Selow Ajalah
![]() |
🖤 Admin MKM |
Bukan soal finansial yang ia khawatirkan, karena ibunya juga seorang dosen. Tabungan ayahnya juga sudah dipersiapkan untuk pendidikannya sampai jenjang kuliah. Namun, yang mengganjal di hatinya, ia khawatir bagaimana melanjutkan hidup tanpa sosok Ayah. Selama ini, ia tidak pernah berpacaran karena selalu sibuk dan fokus belajar. Akhirnya, hanya Ayahlah satu-satunya lelaki yang dekat dengannya.
CERPEN
Oleh Devy Rikasari
Pegiat Literasi
MKM, CERPEN_"Rin, ikut kajian, yuk," ajak Tiara kepada sahabatnya, Rini.
"Enggak, ah ... males, hehe," jawab Rini.
"Kok gitu, sih? Mumpung deket nih di blok depan doang."
"Tetep aja males, wkwkwk."
"Aneh kamu ih. Dulu kalo diajak kajian yang agak jauhan jawabnya males karena jauh. Giliran kajiannya deket rumah, beda blok doang masih aja males. Emang kamu nyari apa sih, Rin, di dunia ini?"
"Lu tuh yang aneh, hehe. Lagian masih remaja juga serius amat sih hidup Lu! Gue yang heran, apa sih yang Lu cari?"
"Astagfirullah, Rin ... Meskipun kita masih remaja bukan berarti jadi alasan untuk bersantai-santai. Kita ini kan diciptain sama Allah buat ibadah, ya hidup ini buat nyari bekel akhirat lah."
"Gue capek, Tiara. Di rumah dituntut jadi anak baik, harus berprestasi di sekolah. Tiap hari ada aja tuntutan yang mesti gue lakuin. Eh sekarang lu malah ngajak-ngajak gue kajian. Bisa engga sih lu selow dikit. Jangan terlalu serius jalanin hidup. Orang yang lebih tua dari kita aja banyak kok yang selow hidupnya."
"Iya sih emang faktanya gitu, tapi itu kan ga jadi pembenaran kita buat ngikutin mereka. Justru mumpung kita masih remaja, ini saatnya kita memaksimalkan tenaga yang lagi kuat-kuatnya untuk belajar Islam lebih dalam lagi, jadi nanti saat udah dewasa kita tinggal siap beramal."
Diskusi antara Tiara dan Rini menjadi alot. Padahal awalnya Tiara hanya mengajak Rini mengikuti kajian Islam khusus remaja dekat rumahnya. Bukan kali ini saja Tiara mengajak Rini. Dalam berbagai kesempatan, Tiara selalu menasihati sahabatnya itu.
Tiara dan Rini sudah bersahabat sejak kecil. Tinggal di satu komplek yang sama, usia yang sama, membuat mereka akrab. Bahkan mereka bersekolah SD, SMP dan SMA yang sama. Bedanya, Tiara dididik dalam lingkungan agama yang kental, sementara Rini lebih banyak dituntut secara akademik oleh kedua orang tuanya. Hari-harinya diisi dengan belajar dan kursus. Hal inilah yang membuat Rini jenuh menjalani hidupnya.
Kedua orang tua Rini adalah dosen, maka tak heran jika keduanya sangat fokus pada pendidikan. Sayangnya, pola didik kedua orang tua Rini yang terlalu berambisi agar Rini selalu berprestasi membuat Rini memendam kejenuhan dan kekecewaan. Ia seperti kehilangan masa kanak-kanaknya.
***
Dodi, ayah Rini dilarikan ke rumah sakit setelah mengalami pingsan di rumahnya. Rini yang saat itu sedang les Matematika sangat kaget mendengar kabar tersebut. Sepanjang perjalanan ke RS, Rini hanya diam. Sementara ibunya tak henti-henti menangis.
"Kalau Ayah kenapa-kenapa gimana, Rin?" tanya ibunya membuka obrolan.
"Ngga tau," jawab Rini singkat.
Sesampainya di RS, Ayah langsung ditangani dokter. Ibu dan Rini terus memantau Ayah, tetapi mereka tidak diperbolehkan ikut ke ruangan.
"Mohon maaf, kami sudah berusaha, tapi Allah berkehendak lain. Mohon keluarga bersabar ya," ungkap dokter beberapa saat setelah menangani Ayah.
Ayah Rini mengalami serangan jantung mendadak. Padahal sebelumnya Ayah baik-baik saja.
Tangis Ibu seketika pecah. Rini yang saat itu bingung tak tahu harus berbuat apa, ikut meneteskan air mata. Ia tiba-tiba merasa khawatir dengan masa depannya.
***
Rumah Rini dipadati oleh tetangga yang melayat. Satu persatu mengucapkan bela sungkawa. Tak ayal, Rini ikutan menangis. Ungkapan kesedihan dari tetangga dan kerabat Ayah merambat ke dalam hati Rini memancingnya untuk terus menangis. Rini bingung, bagaimana ia dan ibunya akan meneruskan hidup. Ia merasa kehilangan pegangan.
Bukan soal finansial yang ia khawatirkan, karena ibunya juga seorang dosen. Tabungan ayahnya juga sudah dipersiapkan untuk pendidikannya sampai jenjang kuliah. Namun, yang mengganjal di hatinya, ia khawatir bagaimana melanjutkan hidup tanpa sosok Ayah. Selama ini, ia tidak pernah berpacaran karena selalu sibuk dan fokus belajar. Akhirnya, hanya Ayahlah satu-satunya lelaki yang dekat dengannya.
***
"Gue bingung, Ra ...," ungkap Rini suatu hari kepada Tiara.
"Bingung kenapa?" tanya Tiara.
