Sistem Kelas BPJS Dihapus Diganti KRIS, Siapa yang Diuntungkan?
![]() |
🖤 Admin MKM |
Sebelumnya, semua kelas BPJS Kesehatan mendapat pengobatan atau pelayanan medis yang sama. Kecuali untuk rawat inap dan fasilitas nonmedis peserta kelas I, II, dan III mendapat pelayanan berbeda. Namun, dengan adanya kebijakan JKN-KRIS yang akan diberlakukan paling lambat 30 Juni 2025 semua golongan masyarakat akan mendapat pelayanan yang sama dari rumah sakit baik medis maupun nonmedis.
OPINI
Oleh Nur Fitriyah Asri
Penulis Ideologis Bela Islam Akademi Menulis Kreatif
MKM, OPINI_Presiden Jokowi, Rabu (15/5/2024) resmi menghapus aturan sistem kelas I, II, dan III dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) BPJS Kesehatan. Sebagai gantinya akan diterapkan sistem Kelas Rawat Inap Standar (KRIS). Kebijakan itu termuat dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59 Tahun 2024 tentang Perubahan Ketiga atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 Jaminan Kesehatan. (Tempo.com, 16/5/2024)
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, saat mendampingi Presiden Jokowi di RSUD Kabupaten Konawe (12/5/2024) menjelaskan Perpres Nomor 59 Tahun 2024. Pada dasarnya mengatur soal penyederhanaan standar kelas layanan BPJS Kesehatan dengan pertimbangan untuk memperbaiki kualitas layanan BPJS Kesehatan. Maksudnya, KRIS tidak menghapus kelas BPJS Kesehatan, akan tetapi pelayanan terkait rawat inap di rumah sakit ditingkatkan dengan kualitas yang seragam untuk semua layanan.
Sebelumnya, semua kelas BPJS Kesehatan mendapat pengobatan atau pelayanan medis yang sama. Kecuali untuk rawat inap dan fasilitas nonmedis peserta kelas I, II, dan III mendapat pelayanan berbeda. Namun, dengan adanya kebijakan JKN-KRIS yang akan diberlakukan paling lambat 30 Juni 2025 semua golongan masyarakat akan mendapat pelayanan yang sama dari rumah sakit baik medis maupun nonmedis.
Sementara itu, Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron dalam Rencana Kerja dan Anggaran Tahunan (RKAT) memprediksi adanya potensi defisit tahun berjalan pada 2024. Lantaran besarnya beban jaminan kesehatan yang ditanggung lebih besar dibanding dengan pemasukan iuran peserta BPJS Kesehatan. Sejatinya keuangan Dana Jaminan Sosial Kesehatan BPJS masih mampu untuk membayarkan klaim manfaat 4,36 bulan ke depan, ungkapnya. (Bisnis.com, 11/1/2024)
Tentu saja potensi defisit merupakan ancaman dan tantangan terhadap implementasi JKN-KRIS. Artinya, kebijakan KRIS akan memunculkan polemik dan masalah baru. Bagaimana Islam memandangnya?
Polemik dan Tantangan Implementasi KRIS
Wajar jika menimbulkan polemik, karena kurangnya sosialisasi. Maka, banyak masyarakat yang belum tahu apa itu KRIS. Tentu hal ini memicu beragam persepsi dan polemik di tengah masyarakat, di antaranya:
Pertama, terkait tarif KRIS belum ada kepastian masih akan diumumkan sebelum Juli 2025. Lumrah, jika menimbulkan kekhawatiran di kalangan peserta BPJS Kesehatan khususnya yang berada di kelas III takut iurannya dinaikkan. Tersebab, iuran BPJS Kesehatan per jiwa sebesar Rp35.000,- per bulan dianggap memberatkan dan membebani meski sudah disubsidi pemerintah Rp7000,-.
Kedua, salah satu kriteria aturan KRIS adalah satu ruangan rawat inap maksimal diisi empat tempat tidur. Tentu saja rumah sakit harus menyesuaikan dengan mengurangi jumlah tempat tidur yang sebelumnya melebihi ketentuan, kecuali ada pembangunan baru. Hal ini berdampak pada antrean pasien yang memerlukan layanan rawat inap. Padahal di lapangan banyak masyarakat yang belum menjadi peserta BPJS Kesehatan dan mempunyai kartu kesehatan. Akankah implementasi KRIS terwujud?
Ketiga, tampaknya wacana dana BPJS/KRIS mengalami defisit benar-benar akan terjadi. Apalagi mengacu pada kondisi ekonomi negara kita sedang tidak baik-baik saja. Sebagai parameter, yakni tingginya angka kemiskinan, pengangguran, dan banyaknya PHK. Ditambah utang negara yang membengkak dan merosotnya nilai kurs rupiah. Hal ini berdampak pada lemahnya daya beli masyarakat karena inflasi. Di sisi lain ada kewajiban membayar iuran dana kesehatan BPJS per jiwa untuk kelas I Rp150.000; kelas II Rp100.000; dan kelas III Rp35.000; (Rp7.000 subsidi dari pemerintah). Mahalnya iuran BPJS membuat mereka berpikir ulang tentu lebih mengutamakan urusan perut. Hal ini yang menyebabkan BPJS defisit dan akan berdampak pada kualitas layanan kesehatan yang diberikan.
