Uji Nyali
🖤Admin MKM
CERPEN
Oleh Arda Sya'roni
Penulis MKM
MKM_CERPEN,Untuk pertama kalinya aku sebagai admin sebuah perusahaan farmasi PMA diikutsertakan dalam meeting nasional yang dilaksanakan di Jakarta. Setelah empat tahun lamanya aku berstatus sebagai karyawan kontrak. Alhamdulillah tahun ini aku telah diangkat menjadi karyawan tetap. Begitulah sebuah takdir berjalan. Aku yang semula diremehkan oleh bos bahwa mustahil bagiku untuk bisa menjadi karyawan tetap.
“Itu adalah mimpi. Jangan pernah berharap kamu untuk bisa menjadi karyawan tetap. Jangan mimpi kamu!” kata bos saat itu.
Aku Nadira Prameswari. Aku diterima kerja di Sandoz Indonesia divisi Antibiotics. Aku diterima pada awalnya hanya untuk menggantikan staff sebelumnya yang cuti melahirkan. Saat diterima, aku telah memasuki semester terakhir menjelang thesis di sebuah universitas swasta di Surabaya. Alhamdulillah, aku bisa diterima kerja di sana karena konon untuk dapat bekerja di sana tidaklah mudah. Alhamdulillah pula di saat aku membutuhkan biaya yang tak sedikit untuk menyelesaikan tugas thesis, aku telah bekerja sehingga pemenuhan segala keperluan thesis dapat aku penuhi. Ya, begitulah takdir Allah bekerja, datang tepat waktu ketika dibutuhkan.
Bagai mimpi di siang bolong, aku bisa merasakan naik pesawat meski hanya kelas ekonomi. Memang benar bahwa afirmasi positif itu akan merasuk ke dalam jiwa, cepat atau lambat pasti akan terwujud. Aku yang saat itu tinggal di kawasan dekat bandara, tiap hari tampak jelas pesawat mendarat. Kerap terbesit rasa ingin berkelana menggunakan pesawat terbang. Bagaimanakah rasanya terbang di atas awan, menatap langsung barisan awan yang menggumpal bak arum manis itu.
“Ya Allah, suatu saat nanti aku akan naik pesawat itu entah ke Jakarta atau bahkan ke Makkah”.
Begitu afirmasi yang kerap kuucap saat melihat pesawat melintas mendarat menuju bandara. Sungguh tak dinyana ucapan itu akhirnya terwujud .
Seminggu meeting team dilakukan. Ada berbagai agenda, termasuk permainan untuk meningkatkan teamwork. Aku yang saat itu sedang hamil 6 bulan terasa begitu melelahkan. Agenda jalan-jalan ke Taman Impian Jaya Ancol pun terpaksa hanya beberapa wahana saja yang bisa kurasakan, seperti teater, istana boneka, dan rumah miring. Sayang sebenarnya, tapi alhamdulilah aku pernah menginjakkan kaki di Ancol. Alhamdulillah semua agenda dapat kujalani dengan lancar meski sesekali perlu rehat karena kelelahan.
Tiba saatnya bagiku untuk check out. Team Surabaya kebetulan mendapat tiket pesawat sore hari sehingga tiba di bandara saat Maghrib. Sesampainya di Bandara Juanda untuk selanjutnya aku putuskan naik taksi bandara agar tak perlu tawar menawar dan pastinya karena bisa claim by office. Saat itu sekitar tahun 2007-an biaya taksi bandara dari Bandara Juanda ke rumah di daerah Candi Sidoarjo sudah tujuh puluh ribu sekian. Setelah transaksi beres naiklah aku ke taksinya. Di perjalanan everything is fine, no traffic jam, lancar jaya sampai memasuki jalan masuk alternatif ke perumahan.
Nah di sinilah cerita unik dimulai. Bertanyalah si bapak supir taksi yang merasa kalau jalan di lingkar timur yang kami lewati berasa tak berujung. Lama nian sampai di lokasi.
“Masih lama, ya, Bu?” tanyanya.
“Oo nggak, kok, Pak, itu gerbang depan belok kiri,” jawabku.
“Tapi itu gerbang depan jalan ke makam, Bu,” jawabnya.
“Iya memang makam pak, sudah masuk saja gak papa kok,” jawabku lagi.
Dan taksi pun memasuki pintu gerbang menuju makam terbesar di Sidoarjo itu. Jarak jalan dari pintu gerbang ke makamnya lumayan jauh juga sekitar 700 meter atau mungkin malah 1 kilometer. Di sepanjang jalan ini pun pak supir kembali bertanya dengan sedikit wajah keraguan.
“Bu, mana ya perumahannya, kok, gak kelihatan?”
Memang di sepanjang jalan ini tidak tampak rumah, hanya sawah dan tambak di sisi kanan kirinya. Rumah penduduk hanya ada di awal pintu gerbang tadi.
Kemudian tibalah kami di makam. Makam tersebut tidak ditutupi tembok layaknya makam-makam di pertengahan kota. Makam yang terbentang sepanjang sekitar 500 meter itu didahului dengan makam muslim sepanjang kira-kira 300 meter kemudian tanah kosong dengan banyak pepohonan liar dan diakhiri dengan makam nasrani itu berada di sisi kiri jalan. Sedang di sisi kanan terhampar sawah nan hijau dan tambak. Tampak gunung nan hijau di ujung sawah tersebut. Lampu penerangan di sepanjang jalan tidak terlalu banyak sehingga menambah suasana uji nyali saat melewatinya di malam hari, seperti saat ini.
Perasaan cemas pak supir tergurat jelas di wajahnya, sehingga untuk ke sekian kalinya si bapak bertanya lagi.
“Bu, ini koq makam ya, perumahannya mana?".
“Terus aja, Pak!” jawabku singkat dan datar, tanpa ekspresi. Maklum aku yang sedang hamil 6 bulan dan lelah setelah Nasional Meeting selama sepekan.
“Bu, kok, dari tadi makam aja ya?” tanyanya untuk ke sekian kali.
Dalam hati aku pun tertawa geli di antara rasa penat dan letih yang bergelayut di tubuhku, mungkin aku disangka mbak kunti, pikirku. Wajarlah jika pak sopir merasa agak khawatir karena selain medannya yang cukup uji nyali, aku pun yang memang hamil besar dan merasa super capek sehingga selalu menjawab singkat dan ekspresi datar. Karena rasa kasihan akan kekhawatiran yang meliputi hati pak sopir, maka kujawab pula, “Setelah pohon randu belok kanan pak, di situ letak perumahannya."
Dan akhirnya sampailah kami di rumah dengan selamat. Entah si bapaknya tadi berani balik lewat jalan yang sama atau tidak.
Sidoarjo, 24 Oktober 2023
Komentar
Posting Komentar