Memupus Gamang dalam Melabel Halal

 

🖤Admin MKM


Allah Swt. telah mewajibkan umat Islam untuk mengonsumsi makanan dan minuman yang halal. Sebagaimana firman-Nya, “Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagimu.” (TQS. Al Baqarah: 168)

OPINI 

Oleh Tia Damayanti, M.Pd.

Pemerhati Masalah Sosial 


MKM, OPINI_Bagi umat Islam, kehalalan merupakan bagian yang tak terpisah dari syariat-Nya. Terlebih dalam urusan konsumsi makanan dan minuman. Islam menuntun penganutnya untuk hanya mengonsumsi makanan yang halal dan meninggalkan yang haram. Sejatinya, bumi beserta seluruh isinya telah Allah tundukkan untuk kepentingan manusia dengan tersedianya berbagai jenis makanan. Maka, memastikan kehalalan suatu makanan sangatlah penting untuk diperhatikan. 

Indonesia adalah negara dengan jumlah umat Islam terbesar di dunia (berdasarkan laporan The Royal Islamic Strategic Studies Centre (RISSC) yang bertajuk The Muslim 500: The World's 500 Most Influential Muslims 2024), sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk senantiasa melindungi kebutuhan umat Islam akan produk halal. Terlebih di bulan Ramadan jelang Idul Fitri ini, lonjakan kebutuhan akan konsumsi makanan dan minuman demikian meningkat. Di sisi lain, sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk senantiasa melindungi kebutuhan umat Islam akan produk halal ini.

Kegamangan Kebijakan Pemerintah

Pemerintah melalui Kementerian Agama mewajibkan pedagang makanan dan minuman termasuk pedagang kaki lima (PKL) untuk memiliki sertifikat halal dengan batas waktu 17 Oktober 2024. Kewajiban ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 39 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal (JPH). (kompas.com, 2/2/24) 

Sertifikasi halal pada berbagai produk yang beredar di Indonesia telah diberlakukan secara bertahap sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 39 Tahun 2021. Pada tahap awal, kewajiban sertifikasi halal dikenakan pada produk makanan dan minuman, bahan baku, bahan tambahan pangan, dan bahan penolong untuk produk makanan dan minuman, serta jasa sembelih dan hasil sembelihan. 

Untuk produk-produk yang dipastikan kehalalannya ini tanpa perlu diuji terlebih dahulu, karena sudah memenuhi kriteria tidak berisiko. Jadi dapat menggunakan skema self declare yang biayanya gratis. Sedangkan untuk produk-produk yang harus melalui tahap uji, maka harus menggunakan skema reguler.

Adapun biaya sertifikasi halal pada skema reguler ini, tergantung skala usaha yang tertulis dalam Nomor Induk Berusaha (NIB). Biaya sertifikasi halal untuk skala Usaha Mikro dan Kecil (UMK) sebesar Rp300.000, skala usaha menengah sebesar Rp5 juta, dan skala usaha besar sebesar Rp12,5 juta. 

Sepanjang tahun 2023, Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama telah menyediakan layanan Sertifikasi Halal Gratis (Sehati). Kuota yang tersedia adalah satu juta pengajuan sertifikasi halal gratis. Jumlah ini tentu sangat sedikit jika dikaitkan dengan keberadaan PKL yang berkisar 22 juta di seluruh Indonesia. Apalagi mereka perlu sertifikasi ulang secara berkala, karena sertifikasi ada masa berlakunya. Mengutip laman indonesiabaik.id, proses sertifikasi halal akan membutuhkan waktu yang lumayan lama, yaitu sekitar 21 hari. 

Apakah upaya dari pemerintah ini efektif untuk menjamin produk halal yang beredar di masyarakat? Ataukah mungkin ada mekanisme lain yang lebih baik? Dalam kenyataannya kebijakan tersebut malahan menimbulkan kegamangan pada masyarakat. Apa dan bagaimana semestinya satu upaya berupa kebijakan pelaksanaan sertifikasi halal, bisa kita runut dari tinjauan filosofi sertifikasi halal terlebih dahulu. 

