Kenaikan Harga Pangan di Bulan Ramadan Jadi Tradisi?

 

🖤 Admin MKM 

Demikianlah jika hidup dalam sistem kapitalis. Kezaliman seperti ini akan terus terjadi. Hal ini akan jauh berbeda jika pengaturan masalah pangan diatur dengan Islam. Islam harus diwujudkan secara nyata di tengah kehidupan, sehingga menjadi undang-undang yang mengikat, yang dapat mewujudkan ketahanan pangan. Ini hanya bisa terwujud dengan Khilafah. 


OPINI 

 

Oleh Irawati Tri Kurnia

Ibu Peduli Umat

 

MKM, OPINI_Sudah menjadi tradisi jika selama bulan Ramadan harga pangan naik. Masyarakat akhirnya melumrahkan hal ini walapun mereka merasa sengsara. Ini problem klasik yang hingga kini belum terpecahkan. Seperti harga telur, cabai, daging ayam, daging sapi, semua meroket. Harga beras menjadi harga yang paling fantastis kenaikannya (Liputan6.com, 5/3/2024).

Problem ini adalah problem sistemik. Kalau kita perhatikan fakta, yang menguasai pasar, ternyata hanya lima sampai enam perusahaan besar saja. Sebagaimana prinsip dalam kapitalisme yaitu harus mengontrol pangan dunia. Hal ini merupakan strategi negara besar kapitalisme untuk mengendalikan negeri-negeri muslim. Terkait produksi pangan hingga pendistribusiannya. 

Tak dapat dimungkiri sekarang banyak pedagang pangan. Namun ketika mereka kulakan, mereka hanya akan bertemu dengan lima sampai enam konglomerasi tadi. Sehingga semua kendali pasar, ada di tangan konglomerasi tersebut. Mereka tentu dengan mudah mempermainkan harga untuk meraup keuntungan.

Saat ini kondisi yang terjadi, ada pengusaha besar membeli beras dari petani dengan harga tinggi. Tapi yang memprihatinkan, beras ini  diekspor karena keuntungannya cukup menggiurkan. Otomatis stok beras dalam negeri berkurang, sehingga pemerintah mencukupinya dengan impor. Dengan demikian terjadi kekacauan distribusi pangan. 

Sedangkan di sektor produksi, sebenarnya Indonesia kaya akan jenis bahan pangan. Ada beras, sagu, jagung, ketela, kentang, dan lain-lain. Tentu untuk produksinya, membutuhkan lahan. Ternyata dalam masalah lahan pun ada konglomerasi besar, di mana pemerintah menyerahkan pengelolaan lahan berhektar-hektar pada mereka. Hal ini bertujuan agar mereka bisa mengontrol populasi manusia, untuk mendapatkan keuntungan materi semaksimal mungkin. Inilah fakta pahit hidup di alam sekuler kapitalistik, di mana pengadaan pangan sudah dikomersilkan. Hilang sudah peran negara sebagai pelayan rakyat. 

Sementara di sisi lain rakyat  tidak terbiasa menanam sendiri apa yang menjadi kebutuhan mereka. Seperti menanam cabai, tomat, sayur, di halaman rumah. Mereka terbiasa membeli. Sehingga hal ini membuat mereka bergantung pada pasar, sedangkan pasar bergantung pada oligarki dan produksi negara lain. Maka hal itu menjadikan kemandirian pangan negara hanya sebuah mimpi belaka. Akhirnya terbangun kebiasaan di tengah masyarakat bahwa mereka harus bersiap jika harga pangan naik, padahal mereka dizalimi dan mereka diam. Diamnya mereka ini akan dipertanggungjawabkan di hari akhir kelak. 

Demikianlah jika hidup dalam sistem kapitalis. Kezaliman seperti ini akan terus terjadi. Hal ini akan jauh berbeda jika pengaturan masalah pangan diatur dengan Islam. Islam harus diwujudkan secara nyata di tengah kehidupan, sehingga menjadi undang-undang yang mengikat, yang dapat mewujudkan ketahanan pangan. Ini hanya bisa terwujud dengan Khilafah. 

Dalam Islam, siapa pun yang menghidupkan lahan, maka lahan itu menjadi miliknya. Imam al-Bukhari menuturkan hadis dari Umar ra, Rasulullah saw. bersabda :

“Siapa saja yang telah menghidupkan sebidang tanah mati maka tanah itu miliknya." (HR. Bukhari)

Sehingga Khilafah akan mengawasi pelaksanaannya, melakukan pencatatan secara detil berkaitan kepemilikan lahan.

Jika Rasululluh melihat pasar yang penuh tipu daya, maka Rasululah membuat pasar baru. Saat Bani Qainuqa membuat pasar yang penuh kecurangan dan tipu daya, maka Rasulullah menyatakan bahwa ini bukan pasar untuk kaum muslim. Kemudian beliau membuat pasar baru di Baqi yang diatur berdasarkan syariat Islam. Setiap pedagang di sana tidak boleh memiliki lapak permanen, tapi yang datang lebih dulu yang boleh memilih tempat yang strategis. Ini akan mencegah timbulnya pedagang besar yang berpotensi memonopoli pasar. 

Rasulullah mengawasi dengan ketat  pasar tersebut dengan berperan sebagai hakim/qadhi hisbah. Rasulullah sendiri yang mengawasi jangan sampai ada praktik kecurangan, penimbunan, praktik ribawi, dan lain-lain. Akhirnya berdampak pada matinya pasar Bani Qainuqa. Karena ditinggal pembeli, dan mereka lebih memilih pasar Rasulullah sebab mereka diperlakukan lebih baik di sana.

Saat seorang muslim menjabat sebagai pejabat negara, jika dia sebelumnya adalah pengusaha, dia akan meninggalkan profesinya sebagai pengusaha untuk fokus mengurus rakyat. Sehingga tidak akan ada konflik kepentingan antara pengusaha dan penguasa, yang saat ini sering disebut peng-peng (penguasa yang juga pengusaha).

Inilah pengaturan Islam untuk mengatasi melonjaknya harga pangan. Dan hanya dengan Khilafahlah, stabilisasi harga pangan bisa terwujud

Wallahualambissawab

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Oligarki Rudapaksa Ibu Pertiwi, Kok Bisa?

Rela Anak Dilecehkan, Bukti Matinya Naluri Keibuan

Kapitalis Sekuler Reduksi Kesabaran, Nyawa jadi Taruhan