Rutinitas Kenaikan Harga Pangan Jelang Akhir Tahun, Sampai Kapan?

 

                           ðŸ–¤Admin MKM


Fenomena meroketnya harga pangan kerap terjadi setiap akhir tahun maupun menjelang Ramadan dan hari raya. Seakan sudah menjadi hal biasa yang harus dimaklumi. Harga pangan terus merangkak dari waktu ke waktu dan nyaris merata di setiap wilayah. Bukan hanya pembeli yang mengeluhkan kenaikan harga pangan tetapi para pedagang pun turut merasakan dampaknya. 


OPINI


Oleh Afriyanti 

Aktivis Muslimah 


MKM_OPINI, Fenomena meroketnya harga pangan kerap terjadi setiap akhir tahun maupun menjelang Ramadan dan hari raya. Seakan sudah menjadi hal biasa yang harus dimaklumi. Harga pangan terus merangkak dari waktu ke waktu dan nyaris merata di setiap wilayah. Bukan hanya pembeli yang mengeluhkan kenaikan harga pangan tetapi para pedagang pun turut merasakan dampaknya. 

Hal ini dikarenakan omset mereka anjlok akibat daya beli masyarakat menurun. Harga pangan tinggi sementara pendapatan tetap. Kalau pun ada peningkatan pendapatan bagi sebagian masyarakat, namun kenaikannya tidak seimbang dengan kenaikan harga bahan pangan yang melambung tinggi.

Dilansir dari Kompas.com (4/02/2023), pada level nasional masih terlihat adanya peningkatan pada beberapa komoditas harga pangan. Berdasarkan data Badan Pangan Nasional (Bapanas), sejak minggu lalu, setidaknya ada kenaikan sebesar Rp 50 per kilogram (kg) menjadi Rp 15.010 per kg untuk harga beras premium. Sedangkan untuk harga beras medium kenaikannya mencapai Rp 180 menjadi Rp 13.320 per kg. Selanjutnya, harga bawang merah merangkak sebesar Rp 820 menjadi Rp 30.290 per kg. Kemudian ada bawang putih bonggol juga naik sebesar Rp 640 menjadi Rp 36.270 per kg.

Sementara itu, harga daging ayam ras naik sebesar Rp 1.550 menjadi Rp 35.740 per kg. Begitu pun dengan telur ayam ras, naik Rp 540 menjadi Rp 28.670 per kg. Bahan pokok lainnya, yakni gula, harganya naik Rp 130 menjadi Rp 17.260 per kg sedangkan harga minyak goreng kemasan naik Rp 800 menjadi Rp 18.110 per liter. Harga tepung terigu dan minyak goreng curah pun tak ketinggalan naik, yakni Rp 490 menjadi Rp 11.350 per kg untuk tepung terigu, dan naik Rp 200 menjadi Rp 14.870 per liter untuk minyak goreng curah.

Besarnya kenaikan permintaan dari masyarakat jelang akhir tahun dibandingkan hari biasanya menjadi pemicu kenaikan harga. Hal ini diperparah dengan adanya dugaan permainan tengkulak yang menimbun barang. Dugaan ini logis mengingat praktik mafia di negeri ini sangat luar biasa. Mereka leluasa menimbun bahan pangan lalu menahan distribusi. Kemudian menaikkan harga pada waktu tertentu.

Kondisi ini merupakan buah diterapkannya sistem ekonomi kapitalis. Dalam sistem kapitalis penguasa hanya bertindak sebagai regulator dan fasilitator dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Sementara pelaksanaannya diserahkan kepada swasta atau pengusaha yang jelas-jelas pasti akan mengutamakan keuntungan pribadi, bukan untuk kesejahteraan masyarakat. 

Sebenarnya pemerintah telah melakukan beberapa langkah antisipasi menangani kenaikan harga antara lain dengan pasar murah, impor, dan penetapan harga tertinggi namun tidak mampu menahan laju kenaikan bahan pangan. Hal tersebut wajar karena upaya yang dilakukan pemerintah tidak menyentuh akar masalah sesungguhnya dan cenderung bersifat pragmatis. Alih-alih menyelesaikan masalah justru dalam jangka waktu panjang akan menimbulkan masalah baru. 

Mengutip dari beberapa sumber media, kenaikan harga pangan secara umum disebabkan oleh faktor cuaca. Menurunnya produktivitas pertanian karena banyak petani yang beralih pekerjaan, alih fungsi lahan pertanian yang jor-joran, keterbatasan sarana dan prasarana pertanian seperti benih dan pupuk yang mahal serta teknologi pasca panen yang kurang. 

Selain itu kebijakan impor yang longgar menyebabkan petani tidak bersemangat lagi untuk menanam sehingga dalam jangka panjang kebutuhan pangan akan bergantung pada impor semata, sehingga harga dipermainkan oleh produsen dan para importir dengan sangat mudah.

Demikianlah faktor-faktor yang memengaruhi kenaikan harga pangan. Namun lebih dari itu, sistem kapitalis yang diterapkan saat inilah yang menjadi penyebab utama munculnya faktor-faktor tersebut dan menjadi pemicu kenaikan harga pangan.  

Sistem ini menjadikan negara berlepas tangan dalam mengurusi umat. Negara hanya sebagai regulator dan fasilitator sebagaimana telah dijelaskan di atas. Seluruh pengurusan umat diserahkan kepada swasta di mana swasta hanya  berorientasi pada keuntungan materi semata. Regulasi hanya mengapresiasi dan menguntungkan pengusaha. Alih-alih mengatur agar rakyat mendapatkan haknya dan mencegah monopoli, pemerintah malah kongkalikong dengan korporasi.

Selain itu sebagai konsekuensi dialihkannya pengurusan umat pada swasta, akan melahirkan para mafia pangan. Merekalah yang menguasai  dari hulu hingga hilir persoalan pangan. Mulai dari penguasaan lahan sampai penjualan pangan. Alhasil harga kebutuhan semakin melangit sementara lapangan kerja pun semakin sulit. Kesejahteraan yang diharapkan hanya tinggal mimpi. 

Berbeda dengan sistem Islam. Di dalam sistem Islam negara dan penguasa akan menjalankan fungsinya sebagai penanggung jawab (raa'in) dan pelindung rakyat (junnah). Kedua fungsi tersebut akan memastikan negara dan penguasa bertanggung jawab menjamin seluruh kebutuhan pangan baik dari sisi kuantitas maupun kualitas. Negara tidak akan membiarkan korporasi mana pun menguasai penyediaan pangan rakyat, karena hal tersebut berpotensi besar menzalimi rakyat. 

Sistem Islam menjadikan negara mengambil peran penting dalam menjaga stabilitas harga, misalnya dengan menjamin produksi pertanian dalam negeri berjalan optimal. Baik dengan intensifikasi maupun ekstensifikasi pertanian. Aktivitas impor hanya bersifat insidental dengan memperhatikan syarat yang ditentukan syariat.

Selain itu sanksi hukum akan diterapkan secara tegas dan adil bagi siapa saja yang melakukan kecurangan seperti penimbunan. Dalam sistem Islam ada Qadhi Hisbah  yang bertugas mengawasi aktivitas jual-beli di pasar agar sesuai dengan syariat. Dengan begitu, atas izin Allah persoalan rutinitas harga pangan bisa diselesaikan. Jika terus-menerus berharap pada sistem sekuler kapitalis, maka sampai kapan harga pangan dipermainkan?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Oligarki Rudapaksa Ibu Pertiwi, Kok Bisa?

Retak yang Masih Mengikat

Akhir Jeda Sebuah Keteguhan