Filosofi Sertifikat Halal 

Allah Swt. telah mewajibkan umat Islam untuk mengonsumsi makanan dan minuman yang halal. Sebagaimana firman-Nya, “Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagimu.” (TQS. Al Baqarah: 168)

Sebagai konsekuensinya, maka setiap muslim wajib memastikan produk yang dikonsumsinya, termasuk produk halal ataukah tidak halal, dengan mencermati identitas sertifikasi halal pada kemasan produk tersebut. Dengan demikian umat Islam pun yakin pada apa yang akan dipilihnya untuk dibeli sesuai kebutuhan. Tidak lagi kebingungan dan yakin akan kehalalan produk yang dikonsumsinya. Nah, di sini lah dibutuhkan adanya peran negara, untuk memastikan kehalalan produk. Di era kapitalisme seperti halnya sekarang, pun banyak produk haram bertebaran tanpa label haram. 

Secara filosofi, sertifikasi halal menunjukkan hadirnya peran negara dalam menjamin kehalalan produk yang beredar di masyarakat. Negara, dalam hal ini pemerintah, sejatinya menggunakan prinsip mudah dan tidak berbelit-belit dalam birokrasi, cepat dalam pelaksanaan tugas, dan didukung SDM yang kapabel di bidangnya. 

Bahkan negara diharapkan memberikan layanan sertifikasi halal secara gratis. Negara juga yang hendaknya aktif mengawasi setiap produk yang beredar di masyarakat dan memastikan hanya yang halal saja yang beredar. 

Ironisnya, jaminan halal yang seharusnya menjadi tugas utama negara, justru menjadi ajang bisnis. Semua bisa dikomersialisasi. Rakyat (produsen/pengusaha) dibebani untuk mengurus sertifikat, dengan biaya yang tidak murah. Di sisi lain, ketika menjalani usaha—di luar urusan sertifikasi halal— mereka harus mempersiapkan modal dengan plan A, B, C, agar dapat bertahan di tengah sistem perekonomian hari ini. Belum lagi mereka pun sudah terbebani berbagai pungutan, seperti: pajak, IMB, perizinan, dan lain-lain. Begitulah gambaran peran negara yang hanya menjadi regulator dan fasilitator.

Mekanisme Jaminan Halal dalam Islam 

Persoalan halal-haram makanan dan minuman dalam sistem Islam bukanlah perkara main-main, karena menyangkut produk yang dikonsumsi ratusan juta muslim di negeri ini. Menyediakan jaminan halal bagi rakyat merupakan bagian dari tanggung jawab negara sebagai pelayanan urusan rakyat, yaitu sebagai pengurus dan pelindung rakyat. Termasuk juga dalam melindungi akidah/agama.

Rasulullah saw. bersabda yang artinya, “Imam (khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR. Al-Bukhari)

Sejatinya melayani proses sertifikasi kehalalan produk itu wajib secara cuma-cuma, tidak dijadikan lahan mendulang cuan. Biaya sertifikasi halal yang saat ini dibebankan pada rakyat, pengaturannya dalam mekanisme sistem Islam akan menggunakan dana dari pos Baitul Mal. Jaminan kehalalan suatu produk -mulai proses pengadaan bahan, proses produksi, hingga pendistribusiannya akan senantiasa diawasi. Pengawasan ini untuk memastikan, bahwa seluruh produk dalam kondisi aman. Jadi negara yang akan menjamin pembiayaan sertifikasi halal dan melayani dengan kemudahan birokrasi. 

