Acara Perpisahan Berbiaya Mahal, Beban Orang Tua Makin Berat

🖤Admin MKM

Banyaknya kasus bullying hingga kekerasan yang berujung kematian, tawuran, tindakan asusila, angka putus sekolah, dan belum meratanya sarana dan prasarana pendidikan di seluruh negeri. Semua ini, persoalan yang perlu menjadi perhatian semua pihak, khususnya bagi pemerintah.

OPINI 

Oleh Yuli Ummu Raihan

Penulis dan Aktivis Muslimah Tangerang


MKM, OPINI_Sebentar lagi khususnya bulan Mei dan Juni adalah masa berakhirnya tahun ajaran sekolah. Acara perpisahan/wisuda telah menjadi fenomena beberapa tahun belakangan untuk merayakan berakhirnya tahun ajaran. Mulai dari tingkatan TK hingga SMA mengadakan acara perpisahan atau pelepasan siswa didik mulai dari menyewa gedung, rumah makan, gor, atau di tempat wisata.

Padahal, dulu perpisahan cukup dilakukan di sekolah dengan membuat panggung sederhana, dihias dengan alat seadanya mengandalkan kreatifitas siswa dan guru. Namun, hari ini acara perpisahan berubah menjadi momen wisuda layaknya mereka yang lulus dari perguruan tinggi. Anak-anak memakai pakaian layaknya orang yang akan diwisuda, lengkap pernak-perniknya.

Kegiatan ini tentu memberikan kesan istimewa, bisa jadi kenangan seumur hidup dan momen yang bisa dikenang di masa yang akan datang. Tetapi tidak dapat dimungkiri acara semacam ini, akan menambah beban orang tua. Orang tua harus mengeluarkan dana yang besar untuk pelaksanaan kegiatan ini. Tidak jarang mereka harus menabung berbulan-bulan, bahkan sejak awal masuk sekolah demi bisa melunasi biaya perpisahan tersebut.

Banyak orang tua yang mengeluh karena kebutuhan hidup makin tinggi. Sementara pendapatan tidak sesuai, terlebih untuk mereka yang tidak memiliki gaji tetap seperti pedagang, pekerja lepas, wiraswasta, dan lainnya. Untuk kebutuhan sehari-hari saja susah, apalagi harus mengeluarkan uang ratusan ribu hingga jutaan yang hanya untuk acara yang lebih kepada seremonial.

Pada tahun ajaran 2022/2023 lalu, warganet ramai mendorong agar wisuda dikembalikan hanya untuk penanda kelulusan mahasiswa dari perguruan tinggi. Sebuah akun Facebook bernama "Lahm Marbun" menceritakan keluh kesahnya. "Kembalikan wisuda hanya untuk lulus kuliah saja, TK, SD, SMP, SMA tidak perlu. Bikin pusing orangtua aja, - Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan RI," tulisnya pada Selasa, 13 Juni 2023. Sementara warganet lainnya bahkan menulis di akun Instagram Mendikbud, Nadiem Makarim yang meminta program itu, dihapuskan karena memberatkan orangtua. (republika.co.id, 15/6/2023).

Alangkah lebih baik biaya tersebut digunakan untuk hal-hal yang lebih bermanfaat dan menunjang kualitas pendidikan. Misalnya mengajarkan kreativitas dengan membuat berbagai perlombaan di sekolah, menanam pohon (berkebun), membagikan bantuan kepada mereka yang membutuhkan seperti seragam sekolah, buku bacaan, alat tulis, maupun membuat acara donasi untuk Palestina serta menceritakan kondisi mereka. Sehingga anak-anak akan tersentuh rasa kemanusiaannya, mereka akan bertambah rasa syukurnya karena masih bisa sekolah, sementara saudara mereka di belahan bumi lainnya hidup dalam keadaan yang sangat memprihatikan serta kegiatan positif lainnya yang mampu membentuk karakter anak-anak sejak dini. 

Untuk memeriahkan acara, bisa dengan makan bersama dengan membawa bekal dari rumah masing-masing, atau patungan untuk memesan makanan, tukar kado sebagai bentuk saling menyayangi, dan lainnya.Dengan cara ini, biaya akan lebih terjangkau dan tidak memberatkan. Dana untuk perpisahan yang begitu besar bisa dimanfaatkan untuk biaya masuk ke jenjang pendidikan lebih tinggi, untuk persiapan tahun ajaran baru seperti membeli perlengkapan sekolah .