Sebagaimana yang pernah terjadi pada tahun 2018, BPJS Kesehatan defisit mencapai Rp11,69 triliun. Akibatnya berlaku kebijakan baru, untuk pasien rawat inap hanya dibatasi selama tiga hari. Ini berlaku juga untuk pasien belum sadar pascaoperasi kepala. Hal ini penulis alami sendiri ketika suami peserta ASKES mengalami kecelakaan tahun 2019. Mengingat suami belum sadar penuh masih tergantung infus, oksigen, dan peralatan medis lainnya, sampai-sampai penulis mengemis minta ditambah perawatan inap dengan uang pribadi. Namun, tetap tidak bisa, katanya ini peraturan BPJS sembuh atau belum harus pulang, ujarnya. Terpaksa pulang dengan ambulance, sungguh kebijakan zalim tidak berperikemanusiaan. Bagaimana mungkin dengan keluarga pasien yang terbatas pengetahuannya tentang kesehatan dan terbatas keuangannya? Wajar, jika pada akhirnya banyak pasien yang pulang dengan terpaksa dan tidak tertolong jiwanya. Di manakah peran negara?
Keempat, karpet merah digelar untuk industri asuransi kesehatan. Penghapusan kelas BPJS Kesehatan akan mendorong orang-orang kaya beralih ke asuransi swasta (komersial). Pasalnya, peserta BPJS Kesehatan kelas I logikanya keberatan jika pelayanannya disamakan dengan peserta BPJS Kesehatan kelas II dan III yang dirawat di dalam kamar berisi 4 pasien. Mereka akan beralih ke asuransi swasta, dengan membayar mahal agar mendapatkan pelayanan yang baik dan bisa memilih kamar yang berisi satu pasien. Alhasil, implementasi KRIS tidak bisa terwujud. Sejatinya yang diuntungkan adalah industri asuransi, bukan kesejahteraan rakyatnya.
Sistem Kapitalis Biangnya
Semua itu akibat negara menerapkan sistem ekonomi kapitalis yang berasaskan sekularisme, yakni sistem yang memisahkan agama dari kehidupan. Wajar, jika orientasinya hanya mencari keuntungan semata tanpa memedulikan haram dan halal. Penguasa hanya berperan sebagai regulator, yakni pembuat undang-undang. Mirisnya, undang-undang yang dibuat justru berpihak pada industri asuransi BPJS Kesehatan milik oligarki. Tega-teganya menyerahkan leher rakyatnya untuk diisap darahnya. Sebab, dalam ketentuan UU BPJS, Pasal 14 menyebutkan: "Setiap orang, termasuk orang asing yang bekerja paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia, wajib menjadi peserta program jaminan sosial." Wajib, artinya setiap orang baik anak-anak maupun dewasa, orang kaya ataupun miskin, semuanya wajib ikut program jaminan sosial kesehatan di BPJS. Ini tidak gratis, tetapi per kepala wajib membayar iuran BPJS. Bagaimana jika anggota keluarga lebih dari dua, tiga, atau empat? Sungguh mencekik rakyatnya!
Sangat gamblang, pemerintah membohongi rakyatnya atas nama Jaminan Kesehatan Negara (JKN). Jaminan apa? Faktanya berlepas tangan dan berkhianat terhadap UUD 1945, Pasal 34 ayat 3 yang menyebutkan, "Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak."
Tak ayal dalam sistem demokrasi pelanggaran demi pelanggaran konstitusi selalu terjadi. Karena hukum dibuat untuk dilanggar bukan untuk ditaati. Demikianlah jika aturan dibuat oleh manusia, hukum pun bisa direkayasa oleh siapa yang berkuasa. Masihkah berharap dan percaya bahwa sistem demokrasi bisa menyejahterakan rakyatnya?
Jaminan Kesehatan dalam Islam
Jika dalam sistem demokrasi kapitalis penguasa berpihak pada pemilik modal dan oligarki, bahkan kesehatan rakyatnya dijadikan komoditas yang orientasinya untung-rugi. Dengan slogan "ada uang ada pelayanan dan jasa."
Berbeda dengan negara yang menganut sistem Islam (Khilafah). Syarak mewajibkan, "Imam (khalifah) adalah raa'in (pengurus rakyat) dan dia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya." (HR. Bukhari)
Oleh karenanya, pelayanan kesehatan merupakan kewajiban negara kepada masyarakat diberikan secara cuma-cuma (gratis). Inilah yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. selanjutnya diikuti oleh para khalifah setelahnya hingga runtuhnya sistem kekhilafahan Ustmani di Turki (3 Maret 1924).
Terkait sumber pembiayaan, syariat Islam menetapkan bahwa kepemilikan umum, yakni kekayaan alam berupa mineral, batu bara, emas, dan barang tambang lainnya, hutan serta air merupakan milik rakyat.
Sebagaimana sabda Rasulullah saw., "Manusia itu berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api." (HR. Ibnu Majah)
Oleh sebab itu, negara tidak berhak memberikan hak kelola kepada swasta lokal terlebih asing. Negara wajib mengelolanya, tidak masalah jika urusan teknis misalnya membeli skill (keahlian) dan alat produksinya dari mana saja. Namun, hasilnya dipergunakan untuk melayani rakyat termasuk pelayanan kesehatan.
Sejatinya, sumber pendapatan negara lebih dari cukup. Sebagaimana dilansir dari Al-Infaq: Jurnal Ekonomi Islam, Vol. 13 No. 2, Tahun 2022, dengan pengelolaan versi syariah Islam, potensi pemasukan APBN dari kekayaan alam Indonesia mencapai Rp18.918 triliun per tahun. Jumlah pendapatan yang fantastis, jangankan untuk pelayanan kesehatan secara gratis. Negara juga mampu memberikan pelayanan kebutuhan pokok lainnya kepada seluruh masyarakat tanpa diskriminasi kaya-miskin, muslim-nonmuslim. Karena dalam sistem Islam pada hakikatnya seorang pemimpin (khalifah) adalah menerapkan syariat Islam secara kafah di semua aspek kehidupan. Dengan demikian rahmatan lil alamin akan terwujud.
Wallahualam bissawwab
Komentar
Posting Komentar