Hallo... Long Time No See!
Andhika Bagaskara adalah teman semasa SMA. Kami sekelas dan kami memang pernah menaruh hati satu sama lain. Dhika dulu pernah menyatakan cinta padaku, tapi aku tidak menerimanya karena dalam aturan agama jelas pacaran adalah haram.
CERPEN
Oleh Arda Sya'roni
Pegiat Literasi
MKM, Cerpen_“Okay, you are accepted. Your first day will be tomorrow. Congratulation!”
Alhamdulillah, aku diterima bekerja di sebuah perusahaan farmasi asing dari Kundl, Austria. Seakan aku tak percaya bisa secepat itu diterima kerja di sini yang konon katanya sangat susah. Ya, aku diterima di sini sebagai seorang admin untuk wilayah Indonesia Timur yang mencakup area mulai seluruh Jawa Timur, Sulawesi, Kalimantan hingga Papua. Di kantor Surabaya ini aku membantu seluruh tugas seorang Area Manager divisi Antibiotics, tapi aku bertanggung jawab langsung pada atasan bule yang berkantor di Jakarta.
Esok hari itu telah tiba, dengan suka cita aku berangkat bekerja menggunakan angkutan kota. Tak lupa ibu membawakanku bekal makan siang, biar aku tak makan sembarangan katanya. Ya, maklumlah, aku anak bungsu dan ketiga kakakku sudah menikah. Sebuah gamis hijau sage dengan model girly dan dipadankan dengan khimar kuning telur kukenakan. Alhamdulillah meski perusahaan asing, tapi tidak mempermasalahkan gaya busanaku yang syar'i. Namun, tentu saja aku harus memperlihatkan bahwa Islam itu indah, gak kolot atau kampungan, sehingga aku harus selalu tampil anggun dan elegan dengan busana syar'i.
***
Satu putaran purnama berlalu. Meski sibuk, apalagi bila di akhir bulan, tapi aku mulai bisa beradaptasi dengan baik. Aku juga banyak mengenal teman dari divisi-divisi yang lain dan dari perusahaan yang lain. Siang itu aku tidak membawa bekal karena baru saja menerima gaji pertama aku ingin berbagi dengan teman-teman kerja di kantin. Kami berbaur dengan banyak rekan baik dari divisi lain maupun dari perusahaan lain.
“Rayya? Hallo...long time no see. Gimana kabarnya?” kutolehkan kepalaku ke arah suara yang memanggilku. Siapakah gerangan dia?
“Masyaallah... Dhika? Kamu kerja di sini juga? Di perusahaan apa?” tanyaku kemudian.
“Iya, aku kerja di lantai dua, di perusahaan PMDN aja di OTC multivitamin, kamu?” tanyanya lagi.
“Aku di Sandoz di lantai tiga, divisi Antibiotics,” jawabku.
“Gak nyangka aku ketemu kamu di sini. Udah berapa lama ya kita gak ketemu? Terakhir kelulusan SMA ya? MasyaAllah. Udah nikah?” tanyanya.
“Belum, baru juga lulus,” jawabku singkat.
“Well, kapan-kapan kita ngobrol lagi ya, aku waktunya check out nih, time to keliling jalanan. See... you!” ucapnya sambil melambaikan tangan.
Andhika Bagaskara adalah teman semasa SMA. Kami sekelas dan kami memang pernah menaruh hati satu sama lain. Dhika dulu pernah menyatakan cinta padaku, tapi aku tidak menerimanya karena dalam aturan agama jelas pacaran adalah haram.
Namun, tak dapat dimungkiri bahwa sebenarnya di lubuk hati yang paling dalam aku berharap kelak dia adalah jodohku. Tak kusangka aku kembali bertemu dengannya. Entah apakah dia masih memiliki rasa itu ataukah sudah ada tambatan hati lain yang mendampinginya. Sejenak dadaku berdetak cepat, untung aku masih bisa mengendalikan. Kembali aku berbaur dengan teman-teman dan perlahan kuatur emosi di diriku agar detak jantung kembali normal.
***
Seiring perjalanan waktu selama dua tahun sudah aku bekerja, kami sering bertemu, saling menyapa dan terkadang ngobrol sebentar. Pertemuan kami tetaplah di dalam batasan aturan agama. Kami tak berani berkhalwat, takut ada fitnah, apalagi kami berdua masih single.
Kami juga tak terlalu sering bertemu karena aku yang sering membawa bekal makan membuatku jarang makan di kantin, sedang kerja Dhika yang di lapangan makin membuat kami jarang mempunyai waktu untuk ngobrol lama. Itulah tanda Allah sayang padaku, dengan membatasi waktu kami agar tak saling bertemu, dan tak menambah dosa di antara kami berdua.
“Rayya, kamu masih mau terima tawaranku saat SMA dulu? Tapi kalau yang sekarang untuk menjadi kekasih halalku?” tetiba Dhika berkata demikian.
