Nekat Jual Ginjal, Biaya Pemilu Mahal?

❤ Admin MKM 

Bukan rahasia umum, mahalnya biaya pemilu yang dikeluarkan oleh seorang calon presiden bisa mencapai triliunan. Biaya untuk calon bupati atau wali kota sekitar Rp30 miliar. Sedangkan untuk gubernur bisa mencapai Rp100 miliar (data dari kajian Litbang Kementerian Dalam Negeri). Adapun menurut Prajna Research Indonesia, modal menjadi caleg di DPR sebesar Rp1 miliar-Rp2 miliar. Caleg DPRD I Rp500 juta-Rp1 miliar. Caleg DPRD II Rp250 juta-Rp300 juta.  

OPINI


Oleh Nur Fitriyah Asri

Penulis Ideologis Bela Islam Akademi Menulis Kreatif


MKM, Opini_Aksi nekat menjual ginjal demi biaya kampanye. Hal ini dilakukan oleh Erfin Dewi Sudanto (47), Caleg DPRD Bondowoso, Jawa Timur. Erfin, warga Desa Bataan, Tenggarang, Bondowoso, merupakan caleg dari Partai Amanat Nasional (PAN). Dia mengaku akan menjual ginjalnya dengan membuat pernyataan yang dibubuhi materai dan tandatangan. Lalu, menawarkan ginjalnya dengan cara door to door kepada warga dan menggunakan aplikasi pesan singkat.

Pasalnya, uang yang dimiliki Erfin tidak cukup untuk biaya kampanye yang notabene sebesar Rp300 juta. Biaya ini digunakan untuk mencetak Alat Peraga Kampanye (APK) hingga penggalangan suara. Pernyataan tersebut dibenarkan oleh kalangan legislatif dan mantan caleg di Bondowoso. Samsul Tahar, Anggota DPRD 2019-2024 mengatakan angka tersebut hanya kisaran dan tergantung dari strategi masing-masing. Bahkan caleg asal Partai Hanura mengaku habis Rp1,5 miliar, itu pun tidak terpilih. (detik Jatim, 16/1/2024)

Tentu saja aksi nekat Erfin menjual ginjalnya mendapat sorotan dari banyak pihak. Di antaranya Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Kabupaten Bondowoso, Nur Wahyudi menjelaskan bahwa tidak bisa sembarangan melakukan transaksi jual beli ginjal, harus melalui rumah sakit yang legal. Tahapannya pun rumit, syaratnya ketat, dan butuh waktu yang tidak sebentar. Pasalnya, harus ada kecocokan dengan penerima ginjal dan ini membutuhkan pemeriksaan yang teliti. Selain itu, ada mediasi dan kesepakatan di antara pendonor dan penerima. Sebab, hukum yang berlaku di Indonesia  dilarang memperjualbelikan ginjal. (Kompas.com, 17/1/2024)

Benarkah biaya pemilu dalam sistem demokrasi mahal? Mengapa bisa mahal dan apa dampaknya? Bagaimana pemilu legislatif menurut pandangan Islam? 

Bukan rahasia umum, mahalnya biaya pemilu yang dikeluarkan oleh seorang calon presiden bisa mencapai triliunan. Biaya untuk calon bupati atau wali kota sekitar Rp30 miliar. Sedangkan untuk gubernur bisa mencapai Rp100 miliar (data dari kajian Litbang Kementerian Dalam Negeri). Adapun menurut Prajna Research Indonesia, modal menjadi caleg di DPR sebesar Rp1 miliar-Rp2 miliar. Caleg DPRD I Rp500 juta-Rp1 miliar. Caleg DPRD II Rp250 juta-Rp300 juta.  


Mengapa biaya politik begitu mahal? Pertama, karena untuk berkompetisi saat pemilu dibutuhkan "kendaraan", yakni partai politik (parpol). Untuk itu para calon harus membayar mahar politik kepada parpol. Yakni, sejumlah uang yang diberikan kepada parpol di tahap pencalonan untuk mendapatkan stempel dan restu dari parpol.

Mahar tersebut digunakan untuk menggerakkan mesin politik, seperti biaya logistik, saksi pemilu, tim sukses, kampanye, dan kebutuhan lainnya.

Kedua, karena pemenangan ditentukan oleh suara terbanyak, maka wajar jika suara rakyat di akar rumput diperebutkan. Selanjutnya berbagai cara dilakukan, seperti iming-iming materi atau uang. Inilah yang dikenal dengan money politic (politik uang).

Ketiga, budaya nyabis yakni salam tempel untuk tokoh atau kiai, berharap mendapatkan dukungan beserta massanya sekaligus.

Keempat, ada fenomena beli suara (vote buy), biasanya terjadi menjelang coblosan (pemilu), dikenal pula dengan serangan fajar. Di mana satu lidi (suara) dibeli dengan uang senilai Rp100.000,- bahkan lebih, tergantung masing-masing daerahnya.

Itulah yang menyebabkan biaya pemilu mahal. Wajar, jika kontestan pemilu diikuti oleh sebagian besar orang kaya saja, yang minim atau bahkan tidak memiliki kapabilitas atau kemampuan. Sedangkan bagi kontestan yang modalnya kurang, mereka akan mencari sponsor atau menggandeng pengusaha dengan kompensasi balas jasa ketika berhasil mendapatkan jabatan. 

