Jelaga Hitam di Wajah Chintya
![]() |
🖤 Admin MKM |
Chintya tak bisa menerima keputusan bundanya yang ingin berhijrah total. Sudah dua tahun Bunda Arumi memutuskan untuk berhijrah, meninggalkan kehidupan masa lalunya yang kelam. Perubahan yang sangat kentara membuat Chintya kecewa. Gadis itu merasa malu, gengsi, dan risih dengan pola pikir dan pola sikap bundanya. Chintya tidak suka dengan pakaian syar'i yang dikenakan bundanya.
CERPEN
By Nuur Annisa
Member AMK
MKM, CERPEN_Senja yang penuh jelaga, melukiskan panorama yang tak biasa. Seolah menjadi saksi luka hati seorang bunda.
"Ibu ini kuno! Masa mau kembali ke zaman purba? Baju kedodoran begitu dipakai. Orang lain pada ingin tampil modis, gaul, keren, eh, Ibu malah mengikuti gaya kedaluwarsa, ha ... ha ... parah banget Ibu, nih!" cibir Chintya sambil tertawa lebar, mirip Mak Lampir.
Gadis cantik berusia dua puluh empat tahun itu melirik sinis ke arah bundanya, yang biasa dipanggil Bunda Arumi. Arumi adalah nama adik perempuan Chintya yang duduk di bangku kelas 11 Sekolah Tahfiz Plus (STP) SMA di kota itu. Mendapat cibiran dari putri sulungnya Bunda Arumi hanya diam, lantas berbicara. Wanita berstatus _singel parent_ itu terlihat hati-hati ketika berbicara dengan Chintya. Putrinya sekarang sudah mapan ekonominya, tetapi sayang jiwanya sedang tidak baik-baik saja. Perbedaan pemahaman yang tajam antara mereka berdua menjadi penyebabnya.
Chintya tak bisa menerima keputusan bundanya yang ingin berhijrah total. Sudah dua tahun Bunda Arumi memutuskan untuk berhijrah, meninggalkan kehidupan masa lalunya yang kelam. Perubahan yang sangat kentara membuat Chintya kecewa. Gadis itu merasa malu, gengsi, dan risih dengan pola pikir dan pola sikap bundanya. Chintya tidak suka dengan pakaian syar'i yang dikenakan bundanya. Sebelum berhijrah Bunda Arumi adalah seorang pelatih senam dan tari yang profesional. Kini pekerjaan itu telah ditinggalkan, beralih drastis menjadi pedagang makanan dan kue-kue. Jika sebelum berhijrah bundanya biasa berpakaian seksi, kini beralih mengenakan gamis panjang dan berkerudung lebar, serta memakai kaus kaki. Menurut Chintya pakaian seperti itu norak.
"Memang kenapa dengan pakaian Bunda? Ini pakaian syar'i untuk wanita yang sudah balig. Kamu juga harus seperti ini pakaiannya, Chintya," jawab sang bunda kalem.
Bunda Arumi mulai menjelaskan perihal pakaian syar'i, tapi Chintya membantah dan menganggap aturan Islam itu terlalu mengekang kebebasan perempuan. Sang Bunda paham betul mengapa putrinya begitu sekuler pemikirannya. Chintya pernah menjadi aktivis Hak Asasi Manusia (HAM), sewaktu masih kuliah dahulu. Pernah juga mengikuti program beasiswa di Eropa selama beberapa tahun. Sehingga otaknya dipenuhi dengan pemahaman asing yang rusak dan merusak akidah Islam. Sang bunda menyesal mengapa dirinya seolah terlambat mendapatkan hidayah, sehingga saat itu mengizinkan putrinya menempuh pendidikan sekuler, yaitu memisahkan agama dari kehidupan.
"Sorry ya, Ibu ini sekarang jadi makin aneh, senangnya melawan arus. Lihatlah, di kompleks perumahan elit ini mana ada yang berpakaian model gitu, selain Ibu. Kalau aku pakai baju model begituan, nanti bisa-bisa aku dikira sudah tidak waras," tandas Chintya makin berani.
Jleb! Ucapan Chintya menusuk tajam ke jantung sang bunda.
Hampir saja Bunda Arumi menampar wajah putrinya. Namun, kemudian sang bunda berhasil menguasai diri. Ia menyadari bahwa putrinya belum paham syari'at Islam. Tidak heran saat diajak mengkaji Islam, putri sulungnya itu menolak mentah-mentah. Bahkan menuduh dirinya pengikut aliran sesat.
"Framing media yang menjadi senjata ampuh untuk menyerang Islam sudah menguasai otak Chintya," pikir sang bunda dalam hati.
Bunda Arumi sedikit pun tidak menyangka, Chintya yang dulunya lugu dan polos, tiba-tiba kini berubah menjadi liar, setelah kecanggihan benda pipih persegi panjang merusak otaknya. Sejak itu gadisnya menjadi tambah berani melawan orang tua. Chintya selalu berusaha melarang bundanya ketika ingin taat kepada syari'at Allah. Pengaruh media dan teman-temannya yang sekuler begitu kuat menguasai pemikiran putrinya. Bahkan beberapa hari yang lalu Chintya terang-terangan menyebut Bunda Arumi sebagai teroris, kaum radikalis, dan anti kebhinekaan. Sedih dan pilu hati Bunda Arumi. Anak yang dulu menjadi kebanggaan karena banyaknya prestasi yang ditorehkannya, kini justru menjegal niatnya untuk berhijrah. Bahkan yang lebih menyakitkan, anak itu kini sudah terbawa arus kehidupan sekuler, liberal, hedonis, dan materialistis.