Acara perpisahan membutuhkan kemampuan finansial lebih, ini akan menciptakan kesenjangan di antara siswa. Baik dari segi ekonomi maupun rasa percaya diri. Anak merasa rendah diri ketika tidak bisa ikut kegiatan. Tidak sedikit orang tua yang harus berutang demi bisa memenuhi tuntutan ini. 

Sudah saatnya kita punya rasa simpati, tidak semua orang tua diberikan kemudahan dalam mencari rezeki. Mereka harus 'banting tulang' dan 'peras keringat' mengumpulkan rupiah demi rupiah agar anaknya bisa sekolah. Selayaknya pihak sekolah dan orang tua melakukan diskusi dan menampung semua masukan sebelum membuat acara perpisahan. Jangan sampai ada orang tua terpaksa ikut karena tidak punya pilihan, apalagi jika kegiatan ini diwajibkan, bagi mereka yang tidak ikut tetap dikenakan biaya. 

Dilansir dari Kompas.com (25 Juni 2023) Kementrian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) mengeluarkan aturan resmi terkait kegiatan wisuda PAUD hingga SMA yaitu Surat Edaran Sekretaris Jenderal Kemendikbud Ristek Nomor 14 Tahun 2023. Salah satu poin penting dalam surat edaran ini, adalah kegiatan wisuda sekolah tidak boleh menjadi kewajiban yang memberatkan orangtua/wali murid. Surat edaran ini, ditujukan kepada para kepala dinas pendidikan provinsi, kepala dinas pendidikan kabupaten/kota, dan kepala satuan pendidikan di seluruh Indonesia.

Hal ini, sesuai amanat Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah. Dasar hukum aturan terkait wisuda-SMA ini adalah Undang-undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Kita harus melihat esensi dari kegiatan wisuda ini, apakah wisuda itu menjadi bekal untuk menggapai pendidikan yang lebih tinggi, atau hanya budaya? Hal yang jauh lebih penting adalah meningkatkan kualitas pembelajaran dan kualitas layanan pendidikan kepada peserta didik.


Memahami Makna Wisuda

Kata wisuda ternyata berasal dari bahasa Jawa "wisudha" yang berarti pelantikan bagi orang yang telah menyelesaikan pendidikan. Wisuda identik dengan pakaian toga yang berasal dari bahasa Latin "tego" yang artinya penutup. Sementara menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) wisuda adalah peresmian atau pelantikan yang dilakukan dengan upacara peneguhan atau pelantikan bagi seseorang yang telah menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Wisuda menjadi kegiatan yang penuh kenangan bagi anak, orang tua, dan guru. Acara wisuda dianggap penting dan sakral karena tidak semua orang mampu melanjutkan pendidikan hingga ke perguruan tinggi.

Wisuda juga menjadi ajang untuk mengapresiasi rasa bangga dan syukur atas pencapaian siswa di akhir masa studinya. Menurut sosiolog Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Vina Salviana, Dilihat dari aspek sosial acara ini sebenarnya tidak memiliki dampak negatif, namun berdampak pada sisi ekonomi karena agak sedikit pemborosan. (Republika.co.id, 17/6/2023)

Pengamat pendidikan sekaligus koordinator Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, menilai acara wisuda di tingkat sekolah tidak memiliki manfaat dan hanya memberatkan orang tua. Acara wisuda juga bisa disebut ajang flexing di sekolah. Ubaid juga menyaksikan, dalam lima tahun terakhir banyak orang tua yang menggunakan kelulusan anak sebagai kesempatan untuk menggelar acara mewah untuk membanggakan sekolah anaknya . Padahal, sekolah yang mahal dan mampu menggelar acara mewah belum tentu menjamin kualitas pendidikan. (BBCIndonesia.com, 3/7/2023).

Sementara pengamat sosial, Devie Rahmawati mengatakan bahwa perkembangan teknologi di era media sosial ini, telah mengubah pola asuh orang tua. Teknologi melahirkan wujud ekonomi baru yaitu attention economy, semua orang berusaha menarik perhatian. Devi juga mengatakan tidak semua orang tua punya uang, akhirnya ada yg tersisih, kalau pun akhirnya ikut lebih karena tidak punya pilihan, tidak enak dan takut anaknya malu dan kecil hati. Hal ini bertentangan dengan tradisi dan nilai masyarakat Indonesia.

