Kasus Korupsi Menggurita, Islam Solusinya

🖤Admin MKM


Pemilu dalam Islam tidak menghabiskan dana besar karena dibatasi hanya tiga hari setelah kekosongan khalifah karena wafat, uzur syar'i, atau diberhentikan. Sehingga masa kampanye pun juga dibatasi hanya tiga hari. 

OPINI

Oleh Nur Fitriyah Asri

Penulis Ideologis Bela Islam Akademi Menulis Kreatif


MKM, OPINI_Tidak henti-hentinya negeri ini diterpa badai korupsi yang kian hari makin menjadi-jadi. Daftar Menteri Jokowi yang masuk pusaran korupsi bertambah lagi, yakni Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL). Ia seorang politikus dari partai NasDem yang sebelumnya pernah menjabat sebagai Gubernur Sulawesi Selatan merupakan menteri keenam yang terjerat korupsi.

Secara resmi pada Rabu, (11/10/3023) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan eks Menteri Pertanian SYL dan jajarannya, yakni Kasdi Subagyono, Sekretaris Jenderal Kementerian Pertanian; Muhammad Hatta, Direktur Alat dan Mesin Pertanian, semuanya menjadi tersangka. Selain itu, SYL bersama sejumlah pihak lainnya termasuk istri, anak, dan cucu dicegah untuk bepergian ke luar negeri selama enam bulan hingga April 2024. (CNNIndonesia, 11/10/2023)

Dalam proses penyelidikan KPK telah menggeledah rumah dinas SYL dan Kantor Kementan. Ditemukan sejumlah dokumen berisi aliran uang antara lain ke parpol dan uang senilai Rp30 miliar, serta 12 pucuk senjata api. Selanjutnya rumah pribadi SYL yang di Makasar, Sulawesi Selatan, turut digeledah dan menyita satu mobil merek Audi A6 dan sejumlah dokumen. (Liputan6.com, 8/10/2023)

Sungguh miris, enam menteri Jokowi tersandung korupsi selain SYL, yakni Johnny G. Plate mantan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo), Juliari Batubara mantan Menteri Sosial, Edhy Prabowo mantan Menteri Kelautan Perikanan, Imam Nahrawi mantan Menteri Pemuda dan Olahraga. Kerugian negara akibat korupsi yang  mereka lakukan mencapai miliaran bahkan triliunan.

Ironisnya, ketika mengungkap kasus korupsi di Kementerian Pertanian ramai pemberitaan terkait dugaan pemerasan oleh pimpinan KPK. Dalam hal ini Ketua Umum Gerakan Selamatkan Negeri (GSN), Diah Warih Anjari mengatakan ini jelas ada indikasi pelemahan fungsi-fungsi KPK, beserta para komisionernya, ungkapnya. Lebih lanjut, Diah mengimbau pemerintahan Jokowi-Ma'ruf Amin melalui aparat penegak hukum tidak berkompromi dengan praktik-praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), serta pencucian uang dan penyelewengan jabatan. Dapatkah rezim Jokowi merealisasikan seruan Ketua Umum GSN yang merupakan tuntutan publik? 

Mengguritanya kasus korupsi di semua lini, juga melibatkan enam menteri Jokowi disebabkan beberapa faktor, di antaranya:

Pertama, banyaknya menteri yang tersandung korupsi menunjukkan lemahnya pengawasan presiden terhadap bawahannya. Telah terbukti bahwa terungkapnya kasus bukan hasil pengawasan internal, tetapi dari laporan penegak hukum.

Kedua, lemahnya fungsi kontrol DPR. Seharusnya DPR yang memiliki fungsi pengawasan terhadap pemerintah malah mandul, bahkan bekerja sama membuat undang-undang untuk kepentingan bersama dan menguntungkan oligarki, bukan memihak rakyat. Selain itu secara struktur pemerintah dan DPR juga bekerja sama dalam pelemahan terhadap KPK lewat UU KPK 2019. Adanya Dewan Pengawas (Dewas) dan status pegawai KPK sebagai ASN, ini yang menjadi faktor melemahnya KPK. Otomatis KPK menjadi lembaga pemerintahan tidak lagi bebas bersikap dan bertindak. Bahkan disinyalir KPK sebagai alat penguasa untuk menjegal lawan politiknya. Jika sebelumnya KPK berani menangani kasus-kasus besar, sejak saat itu KPK mengalami penurunan. Pemberantasan megakorupsi seperti Jiwasraya, Asabri, dan kasus besar lainnya yang diduga melibatkan orang-orang istana tidak tertangani secara signifikan. 

Ketiga, seluruh menteri era Jokowi yang resmi menjadi tersangka maupun yang sudah diadili dalam kasus korupsi memiliki afiliasi (hubungan kerja sama) dengan partai politik, mengapa? Karena dalam sistem demokrasi parpol adalah tunggangan para politisi untuk meraih jabatan. Wajar, jika terpilih akan terjadi politisasi jabatan yang menyebabkan penyalahgunaan kewenangan yang berujung korupsi.

Keempat, sanksi hukum tidak menimbulkan efek jera. Hukum di Indonesia bisa diperjualbelikan, tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Apalagi dengan adanya remisi koruptor merupakan angin segar. Padahal, korupsi adalah kejahatan luar biasa yang merugikan negara, mengakibatkan utang negara bertambah, menyebabkan kemiskinan dan kebodohan. Namun, dalam sistem demokrasi penjahat berdasi sungguh diperlakukan istimewa. Sanksi pidana yang ringan dan ada remisi lagi, sehingga pada (6/9/2022) sebanyak 23 napi korupsi kelas kakap bebas bersyarat. Pada HUT ke-78 RI (17/8/2023) ada remisi bagi 16 napi korupsi langsung bebas. (Republika.co.id, 17/8/2023)


Demokrasi Menyuburkan Korupsi

Sejatinya akar masalah mengguritanya kasus korupsi dan gagalnya pemberantasan karena berada di sebuah lingkaran setan, mengapa? Karena negara ini mengambil asas sekularisme, yakni sistem yang menafikan agama, menghapus standar halal dan haram. Diganti dengan standar manfaat, yang membolehkan manusia menentukan aturannya sendiri. Tentu saja undang-undang yang dibuat menguntungkan bagi si pembuatnya. 

