Senandung Qur'an Sekar

 

                            🖤Admin MKM


Lantunan surat Ar Rahman ini selalu terdengar setiap menjelang adzan berkumandang. Begitu syahdu mendamaikan hati. Terkadang hati ini bermimpi melantunkan ayat-ayat suci itu dengan indahnya. Namun, apalah daya diriku tak pernah mendapatkan pengajaran mengaji baik di TPQ maupun pada seorang guru ngaji. 


CERPEN 


Oleh Arda Sya'roni 

Pegiat Literasi 


MKM_CERPEN,_”Wal-ardha wadha'ahaa lil-anaam. Fiiha faakihatuw wan-nakhlu dzaatul akmaam. Wal-habbu dzuul-"ashfi war-raihaan. Fabiayyi alaa-i rabbikumaa tukadziban...”_

      Lantunan surat Ar Rahman ini selalu terdengar setiap menjelang adzan berkumandang. Begitu syahdu mendamaikan hati. Terkadang hati ini bermimpi melantunkan ayat-ayat suci itu dengan indahnya. Namun, apalah daya diriku tak pernah mendapatkan pengajaran mengaji baik di TPQ maupun pada seorang guru ngaji. Entah mengapa orang tuaku dulu tak memedulikan hal itu. Mungkinkah karena diriku hadir di sebuah keluarga besar sehingga orang tuaku abai dengan pendidikan agama anak-anaknya. Ayah dan ibu kerap disibukkan oleh aktivitas mencari pundi-pundi rupiah demi mencukupi kebutuhan 10 orang anak yang diamanahkan pada mereka. Aku hanya mengandalkan mata pelajaran Agama Islam di sekolah sebagai acuanku membaca huruf hijaiyah serta ilmu dari buku Iqra' yang sempat diajarkan oleh ayah saat aku masih kecil. Dan di usiaku yang telah menginjak usia 40 tahun ini apakah mungkin kesempatan itu Allah berikan kepadaku? Mampukah aku belajar mengaji hingga sempurna di usiaku ini apalagi telah ada anak-anak yang harus kuasuh serta suami yang jarang di rumah? Pertanyaan-pertanyaan itu kerap terselip di benakku selama ini. Hati ini hanya bisa berharap dan memohon agar kiranya Allah sudi memberiku kesempatan berharga tersebut.

        Namaku adalah Sekar Dianti yang berarti bunga istimewa. Tak seperti nama yang disematkan padaku sebagai bunga istimewa, aku bukanlah seorang yang istimewa. Mungkin orang tuaku dahulu berharap bahwa aku akan menjadi seseorang yang istimewa yang kelak membanggakan mereka. _But, I"m nothing. I"m only a common people like others, nothing special inside me._ Aku adalah seorang ibu rumah tangga biasa yang juga merangkap sebagai pedagang kecil untuk membantu ekonomi keluarga yang terseok-seok akibat harga kebutuhan pokok yang terus merangkak naik. Sebuah toko kelontong kecil di teras rumah menemani hari-hariku bersama dua orang anakku. Aku mempunyai seorang anak lelaki yang telah duduk di bangku kelas 1 Sekolah Dasar dan seorang anak perempuan yang baru berusia 4 tahun. Sebenarnya si Adel ini sudah layak untuk dimasukkan di pendidikan usia dini, tapi aku lebih senang bila aku sendiri yang mendidiknya karena agar tercipta _chemistry_ di antara kami. Aku sadar betul bahwa seorang ibu adalah madrasah pertama dan utama bagi seorang anak, maka aku tak mau melewatkan kesempatan ini. Inilah kesempatanku untuk membentuk pondasi yang kokoh pada diri anak-anakku. Di samping itu _budget_ untuk paud bisa untuk menutupi kebutuhan yang lain. Orang-orang banyak yang memanggil diriku Bu Sekar, jarang mereka memanggilku dengan nama suamiku. Ya, mungkin karena suamiku jarang di rumah disebabkan kerjanya yang di luar kota dan hanya sekitar 2 minggu sekali pulang. Alhamdulillah lah tak seperti Bang Toyib yang 3x lebaran tak pulang.

***

”Bu Sekar, besok bisa hadir di kajian rutin, kan bu? Sayang lho bu kalo gak datang. Lumayan banget ilmunya bisa buat nambah _moodbooster_ kita yang seringkali lelah hayati sama kerjaan rumah,” bujuk bu Yanti.

”Insyaallah saya datang, Bu,” timpalku.

