Remisi Pemicu Maraknya Kejahatan

 

🖤 Admin MKM 

"Sesungguhnya telah aku tinggalkan pada kalian dua perkara yang tidak akan tersesat selagi (kalian) berpegang teguh dengan keduanya yaitu al-Qur’an dan As-sunah."(HR. al-Hakim 1/284)

OPINI 

Oleh Rati Suharjo

Pegiat Literasi


MKM, OPINI_Bukan rahasia umum lagi, menjelang hari raya ldulfitri 1445 H, pemerintah memberikan remisi kepada para narapidana. Hal ini, dilakukan sebagai bentuk reward terhadap narapidana yang telah berkelakuan baik. Seperti di lembaga pemasyarakatan dan ruang tahanan Sulawesi Selatan, telah memberikan remisi kepada 5931 warga binaan dan 14 orang diantaranya langsung bebas. (cnnindonesia.com, 14/4/2024)

Sementara itu, di Jawa Barat sebanyak 128 narapidana, juga telah mendapatkan remisi, bahkan langsung bebas. Begitu juga tidak ketinggalan narapidana Setya Novanto, yaitu kasus Korupsi Kartu Tanda Penduduk atau E-KTP, kembali mendapatkan remisi seperti tahun 2023, yaitu selama satu bulan. (tempo.com, 12/4/2024)

Pemberian remisi, bukan hanya di bulan Idulfitri saja, tetapi di bulan perayaan kemerdekaan RI, 17 Agustus dan hari Natal. Pemberian remisi ini, tentu menyenangkan para narapidana. Pun, menguntungkan negara dengan berkurangnya biaya kebutuhan narapidana, pangan misalnya.

Apakah dengan remisi ini, kejahatan di negeri ini terhenti? Tentu saja tidak. Faktanya, kejahatan makin marak, terlebih hukum yang diberikan kepada pelaku kejahatan kurang memberikan efek jera. Apalagi ditambah remisi, jelas hal ini membuat kebahagian tersendiri bagi pelaku.

Menurut Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, sepanjang tahun 2023 kasus korupsi telah mencapai 431. Kejahatan ini telah merugikan negara 3.6 triliun. Ditambah kasus korupsi pertambangan timah, yang baru saja terjadi hingga merugikan negara 271 triliun.

Ini membuktikan, bahwa hukum di negeri ini tidak memberikan efek jera kepada pelaku kejahatan. Kejahatan demi kejahatan terus merajalela, hingga membuat sidang pengadilan tidak mampu menyelesaikan kasus dengan tuntas. Tersebab, untuk menyelesaikan satu perkara saja membutuhkan waktu lama, bisa berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Alhasil, kondisi ini memberikan peluang kepada pelaku kejahatan untuk lolos dari jeratan hukum dengan mengajukan naik banding. Demikian juga, ruang tahanan penuh sesak dengan pelaku kriminal, tentu ini menjadi masalah besar bagi pemerintah, karena harus menyiapkan dana besar untuk kebutuhan para tahanan.

Fakta ini, akan terus berulang di negeri ini, selama negeri ini melanggengkan sekularisme. Selama itu juga, tidak memberikan efek jera bagi pelaku. Dalam sekularisme, suara manusia adalah suara tuhan yang mampu menetapkan hukum. Padahal, jika dilihat dari fitrahnya, manusia adalah mahluk terbatas dan lemah.

Persoalan di atas membuktikan bahwa akal manusia terbatas. Keterbatasan itu, tampak pula bahwa manusia tidak mampu menjangkau Sang Khalik dengan penglihatannya, tetapi manusia diwajibkan untuk menyakini dan memercayai keberadaan Sang Khalik melalui segala yang diciptakan-Nya. Sebagaimana dijelaskan dalam hadis yang diriwayatkan Ibnu Hibban, bahwa Rasulullah saw. memerintahkan manusia memikirkan ciptaan-Nya, bukan Dzat Allah Swt., "Pikirkanlah kekuasaan -kekuasaan Allah dan janganlah kau pikirkan zat-Nya. Sesungguhnya kamu tak akan mampu memikirkan hakikatNya."

Dalil tersebut membuktikan bahwa, kedudukan manusia sebagai makhluk. Sebagai makhluk tentu ada yang menciptakan yaitu Allah. Agar manusia (makhluk) berjalan dengan benar dalam menjalani kehidupan, Allah Swt. memberikan petunjuk melalui Al-Qur'an dan As-Sunah. Sebagaimana dijelaskan dalam sabda Rasulullah saw. "Sesungguhnya telah aku tinggalkan pada kalian dua perkara yang tidak akan tersesat selagi (kalian) berpegang teguh dengan keduanya yaitu al-Qur’an dan As-sunah." (HR. al-Hakim 1/284)

Al-Qur'an adalah seperangkat aturan yang mengatur manusia, mulai bangun tidur hingga membangun negara. Telah terbukti, umat Islam berjaya selama 13 abad ketika mereka menjalankan aturan Allah secara sempurna dalam kehidupan. Ini bukti bahwa Al-Qur'an bukan sekadar untuk tadarus di bulan suci Ramadan semata, tetapi sebagai pedoman hidup manusia dalam segala aspek kehidupan baik politik, ekonomi, sosial, budaya, keamanan, pertahanan, dan lainnya.

Begitu juga dalam pemberian sanksi, seperti zina, pembunuhan, dan perampokan telah di atur dalam Islam seperti hudud, qishash, dan jinayat. Hukuman tersebut dijatuhkan kepada pelaku sesuai tingkat kejahatannya. Jika dalam Al-Qur'an tidak dijelaskan secara rinci hukum-hukumnya, maka sanksi tersebut diberikan oleh khalifah berupa ta'zir. Semua bentuk sanksi diberikan agar memberikan efek jera bagi pelaku dan masyarakat tidak berani berbuat hal yang sama.

Masyarakat dalam pemerintahan Islam tercegah dari niat melakukan kejahatan karena sanksi dalam Islam menimbulkan efek rasa takut. Oleh karena itu, menerapkan syariat Islam secara kaffah dalam institusi negara mampu menyelesaikan permasalahan termasuk meminimalisir tindak kejahatan. Tidak seperti saat ini, memberikan remisi dan sanksi kepada narapidana, justru tingkat kejahatan makin tinggi.

Wallahualam bissawab.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Oligarki Rudapaksa Ibu Pertiwi, Kok Bisa?

Rela Anak Dilecehkan, Bukti Matinya Naluri Keibuan

Kapitalis Sekuler Reduksi Kesabaran, Nyawa jadi Taruhan