Sadis! Remaja Pelaku Pembunuhan, Butuh Solusi Islam

 

                           ðŸ–¤ Admin MKM


Tercatat pekan lalu, seorang pelajar SMK berinisial J (17) menjadi pelaku pembunuhan satu keluarga (terdiri dari lima orang) di Desa Babulu Laut, Kacamatan Babulu, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Kelima korban yakni W (34), SW (34), RJ (15), VD (10) dan ZA (2), merupakan tetangga yang juga pernah terlibat konflik asmara dengan pelaku.


OPINI


Oleh Ummu Rufaida ALB

(Pegiat Literasi dan Kontributor Media)


MKM_OPINI,Tingkahnya para remaja makin hari makin memprihatinkan. Kini bukan lagi tentang kenakalan, akan tetapi sudah masuk ranah tindak kriminal. Tercatat pekan lalu, seorang pelajar SMK berinisial J (17) menjadi pelaku pembunuhan satu keluarga (terdiri dari lima orang) di Desa Babulu Laut, Kacamatan Babulu, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Kelima korban yakni W (34), SW (34), RJ (15), VD (10) dan ZA (2), merupakan tetangga yang juga pernah terlibat konflik asmara dengan pelaku.

Peristiwa tragis dan sadis ini terjadi pada Senin (5/2/2024) malam, sepulang J minum minuman keras bersama temannya. Pelaku diantar pulang oleh temannya ke rumah pada pukul 23.30 WITA, tetapi sesampainya di rumah dia memiliki niatan buruk. Lalu dia mengambil parang sepanjang 60 cm tanpa gagang menuju rumah korban.

Aksi pembunuhan dia lakukan sesaat setelah W (34) sampai di rumah. Mendengar teriakan sang suami, sang istri pun terbangun. Pelaku langsung membunuh SW (34) beserta ketiga anaknya, luka korban rata-rata di kepala. Biadabnya, setelah membunuh dia juga merudapaksa jenazah korban SW dan RJ. Dia juga mengambil handphone dan uang tunai korban. (Kompas.com, 8/2/2024)

Berdasarkan keterangan pihak Polres Penajam Paser Utara, Supriyanto, bahwa penyelidikan awal menunjukkan pelaku J melakukan pembunuhan karena motif sakit hati dan dendam. Pelaku dan korban sempat berkonflik karena masalah ayam dan korban belum mengembalikan helm yang telah dipinjam korban selama tiga hari. Namun, belakangan diketahui motifnya karena butuh uang untuk membayar servis HP.

Lebih jauh, berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, pada periode 2020 hingga 2023 menunjukkan tren peningkatan kasus. Per 26 Agustus 2023, tercatat hampir 2.000 anak berkonflik dengan hukum. Sebanyak 1.467 anak berstatus tahanan dan menjalani proses peradilan, sementara 526 anak sedang menjalani hukuman sebagai narapidana. (Kompas.id, 29/8/2023)

Jumlah yang fantastis. Jika dilihat bahwa pelaku merupakan anak di bawah umur, maka ini tentu menjadi tamparan keras. Bukan hanya bagi orang tua, tetapi bagi seluruh elemen masyarakat dan negara. Artinya, anak dan remaja Indonesia sedang tidak baik-baik saja, bahkan sudah bisa dikatakan darurat kekerasan pada dan oleh remaja.

Dalam kasus ini, bagaimana mungkin seorang pelajar dengan sadis menghabisi lima nyawa tetangganya sendiri. Bukankah remaja merupakan generasi penerus cita-cita bangsa? Bukankah di sekolah digencarkan revolusi mental? Ataukah karena tiadanya efek jera dari sanksi yang diberikan kepada para pelaku pembunuhan?

