SAWANG SINAWANG
🖤Admin MKM
Hidup itu sawang sinawang, apa yang kita lihat pada orang lain hanya permukaan saja, yang terlihat bahagia belum tentu benar-benar bahagia. Bahkan kita tidak menyadari bahwa hidup yang kita keluhkan justru didambakan oleh orang lain.
CERPEN
Oleh Sophia
Pegiat Literasi
MKM_CERPEN, Bu Yanti mempercepat langkahnya, tujuannya adalah lapangan di ujung kampung tempat biasa anak-anak bermain saat sore seperti ini. Ia harus segera menjemput Dimas, cucu sulungnya yang bisa dipastikan sedang berada di sana.
Padahal bu Yanti hanya meninggalkan Dimas tidak lebih dari 5 menit, tapi cucunya memang sangat cepat berlari bisa kabur dari pengawasannya secepat kilat.
Diusianya yang semakin senja, bu Yanti harus mengemban tugas yang cukup berat, yakni menjaga sang cucu disaat orang tuanya sibuk bekerja. Kehidupan mereka di kampung tergolong cukup, itu karena semua anak menantu bu Yanti bekerja, untungnya bu Yanti baru memiliki satu cucu, tapi tiga bulan lagi akan ada cucu berikutnya mengingat anaknya yang kedua sedang hamil yang harus dia jaga.
Bagi sebagian orang, menitipkan anak kepada orang tua lebih baik daripada mempekerjakan pengasuh. Karena orang tua akan lebih menyayangi cucu mereka daripada orang lain. Bu Yanti sendiri tidak dapat menolak permintaan anaknya saat ia dititipi Dimas semenjak cuti melahirkan sang anak habis. Tubuh tuanya ia paksa menggendong dan berlarian mengejar Dimas yang sangat aktif di usia balitanya.
"Bu Yanti, mau kemana?" teriak sebuah suara dari rumah bercat putih yang baru bu Yanti lewati. Terlihat si pemilik suara, Bu Imah yang ternyata sedang menyapu halaman rumahnya yang banyak ditumbuhi pohon buah.
"Oalah Bu Imah ngagetin aja, tak kira penunggu pohon jambu," sahut Bu Yanti menghentikan langkah sembari mengatur napasnya yang lelah.
Bu Imah menghampiri Bu Yanti, "nyari Dimas nih pasti."
"Ya iya, apalagi...saya tinggal ke dalam buat matikan kompor, lha kok sudah ilang dari teras." Bu Yanti menjelaskan tanpa diminta.
"Ya namanya anak-anak, Bu. Kita meleng sedikit langsung ambil kesempatan buat kabur sama teman-temannya," bu Imah menimpali.
"Makin besar Dimas makin ga mau anteng di rumah, maunya main kemana-mana. Saya kan makin tua, makin cepat capek, apalagi nanti Nia sebentar lagi mau lahiran juga, ga sanggup saya kalo dititipi bayi lagi." Bu Yanti mengeluarkan segala resah hatinya, niatnya semula akan mencari Dimas terlupakan sejenak.
Bu Imah yang mendengarnya hanya dapat manggut-manggut, turut prihatin dengan apa yang terjadi pada bu Yanti.
"Kadang saya ya iri sama Bu Imah, cucunya lebih banyak dari saya, tapi ga ada satu pun yang di titipi ke neneknya. Bu Imah ga harus capek kaya saya ini, bisa menikmati masa tua dengan nyaman, kita kan sudah capek ngurus anak sendiri saat muda dulu, sekarang kok ya kebagian ngurus cucu juga." Kembali bu Yanti berkeluh kesah.
Selang 10 menit kemudian bu Yanti teringat akan tujuannya, ia segera pamit pada bu Imah dan kembali melangkahkan kakinya menuju lapangan.
Sementara itu bu Imah sedikit tercenung, mengingat kalimat demi kalimat yang terucap dari bu Yanti. Ia baru tau kalau kehidupannya yang sepi justru diinginkan oleh orang lain.
