Banjir, Tak Sekadar Soal Meluapnya Air

🖤Admin MKM

Tak dapat disangkal, terjadinya hujan maupun banjir sesungguhnya memang tak lepas dari kehendak Allah. Hanya saja Allah Swt. juga memerintahkan individu, masyarakat, hingga negara untuk menjaga lingkungan. Bahkan Islam menetapkan tugas negara untuk mengelola semaksimal mungkin sumber daya yang ada untuk kebaikan masyarakat secara keseluruhan, tanpa kecuali.


Oleh Ummu Zhafran

Pegiat Literasi


MKM, OPINI_Duka mendalam dirasakan warga Demak, Jawa Tengah karena banjir yang melanda sejak minggu lalu. Meski dikabarkan mulai surut, namun luapan air sempat meluas sampai ke 25 desa hingga tak kurang 25.518 orang harus mengungsi. (kompas.com, 15/2/2024)

Terus terang, ketika mencermati persoalan banjir Demak dan juga di  daerah lainnya jelas terlihat masalahnya tak sesederhana yang dibayangkan. Curah hujan yang tinggi membuat debit air meluap. Tapi tidakkah hal tersebut terjadi setiap tahun ketika musimnya tiba? Apa yang membuat tiap tahunnya berakibat semakin parah?

Seperti kata pepatah, bukan salah bunda mengandung. Tak guna bila sekedar mencari siapa yang bisa disalahkan. Sudah waktunya menyadari bahwa perkara banjir perkara sistemis. Sebab hal ini erat kaitannya dengan orientasi kebijakan mitigasi yang selama ini dianut, demi mewujudkan kemaslahatan publik atau justru untuk kepentingan individu maupun swasta, yakni oligarki.

Bagaimana tidak dikaitkan dengan dua hal di atas, secara nyata terlihat pembangunan demi pembangunan yang dijalankan, semakin lama absen dari keberpihakan terhadap kepentingan publik. Melainkan berpihak pada pemilik modal maupun para pengusaha. Buktinya lahan yang seharusnya jadi sumber penghidupan bagi rakyat, disulap dengan segala cara menjadi area perindustrian, perdagangan dan perkantoran. 

Lagi-lagi dengan semangat mengejar keuntungan berupa fulus. Padahal dampaknya cukup berbahaya. Antara lain, menurunnya persentase ruang terbuka hijau (RTH) dan daerah resapan air. Wajar bila kemudian banjir jadi sukar diantisipasi.

Sejauh ini, mitigasi bukannya tak pernah dilakukan. BMKG pun (Badan Meteorologi dan Geofisika) tak kurang memberi peringatan sejak dini. Namun kenyataannya banjir terus saja terjadi. Maka bukan hal aneh jika publik menangkap kesan bahwa pemerintah tak serius menangani persoalan ini. 

Miris, karena lagi-lagi membuktikan cengkeraman kapitalisme atas Ibu Pertiwi. Salah satu tabiat yang menonjol dari ideologi kapitalisme ini adalah ketika negara berlaku layaknya fasilitator ketimbang regulator, sementara posisi regulator langsung maupun tidak langsung kemudian ditempati oligarki. Sampai di titik ini, bukan lagi diserahkan pada suara rakyat pastinya, tapi bagaimana sebuah regulasi bisa mendatangkan manfaat maupun profit bagi para pemodal, alias pemilik kapital yang kuat.

Selama hal tersebut dibiarkan, masalah demi masalah akan terus bermunculan. Termasuk masalah sengkarut banjir. Satu-satunya jalan menuntaskan seluruh problem tersebut dengan meninggalkan biangnya, yakni kapitalisme-demokrasi dan mengambil Islam sebagai pengganti. 

Allah Swt. berfirman, “Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya, sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui.” (QS. Saba’: 28)

Mengutip dari kitab tafsir karya Imam Ibnu Katsir, Qatadah mengatakan sehubungan dengan makna ayat ini, bahwa Allah Swt. mengutus Muhammad saw. kepada bangsa Arab dan non-Arab, sedang orang yang paling mulia di antara mereka adalah yang paling bertakwa dan taat kepada Allah Swt.

Dengan sendirinya bertentangan dengan kapitalisme yang sarat dengan kepentingan oligarki. Islam justru menempatkan kemaslahatan seluruh manusia sebagai prioritas yang harus dijamin oleh negara.

Tak dapat disangkal, terjadinya hujan maupun banjir sesungguhnya memang tak lepas dari kehendak Allah. Hanya saja Allah Swt. juga memerintahkan individu, masyarakat, hingga negara untuk menjaga lingkungan. Bahkan Islam menetapkan tugas negara untuk mengelola semaksimal mungkin sumber daya yang ada untuk kebaikan masyarakat secara keseluruhan, tanpa kecuali.

Sejarah mencatat di masa kekhalifahan Islam, banjir pernah beberapa kali melanda Masjidil Haram di Mekah. Saat itu, pemerintah setempat segera memperbaiki sistem drainase di sekitar Baitullah. Tata ruang kota dan peradaban dalam Islam dikelola dengan visi jauh ke depan. Arahnya sudah pasti berpihak pada rakyat. Bukan sekedar pencitraan jelang pemungutan suara. Tidak juga dengan membangun infrastruktur yang katanya untuk kepentingan rakyat tapi dengan cara berutang ugal-ugalan.

Tetapi tersisa satu hal, penting untuk selalu diingat bahwa mengambil sistem Islam mustahil tanpa menegakkan syariat-Nya secara kafah, yang dibawa Rasulullah saw. Satu-satunya cara, tak lain dengan meneladani jalan dakwah yang ditempuh Nabi saw. bersama para sahabat. Terlebih syariah tersebut menunjukkan betapa Allah Swt. begitu menyayangi segenap manusia yang merupakan makhluk ciptaan-Nya. Tidakkah kita bisa merasakan kasih sayang itu di setiap helaan nafas kita? 

Wallahualam bissawab.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Oligarki Rudapaksa Ibu Pertiwi, Kok Bisa?

Rela Anak Dilecehkan, Bukti Matinya Naluri Keibuan

Kapitalis Sekuler Reduksi Kesabaran, Nyawa jadi Taruhan