Pembentukan Generasi Emas, Cukupkah dengan Cuti Ayah?

 

🖤 Admin MKM 

Pemberian cuti seorang ayah bukanlah solusi untuk menyelesaikan permasalahan fatherless. Pasalnya, rusaknya generasi saat ini, bukan disebabkan kehilangan sosok sang ayah semata. Penyebabnya begitu kompleks. Semua bermuara karena sistem yang diterapkan negeri ini, yaitu kapitalisme sekularisme yang orientasinya untuk pencapaian materi semata dan menanggal agama sebagai tuntunan. Banyak sekali yang gagal mendidik, padahal seorang ayah ada di rumah. Dan saat ini, justru kebanyakan adalah seorang ayah jadi pengasuh dan seorang ibu menjadi pencari nafkah.


OPINI


Oleh Rati Suharjo

Pegiat Literasi


MKM, OPINI_"Wahai anakku, janganlah mempersekutukan Allah. Sesungguhnya  mempersekutukan Allah Swt. itu benar-benar kezaliman yang besar." (QS. Luqman : 13) 

Demikian nasihat Luqman kepada anaknya yang telah diabadikan dalam ayat suci Al-Quran. Ayah adalah sosok penting dalam tumbuh kembang seorang anak. Untuk itu, pemerintah akan memberikan hak cuti kepada suami yang istrinya melahirkan atau keguguran. Lama cuti tersebut bervariasi mulai 15 hari, 30 hari, 40 hari, atau sampai 60 hari . Hal ini dilakukan untuk mendorong sumber daya manusia (SDM) berkualitas. (idntimes.com, 14/3/2023)

Ketiadaan peran ayah (Fatherless country) dalam mendidik anak, negeri ini menempati urutan ke 3 sedunia. posisi ayah hanya bertanggung jawab memberi nafkah. Dalam hal ini ayah tidak terlibat secara langsung menjadi tonggak utama pengasuhan.

Psikolog dari Amerika Edward Elmer Smith mengungkapkan, fatherless country merupakan kondisi di mana masyarakat suatu negara tidak merasakan keberadaan dan keterlibatan figur ayah dalam kehidupan sehari-sehari anak. Bukan hanya tidak terlibat secara ruang dan waktu, ketidakhadiran sosok ayah ternyata turut mempengarui kondisi psikis dan psikologis seorang anak.

Bahaya dari fatherless ini menyebabkan anak kehilangan sosok ayah. Ketika kurang kasih sayang anak-anak akan melampiaskan kepada hal lain. Seringkali pelampiasan tersebut justru menyebabkan anak mengalami gangguan kejiwaan. Hal ini bisa menyebabkan kurang percaya diri, anak akan lebih mudah takut, cemas, penyimpangan seksual, kenakalan remaja, dan lainnya.

Namun, pemberian cuti seorang ayah bukanlah solusi untuk menyelesaikan permasalahan fatherless. Pasalnya, rusaknya generasi saat ini, bukan disebabkan kehilangan sosok sang ayah semata. Penyebabnya begitu kompleks. Semua bermuara karena sistem yang diterapkan negeri ini, yaitu kapitalisme sekularisme yang orientasinya untuk pencapaian materi semata dan menanggal agama sebagai tuntunan. Banyak sekali yang gagal mendidik, padahal seorang ayah ada di rumah. Dan saat ini, justru kebanyakan adalah seorang ayah jadi pengasuh dan seorang ibu menjadi pencari nafkah.

Hal ini terjadi dari buah kapitalisme yang diterapkan di negeri ini.  Kapitalisme yang telah mendorong anak-anak menjadi tidak berkualitas. Membentuk anak menjadi

generasi emas, perlu adanya pendidikan dari kandungan hingga dewasa.

Dalam membentuk generasi emas atau generasi unggul tidak cukup hanya dari orang tua semata. Lingkungan (masyarakat) dan negara harus ikut andil di dalamnya. Banyak anak yang tunduk ketika dididik orang tua, tetapi jika lingkungan masyarakat rusak, maka rusaklah semua yang telah dibangun oleh orang tua.

Apalagi dalam kasus saat ini. Kondisi ekonomi sulit, banyak anak yang terpaksa menjadi kehilangan perhatian, akibat kedua orang tua sibuk bekerja. Dari subuh pulang magrib. Ketika pulang, anak telah tidur dan ketika berangkat anak masih tidur. Jadi, waktu untuk mendidik tidak ada.

Banyak di antara orang tua yang menganggap bahwa kebahagiaan anak itu ketika dipenuhi keinginannya. Misalnya, dibelikan motor, HP, pergi ke mall, makan enak dan sebagainya.

Mereka tidak mengerti dampak yang ditimbulkan jika anak dibesarkan oleh lingkungan yang rusak. Seperti, mabuk- mabukan, judi,  kecanduan narkoba, dan tawuran. Besar kemungkinan anak tersebut akan mengikuti lingkungan.

Namun demikian, rusaknya generasi juga belum cukup hanya dari keluarga dan masyarakat saja. Negara harus ikut andil dalam hal ini. Anak adalah estafet untuk membawa kepada peradaban di masa yang akan datang. 

Namun dalam negara kapitalisme sebagaimana yang diterapkan di negeri ini, tidak akan ditemukan peran dari tiga pilar, orang tua, masyarakat dan negara. Hal tersebut, hanya bisa didapatkan ketika sebuah negara menerapkan sistem Islam.

Adapun dalam sistem Islam maka kebijakan negara adalah sebagai berikut :

1. Pendidikan. Dalam mencetak generasi emas, negara tidak hanya mendorong kepada sain dan teknologi semata. melalui kurikulum, negara harus memberikan kurikulum yang sempurna. Yaitu mendidik dengan akidah Islam. Dengan mengerti bahwa manusia adalah hamba Allah Swt. maka anak tersebut akan mengetahui perbuatan yang baik dan buruk menurut hukum syara'. Mereka akan memahami isi Al-Qur'an. Sehingga akan lahir generasi yang faqih fidiin. Seperti Ibnu Sina, Aljabar, Alkharizmi, dan lainnya.

2. Masyarakat. Masyarakat harus memiliki ruh amar ma'ruf nahi mungkar. Mereka akan mengarahkan anak orang lain seperti anaknya sendiri. Yaitu dengan melakukan amar makruf nahi mungkar.

3. Negara. Negara sangat perlu dalam pembentukan generasi unggul atau emas.  yaitu selain mengarahkan  pendidikan dan masyarakat. Negara harus memberi kebijakan  yang tegas, yaitu merujuk kepada Al-Qur'an, as-sunah, ijma, dan qias.

Kendati demikian, membentuk generasi emas, tidak cukup hanya dilakukan seorang ayah bunda saja. Akan tetapi, masyarakat dan negara pun ikut andil dalam pembentukan ini.

Sayangnya kebijakan ini hanya akan terwujud, jika negara menerapkan Islam kafah dalam bingkai Daulah Islamiyah bukan kapitalisme sekularisme.

Wallahualam bissawab.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Oligarki Rudapaksa Ibu Pertiwi, Kok Bisa?

Rela Anak Dilecehkan, Bukti Matinya Naluri Keibuan

Kapitalis Sekuler Reduksi Kesabaran, Nyawa jadi Taruhan