Saran Nyeleneh, Atasi Masalah Pangan?

Admin MKM ๐Ÿ’“

Mengimbau masyarakat agar mengurangi konsumsi beras dengan mengganti sumber karbohidrat lain, sebenarnya tidak masalah. Namun, akan menjadi masalah jika yang melontarkan saran tersebut muncul di kalangan pejabat negara. Seolah mengisyaratkan yang menyebabkan krisis beras adalah rakyat yang doyan makan nasi dan menggantungkan makanan pokoknya hanya pada beras. 


OPINI


Oleh Nining Sarimanah


MKM, Opini_Pernyataan Menteri Dalam negeri (Mendagri), Tito Karnavian menuai reaksi masyarakat di media sosial. Pasalnya, di tengah harga beras melambung tinggi, pejabat negara ini justru menyampaikan statement nyeleneh agar masyarakat mengganti beras dengan sumber karbohidrat lain. Tak dimungkiri, kemarau panjang turut memengaruhi produksi beras dalam negeri sehingga pasokan pangan berkurang. Kondisi ini, bisa menyebabkan harga beras meroket tajam. Namun, benarkah saran nyeleneh pejabat negara mampu mengurai masalah pangan? Apa penyebab utama harga beras kian tak terkendali? Lalu, bagaimana Islam mengatasi masalah pangan?

Berdasarkan catatan Badan Pangan Nasional, sejak Maret 2023, harga beras masih melampaui harga eceran tertinggi (HET) yang telah ditetapkan pemerintah. Terpantau harga beras kualitas premium di pedagang eceran, berada di angka Rp15.110 per kilogram. Harga ini naik sebesar 1,61 persen dari pekan lalu, Rabu, 27 September 2023.

Mengatasi harga beras yang terus merangkak naik, Mendagri, Tirto Karnavian menyarankan agar masyarakat mengganti pangan utama, yaitu beras dengan makanan pokok nonberas, seperti ubi, jagung, talas, sorgum, dan lainnya. Tujuannya, selain menjaga stok beras dalam negeri, juga dalam rangka upaya diversifikasi pangan. Sehingga, masyarakat tidak tergantung pada beras sebagai makanan pokok. (tempo.co, 6/10/2023)


Saran Tak Menyentuh Akar Masalah

Imbauan untuk mengatasi krisis pangan yang menuai kontroversi sebenarnya bukanlah kali pertama disampaikan oleh Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian. Sebelumnya, sejumlah pejabat pun memberikan saran dan imbauan yang nyeleneh dalam persoalan ini.

Pertama, imbauan tidak makan nasi setiap hari Jumat yang disampaikan oleh Doris Alexander Rihi, Bupati Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT). Ia mengimbau masyarakat agar mengganti nasi pada hari Jumat dengan makanan lokal seperti ubi, pisang, ikan, jagung bose, jagung titi, sayur-sayuran lokal dan aneka olahan pangan lokal lainnya. Aturan tersebut dikeluarkan di tengah kondisi harga beras terus melonjak naik di Kabupaten Flores Timur dan tertuang melalui Surat Edaran Nomor: Distan KP.521/610/lX/2023 tentang Gerakan Nona Sari Setia (No Nasi Satu Hari Sehat Bahagia dan Aman) per tanggal 21 September 2023.

Kedua, untuk mengatasi krisis pangan pada 2022 lalu, Presiden Jokowi meminta warga untuk menanam cabai sendiri di pekarangan rumah yang kosong sehingga kebutuhan masyarakat bisa tercukupi di tengah harga cabai yang naik secara drastis.

Ketiga, Wapres menyarankan mengganti nasi dengan dua pisang. Karena, 1 porsi nasi seberat 100 gram setara dengan dua buah pisang. Artinya, dua pisang bisa mengenyangkan dan kenyang itu tidak harus dengan makan nasi. Hal itu, disampaikan dalam acara Panen Pisang Cavendish di Desa Pulung, Kabupaten Ponorogo, Jatim.