“What? Yang bener aja kamu, emang udah beneran yakin? Bukankah kita udah lama tak bertemu, mungkin saja aku sudah bukan aku yang dulu atau sebaliknya kami sudah bukan kamu yang dulu,” tegasku.
“Ah, aku yakin kamu masih sama seperti yang dulu. Ya, mungkin sudah sedikit berubah sih, jadi lebih matang dan cantik,” godanya.
“Gombal! Pikir dulu masak-masak, kalau udah yakin ya monggo temui ayahku, ngobrol sana sama ayah,” tegasku.
“Jadi, intinya oke ya. So, wait for me Rayya, I will come to you soon!” ucapnya lantang.
Tak kusangka Dhika masih menyimpan perasaan padaku. Namun, lima tahun bukanlah waktu yang sebentar. Aku tak tahu apakah Dhika masih seperti yang dulu karena setahuku dunia kerja sales yang bekerja di lapangan kerap mengubah seseorang. Apalagi dunia saat ini yang semakin menggila sehingga mampu mengubah pribadi seseorang. Ya, semoga saja Dhika masih seperti dirinya yang kukenal dulu karena jujur aku pun masih mengharapkan dirinya.
***
Tak berselang berapa lama, Dhika benar-benar mendatangi rumahku. Hanya berkunjung saja katanya sambil mendekatkan diri dengan ayahku. Tampak mereka berbincang tentang banyak topik. Aku hanya sesekali saja ikutan nimbrung selebihnya aku membantu ibu di dapur dan membiarkan Dhika dan ayah berbincang berdua.
Seringkali pula Dhika mampir bila sedang bertugas di area dekat rumahku, meski aku tak ada di rumah, Dhika sudah tak canggung untuk berbincang dengan ayah. Rupanya ayah juga sudah mulai luluh hatinya dengan kesungguhan Dhika.
Melihat kesungguhan Dhika aku pun mulai melakukan salat istikharah agar Allah memberiku petunjuk kemantapan hatiku pada Dhika.
“Ya Allah, berikan aku petunjuk-Mu. Apabila Dhika adalah jodohku dan baik untukku serta menjadikanku makin taat kepada-Mu maka mohon dekatkanlah kami. Namun, apabila Dhika tidak baik untukku dan hanya akan membuat pilu hatiku serta makin menjauhkanku pada-Mu, maka jauhkanlah kami,” pintaku dalam setiap salatku.
***
Sore itu Dhika kembali mengunjungi rumahku setelah aku pulang kerja. Sepertinya Dhika memang sengaja menunggu hingga aku pulang karena tampak penampilan Dhika yang sedikit berbeda. Dhika tampak rapi sekali, aroma parfum menguar mewangi.
“Assalamu'alaykum, malam Om. Mohon maaf, saya datang kemari kali ini dengan maksud meminang Rayya.”
“Wa'alaykumussalam, baiklah kita ngobrol bersama Rayya dan Ibunya, ya. Sebentar saya panggilkan,” tegas ayah.
Kami pun berbincang bersama. Aku sungguh mengapresiasi keberanian Dhika yang bertekad meminangku seorang diri, tanpa kedua orang tuanya. Sebuah tanda tanya besar baik bagiku maupun bagi ayah ibuku tatkala Dhika meminangku seorang diri. Di manakah kedua orang tuanya? Apakah kedua orang tuanya mengetahui tentang diriku? Apakah Dhika tulus meminangku ataukah ada niat lain? Kami tidak terlalu membahas masalah itu, ayah hanya mengatakan semua terserah diriku saja. Namun, ayah meminta agar kami dipertemukan dengan kedua orang tuanya juga agar lebih mengenal.
***
Seminggu sudah berlalu, aku masih dalam keraguan sehingga aku pun belum memberi kabar kepastian jawabanku pada Dhika. Namun, Dhika seakan mengharap aku segera memberikan jawaban mesti hal itu tak diucapkannya secara gamblang.
Siang itu di kantin sekilas aku mendengar bisikan-bisikan yang tak nyaman di telingaku. Aku mendengar bahwa Dhika meminangku hanya karena taruhan bersama rekan-rekannya. Mereka bertaruh bahwa Dhika tak mungkin mendapatkanku karena aku yang mereka pandang ketat dalam aturan syariat, sedang Dhika seorang yang telah banyak terkontaminasi dengan dunia sales yang kejam. Namun, Dhika tak mau kalah dalam pertaruhan itu sehingga dia begitu bersemangat untuk mendapatkan aku.
“Astagfirullah, benarkah kabar yang aku dengar itu, Ya Allah? Apakah ini jawaban atas salat Istikharahku?” batinku. Mulutku terasa terbungkam. Tiada kata-kata yang mampu terucap. Batinku menjerit. Namun, yang kutahu bahwa ini adalah takdir terbaik dari Allah. Lebih baik aku mengetahui sebelum pernikahan terjadi.
“Terima kasih, Ya Allah. Akhirnya aku menemukan jawaban yang tepat untuk pinangan Dhika.”
Sidoarjo, 11 Oktober 2023
Komentar
Posting Komentar