Alhasil, kekuatan modallah atau pengusaha yang mendominasi pemenangan. Terbukti 63 persen anggota DPR (2019-2024) adalah para pengusaha (Tempo.com, 2/10/2019). Maka lahirlah oligarki, yakni kekuasaan atau kebijakan yang dipengaruhi oleh pemilik modal. Akibatnya, kebijakan atau undang-undang yang dihasilkan memihak dan menguntungkan konglomerat dan pejabat itu sendiri, bukan berpihak pada rakyat. Bahkan, ketika baru terpilih yang dipikirkan pertama kali adalah bagaimana caranya agar balik modal.

Sebuah fakta yang kasat mata, bahwa sejatinya para wakil rakyat bukan mewakili rakyat, yang terjadi malah mengkhianati dan menyengsarakan rakyat. Berdalih kedaulatan di tangan rakyat, mereka membuat undang-undang yang justru menzalimi rakyat yang diwakilinya. Contohnya, UU Omnibus Law Cipta kerja, UU Minerba, UU Investasi, UU Kelistrikan, UU BPJS, dan lainnya.


Wakil Rakyat dalam Pandangan Islam

Di dalam demokrasi, kita mengenal lembaga wakil rakyat yaitu (DPR, DPRD I, dan DPRD II). Sedangkan sistem Islam, dalam kitab Ajhizah Dawlah al-Khilafah (2005), disebutkan ada dua lembaga wakil rakyat, yaitu: 1) Majelis Umat selevel DPR, berkedudukan di ibukota negara. 2) Majelis Wilayah, yang ada di tiap-tiap wilayah (provinsi), berkedudukan di ibukota provinsi, selevel dengan DPRD I (provinsi). Jadi, dalam sistem Khilafah tidak ada lembaga wakil rakyat yang setara dengan DPRD II setingkat kabupaten.

Pada hakikatnya anggota Majelis Umat dan Majelis Wilayah tersebut adalah wakil atau representasi dari per-orangan atau berbagai kelompok yang ada di suatu provinsi atau negara. Mereka dipilih melalui pemilihan umum oleh penduduk wilayah setempat. Adapun tujuannya untuk melaksanakan musyawarah dan pengawasan kepada Khalifah. Ini sebagai bentuk akad wakalah (perwakilan) dalam syariat Islam. Rasulullah saw. bersabda, "Pilihlah oleh kalian 12 wakil dari masing-masing kalian yang akan menjadi pengurus kepentingan kaumnya."

Di dalam demokrasi, fungsi DPR sebagai legislasi, yakni membuat undang-undang, karena filosofinya kedaulatan di tangan rakyat. Sedangkan dalam sistem Khilafah kedaulatan di tangan syarak.

Sebagaimana firman Allah, "... Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah .... " (QS. Al-An'am [6]: 57). Dalil inilah yang menjadikan demokrasi sistem kufur karena bertentangan dengan syariat Islam.

Adapun dalam sistem Khilafah, Khalifah tidak membuat hukum tetapi mengadopsi hukum hasil ijtihad yang sahih bersumber dari Al-Qur'an dan Hadis. Majelis Umat juga tidak membuat hukum. Namun, fungsinya melaksanakan musyawarah (syura) dan muhasabah (pengawasan). Fungsi musyawarah, artinya Majelis Umat berhak melakukan musyawarah dengan Khalifah. Sedangkan Fungsi muhasabah, artinya Majelis Umat berhak dan berkewajiban melakukan pengawasan dan koreksi terhadap Khalifah jika terjadi penyimpangan terhadap syariat Islam.

Sementara untuk penyelenggaraan pemilu Majelis Umat/Wilayah dilaksanakan secara simultan (serempak). Diawali dengan memilih anggota Majelis Wilayah di tiap provinsi. Selanjutnya, para anggota yang terpilih akan memilih di antara sesama anggota Majelis Wilayah sendiri untuk menjadi anggota Majelis Umat. Kemudian, anggota Majelis Wilayah yang terpilih menjadi anggota Majelis Umat dan posisinya digantikan oleh calon anggota Majelis Wilayah yang sebelumnya gagal terpilih. Dengan begitu masa jabatan awal dan akhir periode tugas Majelis Wilayah dan Majelis Umat akan sama. Demikianlah prosedur pemilu wakil rakyat dalam sistem Khilafah, lebih efisien dari segi biaya dan waktu. Serta menghasilkan wakil-wakil rakyat yang amanah karena keterikatannya terhadap syariat Islam.

Sangat berbeda dengan sistem demokrasi, rakyat disibukkan oleh bermacam-macam pemilu ada pilpres, pilgub, pilkada, dan pileg. Semuanya membutuhkan biaya yang mahal, boros, tidak efisien, dan segala cara dihalalkan. Ironisnya, sampai ada yang nekat menjual ginjalnya.

Padahal, sistem demokrasi lah pangkal penyebab rusaknya tatanan kehidupan, korupsi menggurita, dan lahirnya oligarki yang menyengsarakan rakyat dan membangkrutkan negara. Saatnya sistem yang rusak dan batil kita ganti dengan sistem Islam (Khilafah) yang berasaskan akidah Islam dan meniscayakan kesejahteraan rakyatnya di dunia maupun di akhirat.

Wallahualam bissawwab.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Oligarki Rudapaksa Ibu Pertiwi, Kok Bisa?

Rela Anak Dilecehkan, Bukti Matinya Naluri Keibuan

Kapitalis Sekuler Reduksi Kesabaran, Nyawa jadi Taruhan