Keempat, saat Puan Maharani masih menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan pada 2019 silam, Ia meminta rakyat miskin untuk diet dan tidak makan terlalu banyak. Pernyataan tersebut disampaikan saat Gubernur Bali, Made Mangku Pastika, meminta Puan menambah alokasi raskin di Bali. Kelima, Yasin Limpo, Mentan, saat kampanye Gerakan Diversifikasi Pangan di Jakarta pada 2020 lalu, Ia menyarankan agar masyarakat makan sagu untuk mengatasi krisis pangan. (tempo.co, 28/9/2023)

Mengimbau masyarakat agar mengurangi konsumsi beras dengan mengganti sumber karbohidrat lain, sebenarnya tidak masalah. Namun, akan menjadi masalah jika yang melontarkan saran tersebut muncul di kalangan pejabat negara. Seolah mengisyaratkan yang menyebabkan krisis beras adalah rakyat yang doyan makan nasi dan menggantungkan makanan pokoknya hanya pada beras. 

Saran nyeleneh yang dilontarkan mulai dari pejabat negara hingga Presiden, menampakkan ketidakmampuan mereka dalam mengatasi krisis pangan dan solusi yang tidak menyentuh akar masalah. Kemarau panjang akibat El Nino, bukan satu-satunya penyebab stok beras dalam negeri menipis. Ada persoalan mendasar yang hingga kini belum mampu dituntaskan oleh pemerintah. Alih-alih menyelesaikan masalah, pemerintah kerap mengambil solusi praktis untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri dengan jalan impor. 

Walhasil, solusi ini justru menimbulkan persoalan baru selain mematikan mata pencaharian petani karena beras lokal tidak mampu bersaing dengan beras impor, juga adanya oknum yang melakukan kecurangan. Karena itu, ada persoalan mendasar yang menjadi penyebab harga beras makin mahal, yaitu: 

Pertama, persoalan iklim. Kenaikan harga beras akibat permasalahan iklim, sebenarnya tidak berdampak signifikan. Karena, jika di suatu daerah mengalami penurunan produksi beras, bisa diatasi dengan dipasok di daerah lain. Meskipun demikian, pemerintah harus tetap waspada terhadap perubahan iklim yang ekstrem yang menyebabkan kekeringan lahan pertanian.

Kedua, persoalan hulu yang meliputi luas pertanian yang kian menurun, persoalan benih dan subsidi pupuk, hingga keterbatasan sarana produksi pertanian. Berdasarkan data BPS, luas lahan pertanian di Indonesia mengalami penurunan sebesar 200.000 hektar per tahunnya. Penyebabnya adalah alih fungsi lahan menjadi kawasan industri, jalan tol, perumahan, dan infrastruktur lainnya. Alhasil, produksi beras pun menurun.

Ketiga, persoalan hilir meliputi sarana produksi pertanian yang terbatas, pupuk, BBM, serta sewa lahan mengalami kenaikan. Demikian juga, matinya penggilingan padi kecil, turunnya produksi beras karena berkurangnya pasokan gabah dari petani menjadi penyebab pasokan beras mengalami penyusutan drastis.

Keempat, menurut Budi Waseso, Direktur Utama Perum Bulog, disinyalir adanya mafia pangan yang mengoplos sebagian dari beras impor 350 ton. Sementara, stok beras lainnya dibungkus ulang dengan merek yang berbeda, kemudian dijual dengan harga tinggi. Tak hanya itu, adanya pengiriman beras Bulog secara ilegal ke Atambua, Kabupaten Belu, NTT, yang akan dijual dengan harga sangat mahal, bahkan beras tersebut akan diselundupkan ke Timor Leste. Adanya mafia pangan yang menyebabkan harga beras makin melonjak tinggi. Di sisi lain, pemerintah tidak bisa bertindak tegas untuk memberantas mafia beras, menunjukkan bahwa perangkat hukum di negara kita mandul.