”Besok saya jemput ya Bu biar jenengan gak kerepotan bawa anak-anak,” seru Bu Yanti menawarkan diri. Ya, bu Yanti ini senang sekali menawarkan bantuan kepadaku. Cari pahala katanya. Maklumlah beliau adalah guru ngaji di TPQ musala tempat kajian umum rutin itu diadakan sehingga beliau paham benar bahwa memberikan bantuan bukanlah suatu kerugian dan kesia-siaan belaka karena pasti akan Allah berikan balasan yang besar entah itu berupa ampunan-Nya, pertolongan-pertolongan-Nya di saat diri dalam kesusahan maupun hidayah dari-Nya.

”Gak kerepotan Bu? Kalo jenengan repot tak apa saya jalan aja sama anak-anak. Itung-itung olah raga,” jawabku karena merasa sungkan sering merepotkan beliau.

”Gak lah ngapain repot, orang rumah kita sejalan koq, sama musalanya. Udah deh besok jenengan siap aja ya jam 9. Daripada pusing di rumah mending cari ilmu buat bekal akhirat plus buat bekal kita menghadapi kerasnya kehidupan ini agar bisa lebih tenang,” jawabnya sembari membujukku.

       Kajian rutin seminggu sekali yang digelar di musala dekat rumah kami ini benar-benar terasa meresap ke dalam hati. Materi yang disampaikan begitu mengena membuat kita terhanyut ke dalamnya. Pikiran kita seakan terbuka sehingga mampu memaknai arti kehidupan ini bahwa esensi kehidupan adalah hanya untuk beribadah pada Allah. Bahwa ibadah tak hanya sebatas salat, puasa, zakat dan haji sebagaimana yang tertuang dalam rukun Islam. Namun, ibadah adalah bahwa diri selalu menyertakan Allah di setiap aktivitas. Hanya untuk Allah semata dengan niat yang benar dan sesuai aturan Allah yang benar. Dari kajian inipun baru kusadari bahwa masih begitu banyak aturan Allah yang tak ku ketahui sehingga banyak hal yang selama ini salah kulakukan dan harus segera diperbaiki. Aku pun makin tahu bahwa rezeki tak hanya sebatas materi. Bahwa rezeki tak hanya didapat dari kerja keras semata, tapi lebih karena ketakwaan.

***

”Assalamu'alaykum, Bu Sekar,” terdengar suara bu Yanti memanggil namaku sembari mengetuk pintu.

”Wa"alaykumussalam, tunggu sebentar ya, Bu,” jawabku dari balik pintu kamar. Cepat kukenakan gamis ungu melapisi daster dan celamis yang kukenakan. Tak lupa kupasang khimar ungu muda bunga-bunga dan sepasang kaus kaki.

”Adel udah cantik nih, tapi mana kerudungnya. Ayo ambil dulu kerudungnya. Kalo mau pergi harus pake kerudung dulu dong,” kudengar bu Yanti menyapa Adel, anak bungsuku yang datang menyambutnya.

”Kak Angga belum pulang sekolah ya?” tanya Bu Yanti pada Adel.

”Iya Kak Angga masih sekolah belum pulang,” kata Adel.

”Oo...ok kalo gitu Adel duduk manis dulu di sini ya sambil nunggu Kak Angga datang juga nunggu Bunda selesai bersiap, ok?”

Aku pun telah selesai, bekal jajanan untuk anak-anak selama kajian juga sudah kusiapkan tinggal menunggu Angga pulang saja. Sambil menunggu Angga tergelitik hati untuk memberanikan diri bertanya pada Bu Yanti, sudikah beliau mengajariku mengaji.

”Bu, saya belajar ngaji di jenengan bolehkah?” tanyaku penuh harap.

”Jenengan bercanda aja. Pasti jenengan udah pinter deh ngajinya.” 

”Gak Bu. Beneran saya gak bisa ngaji karena gak pernah belajar ngaji jadi cuma ngandelin pelajaran agama Islam selama sekolah aja. Serius saya ini Bu, saya pengen banget bisa ngaji dan ngajari ngaji anak-anak saya.” 

”Oo ya nggeh monggo kalo pagi setelah saya anter anak-anak sekolah jenengan bisa sowan rumah belajar ngaji, tapi ada beberapa anak yang ngaji juga lho Bu, jenengan gak malu?” tanya Bu Yanti lebih lanjut.

”Nggeh Bu siap. Tak apa Bu bareng anak-anak lain. Kalau nuruti malu kapan saya bisa ngajinya, Bu,” jawabku mantap penuh semangat karena senang akhirnya ada kesempatan bagiku untuk mempelajari ayat-ayat Allah.

”Assalamu'alaykum Bunda, Kakak pulang!” tetiba suara Angga memecah pembicaraan kami.

”Wa"alaykumussalam. Ayo Jak Angga cepat ganti baju, ikut Bunda ke musala buat ngaji. Tuh udah ditunggu sama Bu Yanti. Baju gantinya sudah bunda siapkan di kamar. Cuci kaki dan tangan dulu ya, Kak!”