"Bokap udah ngga ada, tapi kok hidup gue kayak masih ngga tenang ya? Harusnya kan berkurang, karena sekarang cuma nyokap yang nuntut ini itu ke gue."
"Hmm ... kamu yakin hidupmu bakal tenang kalo ngga ada tuntutan atau target?"
"Ya ngga sih, cuman dari dulu kan gue suka ngerasa jenuh dengan semua target dari orang tua gue. Tapi sekarang, giliran bokap udah ngga ada, tuntutan berkurang, gue masih engga bahagia. Rasanya ada yang kurang gitu."
"Ya berarti emang bukan itu standar bahagia kan, Rin. Hidup selow yang selalu kamu pilih itu bukan jaminan kebahagiaan. Hidup tanpa tuntutan itu ga jamin hidupmu tenang."
"Iyaya, menurut lu kenapa bisa gitu, Ra?"
"Karena kamu udah salah memaknai hidup, Rin. Hidup bagi kamu selama ini cuma soal dunia. Karena itulah kamu sibuk mengejarnya. Tapi urusan akhirat kamu selow banget. Diajak kajian ngga mau, nutup aurat ngga mau, tapi hidup pengen tenang. Padahal yang memberikan ketenangan, yang Maha Membolak-balikkan hati itu Allah. Kamu bukannya mendekat sama Dia, malah menjauh. Ya wajar kalo kamu malah makin ga tenang."
"Emang gitu ya?"
"Iya lah. Kamu pernah denger ngga Muhammad Al Fatih? Dia tuh di usianya yang baru 21 tahun udah menguasai 6 bahasa. Trus udah hafal Qur'an sejak kecil. Jadi pemimpin perang pula dan berhasil lagi menaklukkan Konstantinopel yang saat itu jadi negara adidaya. Menurutmu dia hebat ngga?"
"Ya hebat sih, tapi aku baru denger loh kisah itu."
"Nah itulah kalo kamu ga mau kajian, jadi kudet alias kurang update. Muhammad Al Fatih bisa hebat kayak gitu karena dari kecilnya udah ditanamkan sama orang tuanya kalo dia adalah penakluk Konstantinopel. Mimpinya setiap hari itu. Dia bukan orang selow. Tiap hari belajar, makanya usia muda udah berprestasi. Tapi belajarnya dia bukan untuk dunia. Dia sibuk dan fokus sama akhiratnya."
"Tapi kan, Ra, Muhammad Al Fatih emang diarahkan sama orang tuanya buat jadi hebat gitu, sementara gue kan arahannya beda. Beda standar maksudnya. Kalo Muhammad Al Fatih kan udah diarahkan agama sejak kecil sama orang tuanya, sementara gue dari kecil dituntut berprestasi di bidang akademik. Agama mah nomer belakangan."
"Nah itu kamu nyadar. Berarti ada yang salah dengan pola pendidikan di keluargamu. Ya aku bukan nge-judge ya, tapi menurutku kalian udah salah prioritas. Apa yang kalian kejar itu ngga akan selamanya bisa kalian genggam. Nilai akademik yang kamu bangga-banggakan itu paling bisa dibanggain sampe kapan sih? Paling lama sampe mati kan? Sekarang ini bahkan nilai akademik ngga bisa ngasih manfaat apa-apa buat Ayahmu yang udah ngga ada."
"Hmmm ... iyaya, bener juga sih. Gue pernah denger ceramah dari ustadz tentang itu kalo yang bisa nyelametin orang tua dari azab kubur salah satunya do'a anak yang saleh. Mungkin karena itu ya gue ngerasa ngga tenang. Gue belum jadi anak saleh. Tapi apa gue bisa?"
"Bisa dong, Rin. Semua anak bisa jadi anak salehah, asal mau. Rasul aja pernah bilang, semua orang itu bisa masuk surga kecuali orang yang enggan. Berarti kan tinggal kitanya, mau apa engga. Jalannya udah ada, kitanya mau menempuh jalan itu atau engga."
"Gue ngga ngerti maksud lu. Gimana sih?"
"Ya, jadi anak saleh itu butuh ilmu, Rin. Kamu harus tau gimana cara salat yang bener, cara nutup aurat yang bener, dan masih banyak lagi aturan Islam lainnya yang mesti kamu pelajari. Karena jadi anak saleh itu artinya kamu harus memperbaiki hubunganmu sama Allah jadi lebih deket. Bukan cuma berkaitan dengan hubungan kamu sama orang tua."
"Wah, berat juga ternyata. Gue malah makin under estimate nih."
"Ga usah kejauhan mikirnya, Rin, jalanin aja dulu. Aku juga dulu awalnya kayak kamu, ngerasa berat banget buat hijrah. Ngerasa ga kuat ngejalanin tiap ujian setelah hijrah, ya mulai dari dijauhin temen karena dianggap asing, sampe harus menata rasa yang kadang naek turun. Berat banget, sumpah. Tapi aku jalanin aja. Kajian demi kajian aku ikutin. Sedikit demi sedikit mulai nempel tuh di otakku. Aku mulai dari kelas 1 SMA, artinya udah 2,5 tahun sejak pertama kali aku hijrah, dan seperti inilah aku sekarang."
Tak dinyana Rini pun memerhatikan Tiara dari atas sampai bawah. Baru disadarinya perubahan Tiara yang sangat drastis. Gamis hitam sederhana dan kerudung krem yang menutupi dada. Netranya pun menatap kaos kaki yang membungkus kaki Tiara. Penampilan Tiara sungguh berbeda dengan dirinya yang memakai celana panjang dan kemeja, serta pasmina yang dibelit ke leher. Padahal inilah tren anak muda saat ini. Dalam hati Rini bergumam, "Udah saatnya gue berubah."
Komentar
Posting Komentar