Iya...sepi, hanya hidup berdua dengan suami. Sementara ketiga anaknya telah berkeluarga dan tinggal mandiri di kota lain. Mereka hanya pulang ke kampung ketika libur panjang saja, atau kadang kalau bu Imah sudah sangat rindu tentu bu Imah yang menyambangi mereka semampunya.
Selama ini bu Imah justru iri terhadap bu Yanti, semua anak bu Yanti tinggal berdekatan dengannya, bahkan ia bisa bermain dengan cucunya sepanjang waktu, hal yang jarang sekali bu Imah rasakan.
Sementara itu di lapangan kampung yang riuh oleh suara anak-anak. Pak Dudi asyik memperhatikan tingkah polah para bocah, yang remaja tanggung sibuk bermain bola, anak-anak perempuan bermain karet sambil dijahili oleh anak laki-laki seusia mereka. Pak Dudi menerawang akan masa kecilnya dahulu, sama menyenangkannya seperti bocah-bocah itu, walau di masa kini sebagian besar sudah mulai terjangkit game di ponsel, tapi pesona bermain bersama teman-teman tetap menarik perhatian.
Dari kejauhan berjalan seorang pria seusia pak Dudi, di bahunya terpanggul karung berisi sayur mayur hasil panen di kebun.
"Wah Pak Ruslan habis panen sepertinya," sapa pak Dudi ketika persensi pak Ruslan hanya beberapa langkah darinya. Pak Ruslan yang fokus pada jalanan batu didepannya sedikit terkejut.
"Eh iya, Pak Dudi. Alhamdulillah ini ada timun sama kacang panjang," tutur Pak Ruslan sembari menurunkan karung yang dipanggulnya.
Terlihat cukup banyak kacang panjang dan mentimun di dalamnya.
"Alhmdulillah, bisa dibawa ke pasar besok ya, Pak."
"Iya, Pak Dudi, lumayan bisa buat beli beras," ujar Pak Ruslan disertai senyuman. "Monggo barangkali Pak Dudi mau, biar nanti dimasak sama istri sampeyan," Pak Ruslan menawarkan.
"Saya ga bawa uang Pak Ruslan, biar nanti istri saya ke rumah buat pilih sendiri sayurannya," tolak pak Dudi halus.
"Gak usah beli, Pak, ini gratis saja."
"Ya jangan, Pak, biar nanti istri saya ke rumah sampeyan," kembali pak Dudi menolak dengan halus.
"Yowes...kalau begitu saya duluan, Pak, ini sayurannya harus dibersihkan dan dibungkusi," pamit pak Ruslan.
"Monggo Pak Ruslan."
Pak Ruslan melanjutkan perjalanannya, diiringi tatapan mata Pak Dudi.
'Pak Ruslan selalu terlihat sehat, mungkin karena banyak aktivitas yang dia lakukan di kebun, badannya kekar dan kuat. Selalu tersenyum setiap bertemu, sepertinya hidupnya sangat menyenangkan. Tidak seperti hidupku yang membosankan dan kesepian,' batin pak Dudi.
Sementara dalam benak pak Ruslan, 'Bahagianya Pak Dudi, masa tuanya tak direpotkan lagi dengan biaya hidup. Dana pensiunan menjamin semua kebutuhannya, tak perlulah capek-capek ke kebun menanam ini itu untuk menyambung hidup.'
"Dimaaas...pulang sudah sore," teriak bu Yanti yang baru saja sampai ditepi lapangan.
"Emoooh...Eyang, aku masih mau main," Dimas membalas teriakan neneknya dari tengah lapangan, lalu kembali berlari mengejar temannya.
Hidup itu sawang sinawang, apa yang kita lihat pada orang lain hanya permukaan saja, yang terlihat bahagia belum tentu benar-benar bahagia. Bahkan kita tidak menyadari bahwa hidup yang kita keluhkan justru didambakan oleh orang lain.
Selesai
Komentar
Posting Komentar