalau pernikahan kami bahkan belum satu tahun, lebih tepatnya kami baru menikah delapan bulan lalu.
"Dek, ngapain di sini?" Mas Hasan tiba-tiba menjawil pipiku.
"Itu dicari Ibu," lanjutnya.
Aku hanya meresponnya dengan senyum dan segera keluar kamar menghampiri ibu mertua yang sepertinya sedang memilah pakaian.
"Ibu nyari Rumi?" tanyaku.
"Iya, Rum. Ini loh baju Ibu kemarin habis di pakai kondangan, eh malah kesangkut pagar depan itu, jadi sobek begini," keluh Ibu sambil memperlihatkan sobekan yang beliau maksud.
Iya, inilah keahlianku. Tukang Jahit. Karena setelah lulus SMA aku langsung kursus menjahit dan selanjutnya bekerja disebuah konveksi di kotaku. Saat ini alhamdulillah aku sudah punya toko baju kecil-kecilan di mana aku bisa menjual baju-baju yang aku desain dan jahit sendiri, dibantu dua orang asisten.
Malam harinya, rasa ingin mendiskusikan beban pikiranku bersama Mas Hasan tak terbendung lagi. Maka setelah Mas Hasan pulang dari masjid menunaikan salat Isya, aku menghampirinya dan mengutarakan segala apa yang ingin kutanyakan.
"Mas, kenapa pilih aku jadi istri?" tanyaku to the poin memulai percakapan.
"Kenapa, Dek? Kok tiba-tiba tanya itu?"
"Pengen tau aja, aku tiba-tiba insecure kalau inget keluarga Mas itu berpendidikan tinggi semua," ujarku lirih.
Mas Hasan beranjak mendekatiku dan memegang tanganku, "Dek, Mas pilih kamu ya karena Mas maunya kamu," jawabnya diiringi senyuman.
"Memang dulu waktu kita belum menikah, Ibu sama Bapak gak masalah punya menantu cuma lulusan SMA?" cecarku.
"Nggak, Bapak sama Ibu gak masalah sama jenjang pendidikan, Dek."
"Tadi siang pas di dapur, Ibu bilang kalau pilih istri itu yang pintar, yang berwawasan luas biar kalau diajak ngobrol nyambung," lirihku.
"Kamu, kan, pinter, Dek. Kamu berwawasan luas dan Mas sangat suka ngobrol sama kamu," ucapnya lembut membuatku tersipu, duh suamiku ini emang pinter nyenengin istri. "Lagipula, Ibu cuma bilang yang pintar, bukan yang harus lulusan S1 atau S2 'kan?" Pertanyaan Mas Hasan kujawab dengan anggukan.
"Tapi aku tetap insecure," ujarku dengan wajah memelas.
"Ssstt ... ga boleh begitu, bersyukurlah, Dek. Dek Rumi itu ayu, menyejukkan pandangan buat Mas. Dek Rumi suka membaca sehingga berwawasan luas. Dek Rumi itu sholeha makanya Mas pilih Adek. Dan terpenting Dek Rumi harus bersyukur juga punya suami yang ganteng seperti Mas," canda Mas Hasan yang langsung kubalas dengan cubitan di perutnya.
Percakapan singkat itu membuka mataku, kedua mertuaku sangat baik, tak pernah bermuka masam, selalu menyambut kedatangan menantunya ini dengan baik. Gelar hanyalah tulisan di atas kertas, ilmu bisa kita dapatkan dimana saja, luasnya wawasan tidak selalu bergantung dari jenjang pendidikan.
Sungguh aku bersyukur memiliki suami dan mertua seperti mereka.
"Dek, rumus fisika kuantum apa?" tanya Mas Hasan tiba-tiba, aku terbengong dan Mas Hasan tertawa terbahak, segera saja kulayangkan kembali cubitan andalanku.
Selesai
Masyaallah kak. Samawa sampai akhir hayat utk penikahannya kak, selalu dj beri keberkahan oleh allah kak๐๐
BalasHapus