Dari persoalan di atas, jelas bahwa pemerintah telah abai terhadap kehidupan rakyat khususnya terkait pangan. Hal ini, tak terlepas dari penerapan sistem kapitalisme liberal yang menjadikan negara ini, harus tunduk pada liberalisasi pasar dan perdagangan bebas. Kondisi ini, membuat para petani tidak berdaya jika berhadapan dengan korporasi yang menguasai pertanian dari hulu sampai hilir. Tak hanya itu, gempuran impor pangan merupakan dampak dari perjanjian internasional, sehingga kebijakan impor pun tidak bisa dikendalikan.


Atasi Persoalan Pangan dengan Islam

Sederet pernyataan pejabat negara tersebut, menunjukkan bahwa tata kelola pangan di negeri ini bermasalah. Berbeda dengan sistem Islam. Di mana, khilafah memiliki sejumlah mekanisme khas untuk mewujudkan kemandirian pangan tanpa bergantung kepada negara lain.

Pertama, negara akan mengoptimalkan pangan di dalam negeri dengan melakukan ekstensifikasi dan intensifikasi pertanian. Ekstensifikasi dilakukan dengan cara menghidupkan tanah mati sehingga lahan pertanian pun bertambah luas. Adapun, intensifikasi dengan cara meningkatkan kualitas pupuk, bibit, dan sarana produksi pertanian dengan memanfaatkan teknologi terkini.

Kedua, negara akan mewujudkan mekanisme pasar yang sehat dengan melarang penimbunan, praktik riba, monopoli, hingga penipuan. Bagi yang melanggar akan dikenakan sanksi yang tegas. Pengendalian harga, tidak dilakukan oleh negara dengan mengeluarkan kebijakan pematokan harga (HET), tetapi melalui mekanisme pasar dengan mengendalikan supply dan demand.

Ketiga, prediksi cuaca dan mitigasi kerawanan pangan. Negara akan melakukan kajian secara mendalam dengan para pakar di bidangnya, tentang perubahan cuaca dan dampaknya. Hal ini, tentu didukung pula dengan teknologi mutakhir. Negara akan bersiap siaga dalam menghadapi iklim yang ekstrem karena fenomena El Nino bukan pertama terjadi. Sehingga, negara dapat mengantisipasi lebih dini untuk mengurangi dampak kemarau panjang yang memengaruhi produksi dan stok pangan di dalam negeri.

Keempat, manajemen logistik. Saat panen raya, tentu produksi beras melimpah. Negara akan memasok cadangan lebih untuk mengantisipasi masa paceklik dan mendistribusikannya secara selektif jika kesediaan pangan menipis.

Tidak hanya itu, Islam memiliki tata kelola pangan yang luar biasa yang sangat berbeda dengan sistem kapitalisme liberal. Tersebab, Islam merupakan agama sekaligus ideologi yang sempurna. Aturan yang terpancar dari akidah mampu memberikan solusi sistemis mulai dari  aturan kepemilikan lahan, larangan merusak alam yang berdampak pada perubahan iklim yang ekstrem, pengaturan SDA, hingga mitigasi krisis pangan dan bencana kekeringan.

Seperti, kebijakan Khalifah Umar bin Khaththab dalam mengairi area perkebunan. Beliau, menerapkan inovasi irigasi. Swasembada pangan dilakukan dengan mengeringkan daerah rawa dan menyulap kawasan delta sungai Eufrat dan Tigris untuk dijadikan lahan pertanian. Inilah kebijakan nyata dan aplikatif dalam khilafah untuk mewujudkan swasembada pangan.

Tanggung jawab tersebut merupakan bagian dari pengurusan urusan umat yang harus dilakukan oleh pemimpin, karena Allah Swt. akan meminta pertanggungjawabannya. Sebagaimana, hadis riwayat Bukhari dan Muslim yang artinya, "Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Oligarki Rudapaksa Ibu Pertiwi, Kok Bisa?

Rela Anak Dilecehkan, Bukti Matinya Naluri Keibuan

Kapitalis Sekuler Reduksi Kesabaran, Nyawa jadi Taruhan