Atau bisa dengan mekanisme yang lebih sederhana. Dalam hal ini misal, produk yang beredar lebih banyak produk halal daripada yang haram, maka diberlakukan label haram saja. Dengan mekanisme ini, produsen tidak terbebani waktu dan biaya untuk mengurus administrasi yang rumit. Produksi berbiaya tinggi pun dapat terhindarkan. Pelaku usaha tenang, rakyat sebagai konsumen juga tidak gamang. Mekanisme ini akan efektif dengan pengawasan distribusi bahan pangan di pasar, seperti: daging, lemak, minyak, dan sebagainya. 

Gambaran mekanisme yang dilakukan oleh seorang khalifah, di antaranya dengan mensterilkan bahan-bahan haram dari pasar, agar masyarakat tak lagi bingung dalam membedakan halal dan haram. Khalifah akan menugaskan para qadi hisbah untuk rutin melakukan pengawasan setiap hari ke pasar-pasar, tempat pemotongan hewan, gudang pangan, ataupun pabrik. Para qadi ini bertugas mengawasi produksi dan pendistribusian produk untuk memastikan kehalalan produk, tidak adanya kecurangan dan kamuflase dari aktifitas yang dilakukan. 

Sebagaimana dicontohkan pada masa Khalifah Umar bin Khaththab, beliau pernah menulis surat kepada para wali yang memimpin daerah dan memerintahkan agar mereka membunuh babi dan membayar harganya dengan mengurangi pembayaran jizyah dari nonmuslim. 

Selain itu, khalifah akan terus membangun kesadaran umat Islam terhadap pentingnya memproduksi dan mengonsumsi produk halal. Proses edukasi ini diberikan baik kepada pedagang, maupun kepada setiap individu rakyat, agar sadar halal dan mewujudkannya dengan penuh kesadaran. 

Namun, sertifikasi halal tidak akan ada manfaatnya, jika umat Islam sendiri tidak peduli dengan kehalalan produk yang dikonsumsinya. Hanya kesadaran atas dasar keimanan yang kuat, yang tidak akan membuat mereka (baca: umat Islam) mengambil keuntungan dari sesuatu yang tak halal. Karenanya, masyarakat akan berpartisipasi mengawasi kehalalan berbagai produk yang beredar, seperti dengan mendirikan lembaga pengkajian mutu untuk membantu khalifah mengontrol mutu juga kehalalan suatu produk. Kemudian, hasil penelitian mereka direkomendasikan kepada khalifah untuk dijadikan acuan kehalalan suatu produk.

Langkah terakhir, khalifah akan memberlakukan sanksi/hukuman kepada industri yang menggunakan cara-cara dan zat haram, serta memproduksi barang haram. Bagi para pedagang yang memperjualbelikan barang haram kepada kaum muslim, akan diberi sanksi. Sedangkan kaum muslim yang mengonsumsi barang haram tersebut akan dikenai sanksi sesuai nash syariat. 

Misalnya, peminum khamr mendapatkan sanksi jilid (cambuk) sebanyak 40 atau 80 kali. Muslim yang mengonsumsi makanan mengandung unsur babi yang diharamkan, akan dikenakan pidana ta’zir (hukuman yang tidak ditentukan oleh Al-Qur'an dan hadis yang berkaitan dengan kejahatan yang melanggar hak Allah dan hak hamba oleh pengadilan.

Masyaallah begitu rincinya Islam melalui seorang khalifah mengatur permasalahan kehalalan produk makanan dan minuman yang beredar di masyarakat. Halal-haram bersumbar dari syariat-Nya, sehingga umat akan tenang berbelanja kebutuhan makanan dan minuman dengan jaminan kepastian negara. Gamang pun pupus dalam melabel halalnya makanan dan minuman. Sudah selayaknya kita merujuk kepada bagaimana Islam dalam hal ini, menjadikan Al Khalik, Allah Swt. menuju keberkahan dan membawa rahmat bagi semua. Wallahualam bissawaab.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Oligarki Rudapaksa Ibu Pertiwi, Kok Bisa?

Rela Anak Dilecehkan, Bukti Matinya Naluri Keibuan

Kapitalis Sekuler Reduksi Kesabaran, Nyawa jadi Taruhan