Hal inilah, yang meniscayakan mengguritanya kasus korupsi karena dalam sistem ini kedaulatan di tangan rakyat. Contohnya, ketika KPK mengusulkan pasal pembuktian terbalik dalam RUU Tipikor beberapa tahun lalu malah ditolak DPR. Karena jika disahkan artinya akan menjerat dan menangkap dirinya sendiri. Sungguh miris, tidak adanya UU pembuktian terbalik saja hasil temuan ICW dari 2010-2019 sedikitnya ada 586 anggota DPR/DPRD yang terjerat korupsi. (Republika.co.id, 15/10/2020)

Bukan rahasia umum bahwa biaya kontestan pemilu (pilpres, pilkada, pileg) mahal, hingga mencapai miliaran bahkan triliun untuk presiden. Di sinilah awal terjadinya kongkalikong antara para cukong pendana pencalonan dengan para kandidat. Selanjutnya akan meminta imbalan balik dari sebuah kekuasaan yang didukungnya. Pun begitu dengan para kandidat setelah berkuasa yang dipikirkan bagaimana caranya balik modal.

Selain itu, untuk menuju ke kursi singgasana dan untuk sebuah jabatan, syaratnya diperlukan kendaraan, yakni parpol. Tidak ada makan siang gratis, lumrah jika terjadi dil-dil politik. Jadi, wajar jika trias politik (eksekutif, yudikatif, dan legislatif) tidak berfungsi sebagaimana yang diharapkan, hanya mimpi. Sebab, mereka mempunyai kepentingan bersama terjadilah simbiosis mutualisme. Akibatnya korupsi tidak mungkin bisa diberantas, KPK pun sudah dilemahkan. Masihkah, sistem demokrasi yang jelas kerusakannya dipertahankan?


Islam Memberantas  Tuntas Korupsi

Berbeda dengan Islam yang dibangun berdasarkan akidah Islam. Akidah inilah yang mendorong ketakwaan individu baik rakyat maupun pejabat. Sehingga meyakini bahwa semua perbuatannya di akhirat akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah. Dengan demikian menjadikan seseorang takut melakukan kemungkaran termasuk korupsi karena azab Allah.

Allah berfirman, "Barang siapa berbuat curang, maka pada hari kiamat ia akan membawa hasil kecurangannya." (QS. Ali Imran [3]: 161)

Pemilu dalam Islam tidak menghabiskan dana besar karena dibatasi hanya tiga hari setelah kekosongan khalifah karena wafat, uzur syar'i, atau diberhentikan. Sehingga masa kampanye pun juga dibatasi hanya tiga hari. 

Adapun jabatan khalifah mulai berlaku saat dibaiat umat hingga mati tidak diganti, kecuali jika ada pelanggaran syarak. Jadi, pemilu cukup sekali hanya memilih khalifah. Sedangkan jabatan gubernur, bupati/walikota ditunjuk oleh khalifah, jadi hemat.

Meskipun kekuasaan berada di tangan khalifah, tetapi khalifah tidak mempunyai wewenang membuat hukum. Sebab, membuat hukum adalah hak Allah (QS. Al An'am: 57). Oleh sebab itu, seorang penguasa (khalifah) pada hakikatnya melaksanakan aturan-aturan Allah dalam mengatur urusan rakyatnya.

Oleh sebab itu, diperlukan adanya kontrol yang baik, yakni kewajiban beramar makruf nahi mungkar di tengah masyarakat. Dengan demikian kemaksiatan atau kemungkaran dapat dicegah.

Di samping itu, Islam mempunyai  mekanisme pemberantasan korupsi yang efektif, yaitu pembuktian terbalik. Sebagaimana yang dicontohkan Khalifah Umar bin Khaththab ra. melakukan pembuktian terbalik kepada para gubernur. Sebelum menjabat mereka melaporkan kekayaannya, begitu juga setelah selesai menjabat. Jika ada kekayaan atau hartanya bertambah tinggal dihitung saja tingkat kewajarannya, ini dapat dilihat dari gajinya berapa. Jika kelebihannya tidak bisa menunjukkan dapat dari mana secara legal, maka itu korupsi.

Adapun sanksi hukum bagi koruptor termasuk sanksi ta'zir, yang mana bentuk dan kadar sanksinya diserahkan kepada ijtihad khalifah atau qadhi. Bentuknya bisa berupa tasyhir (diekspos), pemiskinan (penyitaan harta), dijilid, ditahan lama, hingga hukuman mati. Semuanya tergantung dari besarnya kerugian yang ditimbulkan. Karena sanksinya tegas dan adil maka dapat menimbulkan efek jera (jawazir). Juga sanksi hukum yang diberikan dapat sebagai penebus dosa (jawabir), artinya di akhirat tidak dihisab. Hanya dengan penerapan syariat Islam secara kafah korupsi dapat diberantas dengan tuntas. Wallahualam bissawab.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Oligarki Rudapaksa Ibu Pertiwi, Kok Bisa?

Rela Anak Dilecehkan, Bukti Matinya Naluri Keibuan

Kapitalis Sekuler Reduksi Kesabaran, Nyawa jadi Taruhan