Jika ditilik lebih dalam, yang menyebabkan maraknya remaja dengan sadis melakukan tindak kriminal, seperti pembunuhan, bukan hanya faktor kurangnya pengaruh orang tua dalam mendidik di rumah dan lemahnya pendidikan karakter saat ini. Namun, banyaknya remaja yang mengonsumsi miras juga menjadi faktor pendukung yang membuat panjang kasus tindak kriminal. Di samping itu, sanksi yang berlaku bagi pelaku selama ini nyatanya tidak membawa efek jera terhadap masyarakat umum.

Hal ini wajar terjadi mengingat Indonesia mengadopsi sistem pemerintahan demokrasi sekuler. Sekularisme akan melahirkan aturan yang memisahkan agama dari kehidupan. Individu yang dihasilkan pun menjadi individu yang tak lagi menjadikan agama sebagai pijakan berperilaku. Mereka menjadikan manfaat materi sebagai tolok ukur perbuatan.

Kebanyakan orang tua saat ini lebih mengedepankan capaian prestasi akademik daripada keteguhan iman dan keluhuran akhlak anak. Akibatnya banyak remaja yang pintar tetapi niradab. Budaya berperilaku bebas pun menjadi hal yang lumrah, termasuk meminum minuman keras sekalipun. Padahal, remaja merupakan tonggak perubahan sebuah bangsa, bukan perusak bangsa. 

Sanksi yang berlaku selama ini nyatanya tak membuat efek jera bagi pelaku atau masyarakat. Terbukti, dari tahun ke tahun kasus pembunuhan justru semakin meningkat dengan pelaku yang berbeda. Hal ini jelas menunjukkan lemahnya sistem sanksi dalam sistem demokrasi, yang tak lagi melindungi nyawa dan kehormatan warga.

Sangat berbeda dengan potret kehidupan dalam sistem Islam. Islam bukan hanya agama tetapi juga aturan hidup bagi manusia. Allah taala sebagai Sang Pencipta memberikan aturan di segala aspek kehidupan, termasuk sistem pendidikan dan sistem sanksi.

Sistem pendidikan Islam akan mencetak generasi menjadi Abdullah (hamba Allah) dan khalifah (pemimpin) yang memiliki kepribadian Islam. Pola pikirnya berdasarkan Islam, diiringi juga pola sikap yang senada. Tujuan pendidikan ini akan terus melahiran individu yang bertakwa lagi berakhlak mulia. Hal ini tentu akan menihilkan adanya pelajar yang pemabuk dan pembunuh.

Sistem sanksi dalam Islam juga akan menopang keberlangsungan hidup yang aman dan damai. Sanksi yang dijatuhkan kepada para pelaku kriminal bersifat jawabir (penebus dosa pelaku) dan jawazir (pencegah orang lain berbuat serupa). Oleh karenanya, hukuman bagi pelaku tidak selalu penjara layaknya sistem sekuler saat ini, melainkan disesuaikan dengan jenis kejahatannya. Misalnya, kisas merupakan sanksi untuk pembunuhan yang disengaja. 

Jenis sanksi dalam Islam ada empat, yaitu hudud, jinayah, takzir, dan mukhalafat. Hudud merupakan sanksi atas kemaksiatan yang kadarnya telah ditetapkan oleh syariat dan menjadi hak Allah taala. Jinayah merupakan penganiayaan atas badan dan mewajibkan kisas. Takzir merupakan sanksi atas kemaksiatan yang tidak ada had dan kafarat. Sedangkan mukhalafat adalah sanksi atas pelanggaran aturan yang ditetapkan negara. 

Penjara dalam sistem Islam tetaplah ada, tetapi realitasnya saja yang berbeda dengan sekularisme. Dalam Islam, penjara bukan saja untuk memberikan efek jera, juga membina kepribadian para pelaku dengan pemahaman Islam agar mereka bertobat dan tidak mengulangi kembali kejahatannya. 

Wallahualam bissawab.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Oligarki Rudapaksa Ibu Pertiwi, Kok Bisa?

Rela Anak Dilecehkan, Bukti Matinya Naluri Keibuan

Kapitalis Sekuler Reduksi Kesabaran, Nyawa jadi Taruhan