Lebih dari itu kita juga harus melihat fakta bahwa angka kemiskinan di Indonesia sangat tinggi. Badan Pusat Statistik pada Maret 2023 mencatat tingkat kemiskinan ekstrem telah mencapai 1,12 persen. Data BPS juga menyebutkan setiap tahun ajaran baru akan terjadi inflasi dari sektor pendidikan. Pakar keuangan juga menyebutkan bahwa inflasi biaya uang pangkal di Indonesia bisa mencapai 10-15% per tahun. Sementara kenaikan pendapatan seseorang belum tentu mencapai 15% dalam setahun.

Prosesi wisuda adalah sesuatu yang boleh dan sah-sah saja dilakukan, tapi hendaknya jangan menjadi beban bagi orang tua. Jangan sampai acara yang bertujuan sebagai bentuk rasa syukur berubah menjadi rasa was-was dan kebingungan karena orang tua kesulitan untuk membayarnya.

Memang kita tidak boleh pesimis, selama mau berusaha insyaallah ada rezekinya, tetapi bayangkan jika tradisi ini terus menerus dilakukan, dan dianggap sesuatu yang wajib bagaimana nasib orang tua yang memiliki anak lebih dari satu dan kebetulan pada saat yang sama harus melakukan wisuda. 


Pendidikan dalam Islam

Beginilah wajah pendidikan hari ini, semua serba mahal, dan generasi yang dihasilkan pun masih jauh dari kata berkualitas, mungkin dari segi keilmuan banyak melahirkan peserta didik yang unggul di bidang keilmuan, tetapi tidak bisa dimungkiri dari sisi kepribadian masih minim.

Banyaknya kasus bullying hingga kekerasan yang berujung kematian, tawuran, tindakan asusila, angka putus sekolah, dan belum meratanya sarana dan prasarana pendidikan di seluruh negeri. Semua ini, persoalan yang perlu menjadi perhatian semua pihak, khususnya bagi pemerintah.

Pendidikan hari ini juga telah berubah menjadi sebuah industri. Hal ini meniscayakan terjadinya praktek jual beli gelar, ijazah, praktek pungli, sogokan, dan lainnya. Pendidikan tidak lagi hak semua rakyat, tetapi hanya mereka yang mampu membayar. Ingin dapat layanan pendidikan berkualitas, maka harus siap mengeluarkan uang lebih. Jika mau yang gratis, ya harus terima pelayanan ala kadarnya.

Berbeda ketika Islam dijadikan aturan kehidupan. Pendidikan adalah hak semua rakyat tanpa melihat status sosial, agama, dan latar belakang lainnya. Tujuan pendidikan dalam Islam adalah membentuk kepribadian Islam dan mencetak peserta didik untuk menguasai ilmu pengetahuan maupun sains dan teknologi. Pendidikan dalam Islam gratis dan negara wajib menjamin tersedianya segala sarana dan prasarana penunjang pendidikan. 

Tenaga pendidik juga berkualitas karena dalam Islam sebuah pekerjaan hanya akan diserahkan pada ahlinya. Tenaga pendidik juga akan mendapatkan gaji yang layak, sehingga ia akan fokus pada tugasnya. Semua ini bisa terwujud karena Islam memiliki sistem ekonomi yang dapat menopang semua biayanya. Sistem ekonomi Islam memiliki pos-pos pemasukan tetap dan tidak tetap yang menjamin terselenggaranya sistem pendidikan yang baik dan berkualitas. 

Dengan aturan ini, anak didik akan bahagia melakukan proses belajar, guru-guru pun akan fokus dan maksimal memberikan yang terbaik, serta orang tua tidak akan dipusingkan seperti kondisi saat ini. Untuk acara wisuda, negara Islam akan senantiasa mengedukasi masyarakat agar tidak berlebih-lebihan.

Acara wisuda diperbolehkan selama tidak ada yang merasa keberatan, acaranya bermanfaat, dan tidak ada pelanggaran syariat dalam pelaksanaannya. Karena itu, sudah saatnya kita tinggalkan sistem rusak dan beralih kepada penerapan Islam secara kafah agar terwujud generasi berkualitas dan kehidupan yang sejahtera.

Wallahualam bissawab

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Oligarki Rudapaksa Ibu Pertiwi, Kok Bisa?

Rela Anak Dilecehkan, Bukti Matinya Naluri Keibuan

Kapitalis Sekuler Reduksi Kesabaran, Nyawa jadi Taruhan