Dirty Vote Mengonfirmasi Kebobrokan Sistem ala Demokrasi

 

🖤 Admin MKM 

Sistem politik demokrasi saat ini dihasilkan dari asas sekuler, di mana semua cara dihalalkan asal tujuannya tercapai, yaitu kekuasaan. Legalitas ini bisa diatur dengan kekuatan uang. Maka tidaklah heran jika banyak kebijakan yang dibuat oleh penguasa hasil pilihan rakyat. Banyak yang tidak pro terhadap kepentingan rakyat, karena sejatinya sudah digenggam oleh kepentingan politik pemilik uang.


OPINI


Oleh Hidayati Sundari

Pendidik dan Pegiat Literasi


MKM, OPINI_Siapa yang tidak mengenal film dokumenter yang sedang viral saat ini. Film besutan sutradara Dhandy Dwi Laksono yang berdurasi hampir 2 jam ini, menjadi trending topik dan sudah ditonton lebih dari 10 juta orang di awal penayangan. Film bergenre dokumenter eksplanatori ini menuai banyak komentar dari berbagai kalangan, baik dari para politisi, artis maupun kalangan masyarakat lainnya. 

Pro dan kontra film ini dikarenakan mengangkat isu sensitif yang mengungkap berbagai kecurangan yang berpotensi terjadi pada pemilu 2024. Sebagian masyarakat memberikan apresiasi karena bobroknya demokrasi di negeri ini banyak diungkap dan membuka mata mereka. Bagi yang kontra merasa bahwa penayangan film pada awal masa tenang pemilu hanya untuk menjatuhkan salah satu paslon saja.

Film ini mengungkap skenario besar, banyaknya penyalahgunaan wewenang kekuasaan dan rekayasa berbagai kebijakan di berbagai level. Sehingga praktik curang dalam memuluskan jalan salah satu paslon, yang sudah diketahui khalayak umum adalah anak sulung presiden agar tampak legal. Hal ini dilakukan dengan cara menempatkan orang-orang yang dianggap dekat dengan presiden pada posisi-posisi yang strategis.

Presiden yang seharusnya netral, malah menunjukan keberpihakannya dengan cara menggerakkan berbagai elemen pemerintahan mulai dari yang paling bawah sampai paling atas seperti, lurah dan kepala desa, bupati, wali kota, gubernur, para menteri, bahkan mahkamah konstitusi untuk mengikuti arahan yang telah ditentukan. Indikasi penggunaan fasilitas negara untuk melanggengkan salah satu paslon diungkap juga dalam film ini. Bahkan pembagian bansos pun dipolitisasi, diberikan hanya pada momen-momen tertentu saja seperti saat kampanye. Bansos merupakan hak rakyat yang dikeluarkan dari keuangan negara, tidak seharusnya dilabeli dengan nama pribadi presiden. 

Sekelumit isi film viral di atas tentu saja mengingatkan kita, bahwa hal tersebut tidak hanya terjadi saat ini saja. Berbagai kecurangan dan intrik-intrik politik juga berlangsung dalam setiap agenda pemilu. Tidak hanya dalam perhelatan besar seperti pemilihan kepala negara, bahkan pada pemilihan dalam lingkup yang lebih kecil pun selalu diwarnai dengan berbagai kecurangan dan politik uang demi mendulang suara. 

Seharusnya mata kita lebih terbuka, ternyata demokrasi yang digadang-gadang sebagai sistem terbaik nyatanya tidak mampu menghalau berbagai kecurangan. Demokrasi hanya digunakan sebagai alat mendulang suara saat pemilu saja. Slogan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat hanya sekadar slogan semata. Para penguasalah yang paling diuntungkan dalam mengukuhkan kekuasaannya. Dalam sistem demokrasi pemilihan pemimpin harus menghabiskan dana yang fantastis. Pada pemilu 2024 saja, Kementerian Keuangan telah mengalokasikan anggaran sebesar RP 71.3 triliun sejak 20 bulan sebelum pelaksanaan pemilu. (Detik.com/13-02-2024)

Sistem politik demokrasi saat ini dihasilkan dari asas sekuler, di mana semua cara dihalalkan asal tujuannya tercapai, yaitu kekuasaan. Legalitas ini bisa diatur dengan kekuatan uang. Maka tidaklah heran jika banyak kebijakan yang dibuat oleh penguasa hasil pilihan rakyat. Banyak yang tidak pro terhadap kepentingan rakyat, karena sejatinya sudah digenggam oleh kepentingan politik pemilik uang. Begitu bobroknya kepemimpinan dalam sistem demokrasi. Sudah saatnya kita beralih pada kepemimpinan dalam sistem Islam, di mana kedaulatan bukan pada rakyat, tetapi pada hukum syarak. Manusia tidak boleh membuat aturan yang bertentangan dengan hukum syarak, dan dapat diubah sekehendak hawa nafsunya. 

Sistem kepemimpinan dalam Islam sudah teruji selama berabad-abad. Dalam Islam, pemilihan pemimpin tidak membutuhkan biaya yang banyak, kampanye yang menghalalkan segala cara, persaingan dengan kecurangan, dan lain sebagainya. Calon pemimpin dalam Islam harus memenuhi kriteria yang ditetapkan syarak. Tentu saja ketakwaan adalah hal mutlak yang harus dimiliki seorang pemimpin, sehingga dapat mengemban amanah dengan penuh tanggung jawab dan muroqobatullah.

Dalam sistem Islam tidak akan ditemukan politik uang. Politik uang dapat dikiaskan dengan perbuatan suap/sogok atau risywah, yaitu suatu pemberian dalam bentuk hadiah yang diberikan kepada orang lain dengan mengharapkan imbalan tertentu yang bernilai lebih besar. Risywah terlarang dalam Islam. Bahkan Allah Swt. melaknat pelakunya. Rasulullah saw. bersabda, “Allah melaknat penyuap dan yang disuap dalam urusan hukum.” (HR Tirmidzi) Nabi juga bersabda: “Yang menyuap dan yang disuap masuk neraka.”(HR Ath-Thabrani)

Dalam Islam, jika seseorang terpilih menjadi pemimpin, maka di pundaknya ada amanah dan tanggung jawab besar yang harus dipikulnya dunia akhirat. Saking besar amanah tersebut, sahabat Nabi bernama Abdurrahman bin Auf menolak dijadikan khalifah. “Demi Allah, andai dibuat sebilah pisau lalu diletakan pada tenggorokanku dan ditancapkan hingga tembus ke sisi lain adalah lebih aku sukai daripada menjadi seorang khalifah,” kata Abdurrahman. 

Sejatinya setiap pergantian pemimpin tidak akan membawa perubahan yang hakiki, jika berharap pada sistem demokrasi yang nyata kebobrokannya. Jadi yang kita butuhkan adalah sistem Islam yang akan melahirkan pemimpin ideal dambaan umat.

Wallahualambissawab.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Oligarki Rudapaksa Ibu Pertiwi, Kok Bisa?

Rela Anak Dilecehkan, Bukti Matinya Naluri Keibuan

Kapitalis Sekuler Reduksi Kesabaran, Nyawa jadi Taruhan