***

        Mulai hari ini aku belajar mengaji di rumah Bu Yanti. Bu Yanti menyarankan agar memulainya dari tartil 1 agar benar-benar paham dan sesuai tajwid. Setelah Angga berangkat sekolah dengan diantar tetangga yang kebetulan anaknya juga satu kelas dengan Angga, aku pun bersiap-siap beberes urusan rumah. Adel dengan sigap menawarkan bantuan untuk membantuku. Ya karena Adel masih kecil aku menyuruhnya menyapu rumah, beberes mainannya, dan merapikan tempat tidurnya. Meski semua dilakukan ala kadarnya karena kemampuan dirinya yang masih terbatas, aku selalu membiarkan dia melakukan semua sendirian sebagai bentuk pembiasaan bagi dirinya agar peduli dan mandiri. Aku mengambil bahan belanjaan di kulkas untuk dicuci, dipotong kemudian masuk kulkas lagi karena akan aku masak setelah pulang dari ngaji, lanjut cuci piring, lanjut cuci baju. Waktu satu setengah jam setelah Angga berangkat sekolah harus benar-benar aku manfaatkan dengan baik. 

Tepat pukul 8 aku berangkat ke rumah Bu Yanti dengan Adel tentunya.

”Assalamu'alaykum!”

”Wa'alaykumussalam. Monggo masuk bu. Eh mbak Adel ikut ngaji juga ya? Anak shalihah mau rek ikut bundanya ngaji. Biar tambah pinter ya , mbak” kata Bu Yanti menyemangati Adel supaya gak rewel.

Jam ngaji ini aku manfaatkan saat Angga berada di sekolah sehingga saat aku dan Adel pulang dari rumah Bu Yanti tepat bersamaan dengan jam Angga pulang sekolah.

***

     Hari pertama berlalu dengan baik. Lanjut hari kedua, ketiga dan seterusnya. Banyak cerita drama mewarnai pelajaran mengajiku. Kadang timbul karena kerewelan Adel, kadang karena Adel harus buang hajat, ketiduran, mengganggu dan cerita unik lainnya. Kadang juga karena putra Bu Yanti yang kerap meminta bantuan ini itu pada ibunya. Terkadang juga dari anak-anak yang mengaji lainnya yang terburu hendak berangkat sekolah sehingga menyela antrianku untuk mengaji. Ya, di sini aku juga mengaji bebarengan dengan anak-anak SD lainnya baik yang belajar tartil maupun belajar Quran, meski tak banyak tapi cukup membuatku sekejab merasa malu. Tak segera rasa malu itu kusingkirkan demi meraih impian bisa mengaji sempurna.

***

_”Allahummar hamnii bil qur"an waj'alhu lii imaamaaw wa nuuraw wa hudaw wa rahmah...”_

        Hari ini aku membaca doa khatam Qur'an tanda bahwa telah kukhatamkan Al Qur'an. Alhamdulillah 6 buah tartil serta 30 juz Al Qur'an selesai sudah. Lima belas purnama yang begitu luar biasa. Seakan telah menang dari sebuah pertarungan besar saat harus belajar mengaji mulai dari tartil di usia yang tak muda lagi dengan segala kerepotan yang menyertai.

”Bu Sekar, jenengan mau gak bantu ngajar di TPQ mumpung butuh orang lagi. Lumayan Bu bisa sebagai wadah mengamalkan ilmu agar barakah dan bisa jadi amal jariyah,” tanya Bu Sekar penuh harap.

”Oh nggeh Bu, insyaAllah saya bisa tapi ya masih sambil belajar lagi nggeh Bu. Alhamdulillah,” jawabku tak percaya

”Iya, Bu tak apa. Nanti jenengan ngajar yang di tartil 1 atau tartil 2 aja dulu bu. Nanti insyaallah seiring waktu ilmu jenengan akan makin bertambah dan akan makin lancar baca Al Qur'annya.

       Alhamdulillah sekali lagi saya ucapkan. Rasa syukur yang teramat besar dan hampir tak bisa kupercaya. Diriku yang semula tak pernah mengenyam pendidikan di TPQ, diriku yang selama ini mengajinya gratul-gratul tanpa mengetahui kaidah mengaji yang benar pada akhirnya dapat turut membantu mengajar di TPQ. Sebuah impian yang melampaui bayanganku sendiri. Sungguh benar janji Allah bahwa siapa yang bersungguh-sungguh pasti akan memperoleh hasil yang sesuai dengan segala kelelahan yang didapatnya.

Sidoarjo, 150122

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Oligarki Rudapaksa Ibu Pertiwi, Kok Bisa?

Rela Anak Dilecehkan, Bukti Matinya Naluri Keibuan

Kapitalis Sekuler Reduksi Kesabaran, Nyawa jadi Taruhan