Gara-gara Harga Diri

 

                             ðŸ–¤Admin MKM


Aku memijit kepalaku. Rasanya pusing sekali mendapatkan kabar seperti ini. Bukan aku hasud terhadap orang lain atau bersedih karena sudah 5 tahun pernikahan kami, kami belum punya rumah apalagi membelikan tanah untuk orang tua. 


CERPEN 


Oleh Insaniyaah

Pegiat Literasi 


MKM_CERPEN, Terik matahari dengan kumandang azan Zuhur makin menarik hati untuk segera menyandarkan bahu di tiang ranjang. Sepertinya nyaman. Ah, setelah hari Senin ini terlewati dengan banyak bersuara dihadapan bocah-bocah lucu di sekolah.

Jalanan pun lenggang dengan orang. Padahal biasanya meski siang hari, ada saja orang yang nongkrong di warung atau teras tetangga. 

"Abi belum berangkat?" Aku agak heran jam segini suami belum berangkat ngamplas barang ke warung-warung.

"Iya ada sedikit problem," celetuknya sambil terduduk santai sambil memainkan ponselnya di ruang tamu sekaligus ruang makan kami.

"Kenapa gitu, Abi?" Aku menggantung tas si sulung di belakang pintu kamar bersebelahan dengan ruang tamu.

Sudah beberapa bulan ini memang rutinitas ku berubah semenjak si sulung sekolah TK. Mengantar dan menunggunya hingga jam pulang tiba. Apalagi inginnya ditunggui di dalam kelas. Jadilah, aku ibu guru cadangan. Lelah juga tapi itung-itung pengalaman. Belum lagi bawa anak kedua yang usianya baru 2 tahun.

"Tadi ada beberapa orang ngukur jalan depan. Halaman depan pasti nggak bisa dipakai lagi, Bun. Rumah belakang udah dibeli sama Mang Mamat, otomatis halaman ini juga," terang Suami. Pasalnya rumah kontrakan yang sedang kami tinggali memang berdekatan dengan kontrakan Mang Mamat si tukang servis alat elektronik. Semenjak beliau punya mantu holang kaya sikapnya agak tinggi hati sekarang. Dan, kabar baiknya selang 2 tahun mendapat mantu alhamdulilah kontrakan yang beliau tempati kini bisa dibeli. Ini tho suasana sekitar terlihat sepi ternyata sudah bubar peristiwa besarnya.

Belum lagi aku menanggapi informasi dari suami, beliau menambahkan, "Pa Haji sempat cekcok dengan petugas notaris." Pa Haji yang punya rumah yang aku tinggali, sementara kontrakan Mang Mamat punya orang Kaler. Entah bagaimana ceritanya kedua rumah itu berbeda kepemilikan.

Aku memijit kepalaku. Rasanya pusing sekali mendapatkan kabar seperti ini. Bukan aku hasud terhadap orang lain atau bersedih karena sudah 5 tahun pernikahan kami, kami belum punya rumah apalagi membelikan tanah untuk orang tua. Bukan, hanya saja aku sedikit pening dengan kasusnya. 

Lagi pula aku, atau suami tak punya hak. Hanya mengingat nanti betapa kesusahannya keluar masuk barang-barang ngamplas yang sudah disediakan suami untuk para sales. Padahal akses yang mudah itu di pintu utama, bukan pintu samping yang merupakan jalanan umum. 

Lebih baik aku rebahan sejenak daripada mengingat ini.

"Di, kalau ngambil barang sebelah sana, jangan di sini," tunjuk Bu Haji pada suami yang sedang menyirami tanaman di teras rumah pada sore harinya. Dan itu terdengar olehku. 

"Muhun Bu Haji," jawab suami.

"Baru punya duit segitu aja udah sombong, jangan cuma rajin ke masjid, tapi harus ngaji juga biar nggak jadi tetangga nyebelin," cecar suami tatkala sudah masuk ke dalam rumah. Dan, kembali aku memijit kepala. Aku pun jadi terbawa emosi. Coba tebak siapa yang jadi sasaran luapan emosi ini? Anak-anak. Maafin Bunda, kesayangan.

Inikah yang dinamakan, apakah kamu yakin sudah beriman sebelum dirimu diuji?

Aku jadi teringat kajian kitab ajhizah bagaimana pengaturan tanah oleh Rasulullah saw. Jalanan umum diatur panjangnya sebesar 7 hasta. Jadi tidak akan ada jalanan yang sempit hanya muat 1 badan saja atau bahkan terjadi perselisihan seperti ini. Di mana RT RW? Hah, benarkah jargon yang punya uang yang berkuasa? Huft. 

Benar adanya kalau ingat juga kasus Rempangnya orang Melayu. Tuan rumah malah jadi korban kebiadaban sistem. Jangan jauh-jauh, sini mendekat. Oligarki kecil ada disini. Duh, kepala ini berasa muter-muter.

Hingga berhari-hari tanpa sapa, tanpa tanya kedua keluarga ini diam. Aku juga menurut apa yang dikatakan suami. Kondisinya masih panas, meskipun sama-sama diam tapi kalau kita menyulut korek satu saja itu akan menjadi kobaran api yang menghanguskan kerukunan.

" _Aing teh kieu gara-gara adi maneh_ (Saya begini gara-gara adik kamu)," teriak Mang Mamat di tengah siang bolong hari berikutnya. Entah kepada siapa. Tapi di depan halaman tampak ramai, ada beberapa orang termasuk sales langganan. Aku yang baru pulang jemput anak melongo. 

" _Belagu jadi jelema teh. Budak aing rek ngalewat ka Imah ku adi maneh baheula disentak gara-gara kagok nyiapkeun barang. Urang ge boga harga diri_ (Belagu jadi orang. Anak saya mau lewat k rumah, sama adik kamu dulu dibentak gara-gara kagok nyiapin barang. Saya juga punya harga diri)," papar Mang Mamat lebih santai. Pasalnya bahasa disini memang sedikit kasar.

" _Muhun Mang hapunten rai abdi,_ (Iya Mang, saya minta maaf atas nama adik saya)" tutup suami agar emosi Mang Mamat tak meluap.

Astagfirullah ini loh alasannya sampai halaman rumah ini dibeli Mang Mamat. Ampuni hamba Ya Allah, sebagai tetangga yang tidak peka. Melalui hasrat dan doa Mang Mamat bisa sampai seperti ini. Dan Allah kabulkan.

Selesai

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Oligarki Rudapaksa Ibu Pertiwi, Kok Bisa?

Rela Anak Dilecehkan, Bukti Matinya Naluri Keibuan

Kapitalis Sekuler Reduksi Kesabaran, Nyawa jadi Taruhan