Selepas pulang kerja, Chintya sering menghabiskan waktu untuk berhura-hura dengan teman-temannya. Bahkan hari itu ia mendengar kabar bahwa Chintya telah menjalin hubungan cinta dengan seorang teman laki-lakinya. Chintya berpacaran, sesuatu yang dilarang dalam ajaran Islam.
"Bun, katanya sebentar lagi Kak Chintya mau tinggal di rumah pacarnya," bisik Arumi yang hari itu libur sekolah.
"Ah, yang benar aja, kata siapa kamu? jangan memfitnah orang," potong Bunda Arumi khawatir.
"Ikh, beneran, Bun. Arumi tahu dari Tania, adik cowok itu. Kata dia, kakaknya suka cerita ke teman-temannya kalau kakaknya itu bakal tinggal bareng sama Kak Chintya."
"Astaghfirullahal 'aziim, Kamu tahu di mana rumah Tania?" tanya Bunda Arumi panik.
Sebagai orang tua yang bertanggung jawab, Bunda Arumi merasa berkewajiban menjaga dan melindungi anak-anaknya. Ia tidak mau terjadi apa-apa dengan putrinya. Meskipun Chintya telah berani melawan dan menjegal langkahnya untuk berhijrah, tetapi dia tetap anak kandungnya. Amanah Allah Swt. yang harus dijaga.
Belum hilang kepanikan di wajah Bunda Arumi, mendadak ia dikejutkan dengan kemunculan Chintya dari dalam kamarnya.
"Sekarang aku mau pergi, nanti Ibu nggak usah repot-repot mencari dan nyuruh aku pulang. Aku sudah bukan bocah kemarin sore, gak mau diatur-atur terus. Aku berhak menentukan jalan hidupku sendiri. Aku memilih tinggal sama Arga, pacarku. Dia baik, penyayang, dan tidak otoriter seperti Ibu."
"Jangan Chintya! Kalian belum halal, kalau kalian ingin hidup bersama, menikahlah, Ibu akan merestui. Tetapi jangan berzina, nanti Allah subhanahu wata'ala, Tuhanmu murka, Nak!" suara sang bunda bergetar.
"Ibu nggak perlu sok ngancam gitu deh, mulai sekarang jangan lagi ikut campur urusan Chintya! Ibu urus saja Arumi, anak Bunda yang manja itu."
"Chintya ... kamu jangan bicara seperti itu! Bagaimana pun kamu itu anakku, Ibu harus menjagamu. Ibu nggak mau terjadi apa-apa dengan kamu."
"Gak penting. Udah sana minggir, jangan menghalangi jalanku!" hardik Chintya ketus. Kakinya terus melangkah ke luar rumah.
"Chintya ... jangan pergi, Nak!" Bunda Arumi berusaha menghadang langkah putrinya.
"Ikh ... Ibu, minggiiirrr!" teriak Chintya sambil mendorong tubuh bundanya hingga jatuh terjerembab ke lantai.
Wanita berusia 48 tahun itu terkesiap. Airmata mengalir deras di kedua pipinya. Remuk hatinya. Ia merasa telah menjadi ibu yang gagal. Sementara sepasang mata Chintya masih mendelik tajam ke arahnya.
"Dengar ya, Bu! Aku benci dan muak dengan semua yang Ibu dongengkan setiap hari di rumah ini. Tentang Islam, tentang aturan agama, surga, neraka ... bosan! Aku ingin bebas, lepas, gak mau denger lagi dongengan tak bermutu itu, hanya menghambat kesuksesanku saja," ucap Chintya ketus.
"Astaghfirullah ... Chintya anakku. Kamu itu tanggung jawab Ibu. Ibu hanya ingin agar kamu menjadi baik, salihah, dan taat kepada syari'at Allah. Setiap orang tua diperintahkan untuk mendidik dan melindungi keluarganya dari api neraka. Setelah ayahmu tiada, siapa lagi yang akan mendidikmu kalau bukan Ibumu ini?"
"Tapi aku tidak mau! Aku ingin tetap seperti ini, tidak mau berubah dan tidak akan berubah selama-lamanya. Meskipun disambar petir, Chintya tidak mau mengikuti keinginan Ibu. Titik!" tegas Chintya dengan kasar.
"Ya ... Allah, Chintya!" panggil Bunda Arumi. Namun yang dipanggil tak menggubrisnya. Gadis berkulit putih dan bertubuh semampai itu melenggang, terus keluar dari rumah dengan membawa sebuah tas ransel besar. Berniat untuk minggat dari rumah orang tuanya. Bunda Arumi makin panik melihat Chintya berjalan menembus derasnya air hujan. Sementara di luar suasana sedang tidak bersahabat. Sesekali terdengar suara gemuruh dari langit. Lambat laun suara itu bertambah dekat. Bahkan dengan sekejap mata, petir itu tiba-tiba menyambar sebatang pohon beringin yang tumbuh di tepi jalan, dimana ada sesosok tubuh yang tengah berteduh di bawahnya.
Blarrr ....
Dentuman suara itu begitu keras. Jaraknya hanya beberapa meter di depan rumah Bunda Arumi.
"Chintya!" jerit sang bunda seolah merobek langit senja itu.
"Kakaaaak ...!" Arumi berteriak sambil berlari. Gadis remaja itu bermaksud memeluk tubuh Chintya yang tengah meregang nyawa. Wajah gadis malang itu telah berubah menghitam, berjelaga. Beruntung beberapa orang dengan sigap menghadang langkah Arumi. Tentu demi keselamatannya, agar tidak ikut terkena sengatan listrik ribuan kilo watt.
Dewi kegelapan merayap perlahan. Dari kejauhan sayup-sayup terdengar suara azan berkumandang. Suasana mencekam, hening. Akhirnya Chintya benar-benar pergi untuk selama-lamanya. Tanpa rida sang bunda.
Selesai.
Komentar
Posting Komentar